Ilustrasi: Reza R. Fitri/LPM Kentingan

Foto di Pantai Itu

1

Salam hangat,

 

Sudah lama kita tidak bertukar kabar. Aku hanya penasaran kabar mu sekarang bagaimana. Aku harap kamu baik-baik saja. Oh iya, bagaimana studimu? Pusing, ya? Aku tahu pasti kamu merasa kesulitan disana. Tapi aku percaya kamu bisa menaklukkan segala kesulitanmu dan mendapatkan hasil yang terbaik. Ya sama seperti biasanya saja. Dulu kamu pernah bercerita  bahwa tes untuk masuk Studienkolleg[1] itu sangat susah sampai kamu tidak yakin kalau kamu sendiri akan lolos. Tapi dengan usaha keras dan les sana sini akhirnya kamu toh lulus juga, kan? Ya itu lah kamu selalu pesimis di awal sampai lupa kalau kamu itu sebenarnya sangat mampu menghadapi berbagai ujian yang ada.

 

Kalau kata Cinta, sudah ribuan purnama kita tidak pernah bertatap pandang. Tapi kemarin dengan anehnya aku bertemu denganmu di Pantai yang entah ada dimana keberadaannya. Memang ini kedengarannya konyol dan tidak masuk akal bagimu yang selalu berpikir rasional. Namun percayalah kejadian itu sangat nyata dan benar-benar terjadi. Aku tidak membual atau menghayal karena memang bukan tabiatku untuk melakukan kedua hal belakangan. Yasudah, tanpa basa basi lagi aku akan menceritakan kepadamu setiap kejadian secara kronologis dan sedetil mungkin. Ya setiap alur pertemuan kita terekam jelas di kepalaku.

 

*

 

Kala itu aku sedang duduk melamun di balkon kos. Sepi dan sunyi mengelilingi diriku. Hanya angin yang cukup baik mengisi keheningan yang mematikan ini. Dari atas sini terlihat burung-burung terbang membentuk formasi indah menuju cakrawala tak terbatas. Pohon-pohon menari seirama dengan hembusan angin yang bertiup dari timur serta sinar senja yang tidak kalah mengagumkan menyinari sisa hari yang kelak menggelap.

 

Cahaya senja itu kulihat merekah di balik gumpalan awan kemudian memantulkan cahayanya di antara bangunan-bangunan kosong yang ditinggal penghuninya. Kamu tahu? Pemandangan seperti ini tidak datang setiap hari. Sebagai penikmat sore, baru kali ini aku melihat langit yang indahnya tiada dua. Awan-awan tipis yang disinari cahaya kuning kemerah-merahan serta gelombang awan yang menggulung-gulung menuju pembaringan malam adalah kombinasi sempurna ciptaan Tuhan.

 

Senja ini sangat indah untuk kunikmati. Tetapi akan jauh lebih indah ketika kamu duduk di sampingku, menikmati cahaya kemerah-merahan yang sedang menampilkan kemegahannya di atas sana. Aku membayangkan bahwa kita berdua duduk di balkon ini, bercakap-cakap tetang kehidupan, keinginan di masa depan dan kejadian masa lewat.  Oh aku lupa! Kamu kan juga suka yang berbau sains dan teknik, mungkin kamu juga akan bercerita tentang kuantum fisik, arus listrik, AutoCad, dan biografi Einstein. Percayalah, sehabis kamu menguliahiku dengan berbagai ilmu itu tak terasa aku sudah mendapatkan gelar Sarjana Teknik beserta selempang Cumlaudenya dan akan diwisuda bulan depan. Tapi peduli apa? Semua hal membosankan itu akan sangat menyenangkan jika itu semua kulakukan dengan mu.

 

Lepas dari khayalku tadi aku kembali meratapi gilang gemilang senja di angkasa itu. Tapi ketika aku terlena dengan sinarnya, diri ku merasa melayang ke angkasa. Terbang tinggi dan semakin tinggi ke atas sana. Dan kamu tidak akan percaya, Anisa. Sewaktu aku sudah berada di atas awan, betapa indahnya senja ini jika dilihat langsung dari sumbernya. Warnanya lebih tajam, lebih kuning, lebih jingga, lebih orisinil. Dan awan tampak lebih gagah. Jujur aku benci sekali yang namanya ketinggian tapi di atas sini aku merasa damai. Aku pikir sinar senja yang lembut inilah yang membuatku nyaman dan tiada rasa takut pun terbesit di hati. Aku ingin memastikan kalau ini bukan mimpi belaka jadi aku memejamkan mata kemudian mencubiti kulit tanganku.

 

“Ini mimpi ga ya?“ Kataku

 

Tapi anehnya nis tak lama setelah aku bergumam, aku merasa dihempaskan ke tempat lain dengan seketika. Waktu aku masih di atas awan tiada suara satupun terdengar. Hanya keheningan dan ketenangan yang kurasakan. Sekarang aku mulai mendengar suara-suara alam. Burung pada bernyanyian satu sama lain. Aku kenal suara burung ini. Camar! Suara mereka memekik-mekik dari kejauhan. Deburan ombak yang menggulung di tepi pantai juga terdegar olehku. Suaranya seperti ombak yang membentur batu karang dan tebing-tebing tinggi pesisir pantai. Sentuhan angin basah kurasai pula di wajah. Karena penasaran aku mulai membuka mata. Tiba-tiba entah bagaimana aku sedang mengemudikan mobil Convertible[2] yang sedang ku pacu di jalanan pinggir pantai. Kemudian kejadian ini makin membingungkan ketika tangan kiriku dirangkul. Kaget bukan kepayang ketika aku melihat orang yang merangkulku itu adalah perempuan yang kusayangi dan kurindui. Ya itulah kamu!

 

“Mas! Ayo kita ke pantai!“ Pinta mu sambil terseyum

 

Bingung? Jelas! Namun tak mungkin aku menolak. Kelewat rindu aku padamu. Berapa tahun kita tidak bertemu, nis? 4 tahun kah itu? Lama sekali. Sebelum kamu pergi merantau ke negeri nan jauh di utara sana, kita tidak benar-benar punya perpisahan yang baik. Ingatkah kamu di tempat kursus bahasa itu? Ketika kamu mengacuhkan dan menghiraukanku? Padahal hari itu adalah hari terakhirku di Jakarta sebelum aku merantau. Apa daya? Aku pulang dengan hati hampa tanpa sepatah kata perpisahan dari mu. Maka inilah momen yang ditunggu-tunggu! Tak akan aku lewatkan barang sedetikpun untuk melepas rindu dan bersenang-senang denganmu! Ingin ku balaskan semua kerinduan yang menahun ini, nis!

 

*

 

Aku membawa mu ke suatu pantai dimana kita berdua -hanya kita berdua- menikmati senja dengan tenang tanpa pikiran duniawi yang tiada habisnya.  Di pantai itu kita duduk diatas pasir putih yang lembut dan ditemani dengan lambaian nyiur yang diterpa angin. Di pantai itu ombak yang mencium bibir pantai akan diwarnai dengan kilapan cahaya kuning kemerah-merahan dan dari ombak itu dihasilkanlah bunyi-bunyi buih air yang menyelinap ke dalam pasir. Ya disitulah kita berada. Kemudian kamu bangkit dan mengejar ombak yang perlahan kembali ke laut.

 

“Awas Basah!“ Ucapku

 

Baru sebentar kuperingatkan, ombak besar menghantam dirimu dan membuat baju mu basah.

 

“Kan basah! Bawa baju salin ga?“ Teriakku dari pinggir pantai. Kamu hanya membalas dengan tawa.

 

Cahaya sang penguasa hari itu kian meredup. Aku lihat senja semakin mendekati ajalnya sementara kamu masih saja berdiri di tengah-tengah ombak.

 

“Mas, aku ingin senja itu“ Tanganmu menuding ke arah senja berada

 

“Buat apa?“ aku mejawab sambil berjalan menghampirimu.

 

“Aku suka senja itu. Ingin ku bawa senja itu ke Jerman“

 

“Apa di Jerman tidak ada senja, nis?“ Aku penasaran.

 

“Ada, tapi tidak sebagus ini, mas. Di sana orang-orang pada sibuk mengurusi dirinya masing-masing jadi senja pun kecewa karena tiada satupun yang menggubrisnya. Beda cerita kalo di sini. Banyak orang yang masih menanti kedatangannya sambil menyeduh kopi dan ditemani dengan dua buah pisang goreng. Jadi ketika senja datang, ia menampilkan pertunjukan cahaya yang spektakuler dan memukau agar orang-orang yang menunggunya puas”

 

Aku menjawab dengan terkekeh.

 

“Pernah suatu kali di Hamburg ada orang yang menelpon pemadam kebakaran ketika ia melihat langit dipenuhi oleh warna kuning dengan perpaduan merah api. Ia mengira ada kebarakan. Ketika pemadam kebakaran sampai di lokasi, ternyata tidak ditemukan satupun bangunan yang terbakar. Akhirnya pemadam itu menyimpulkan bahwa warna merah api yang dilihat orang yang menelpon mereka berasal dari sinar senja.“

 

“Masa sih sampai segitunya?“

 

“Iya, mas. Mereka terlalu sibuk sampai-sampai tidak terbiasa melihat cahaya senja.“

 

Aku terdiam sejenak, berpikir bagaimana aku bisa mengabadikan Senja ini untuk mu. Aku menoleh ke arah kiriku. Kebetulan disana terdapat sebuah bukit koral yang tidak terlalu tinggi dan tidak terjal sehingga aman untuk didaki.  Aku memutuskan untuk pergi ke atas bukit itu.

 

“Tunggu disini ya“ pintaku

 

“Kamu mau kemana, mas?“

 

“Mengambil senja untuk mu, nis“

 

Belum sempat kamu merespon, aku sudah berlari menuju mobilku yang terparkir tidak jauh dari situ. Kubuka pintu mobil kemudian ku selidiki ada barang apa saja yang bisa kupakai untuk mengabadikan senja ini. Hampir seluruh kompartemen mobil ku acak-acak. Tinggal tersisa laci bagian depan. Ketika ku buka laci itu, kutemukan kamera polaroid lama. Entah tipe apa tapi ini dia yang kucari-cari. Meskipun polaroid lama aku mengerti bagaimana menggunakannya. Setelah ku cek bagian filmnya ternyata hanya tinggal tersisa satu saja. Ya sudahlah apa boleh buat. Lebih baik satu daripada tidak ada sama sekali.  Tanpa pikir panjang aku langsung bergegas menuju bukit koral itu. Kamu tetap memandangi aku ketika aku berjalan menjauh.

 

Singkat cerita aku tiba di bawah bukit koral ini. Ternyata ada tangga yang bisa mengantarku langsung ke atas bukit. Sebelum aku naik, aku melirik ke sebuah papan kayu yang berada di samping tangga. Kira-kira begini tulisannya:

 

“Awas Kayu Lapuk!

 

“Perhatikan Langkah Agar Tidak Jatuh!“

 

Pesannya jelas. Kuakui nyali ku sempat ciut waktu itu. Bukan karena aku pengecut, bukan. Tapi bagian kiri dan kanan tebing itu terdapat batu-batu koral yang lancip-lancip. Kalau saja orang terjatuh disitu, bisa menancap dia. Duh, mikir apa aku ini! Akhirnya ku hilangkan semua pikiran ngaco itu dan ku tarik napas dalam-dalam. Kutapakkan lah anak tangga pertama ini.

 

Aku naiki anak tangga itu satu demi satu. Tentu dengan perlahan. Ternyata memang benar. Kayu yang jadi sandaran tapak kaki itu sudah pada rapuh. Selama naik aku selalu melihat ke anak-anak tangga itu agar aku memijakkan kaki di bagian yang tepat. Aku hitungi juga tangga itu satu persatu dan tak terasa aku sudah sampai anak tangga yang terakhir. Sesampainya di anak tangga yang terakhir, aku terlalu bersemangat dan kurang berhati-hati. Tiba-tiba suara kayu yang kuinjak pada bergemeretak. Ternyata aku menginjak kayu yang sudah lapuk nan reyot! Kaki kananku sudah terjerembab namun secepat kilat tanganku reflek mencengkram pegangan tangga yang ada di samping sehingga aku bisa mencegah jatuhnya diriku ke tebing yang berada di sisi kiri dan kanan. Panik dan takut itulah yang kurasakan kala itu. Keringat dingin menjalar ke seluruh bagian tubuh tanpa ada yang terlewat. Kalau tidak ada pegangan ini bisa saja aku jatuh ke tebing dan menancap di salah satu batu koral dibawah. Aku tarik kaki ku dari patahan kayu yang ku injak tadi kemudian membenarkan posisi badanku agar stabil.  Untung saja tekstur kayu lapuk ini lembek jadi tidak ada serpihan kayu yang menancap. Ya hanya luka lecet-lecet saja. Bukan hal besar. Aku melangkahi anak tangga yang lapuk itu dan menginjakkan kaki di tanah bukit koral ini. Angin berhembus dengan kencangnya ketika aku berhasil mencapai puncak. Aku berjalan menuju ujung bukit dan pemandangan seluruh pantai sangat jelas terlihat dari atas sini. Ternyata jauh lebih indah dari pada pemandangan di bawah. Aku melihat mercusuar berdiri tegak didepan sinar senja yang berpendar kekuningan. Sepertinya mercusuar ini ditempatkan di tempat itu dengan sengaja agar orang-orang yang menuju ke bukit ini bisa tersihir oleh keelokannya.

 

“Geht’s dir gut?“[3] Teriak mu dari bawah sana.

 

“Ya, nis! Semua baik-baik aja!“ Balas ku

 

Aku harus bergegas! Jika tidak sinar senja ini akan hilang dibalik bukit! Aku kemudian mencari sudut yang bagus untuk mengambil pemandangan senja. Tombol pengaktif kamera aku hidupkan. Kamera itu mengingatkanku bahwa aku hanya punya satu kali kesempatan saja dalam pengambilan gambar. Aku timbang-timbang ke arah mana aku harus memfoto pemandangan ini. Setelah menunggu waktu yang tepat dan melakukan beberapa penyesuaian aku memencet tombol pengambilan gambar dan jadilah aku memfoto pemandangan senja beserta bukit, mercusuar, pantai, laut, dan burung-burung yang sedang terbang diatas pantai. Selembar film kemudian keluar dari kamera. Kulihat film itu perlahan menampakkan hasil jepretan ku. Seperti orang-orang, aku mulai mengibas-ngibaskan film ini untuk mempercepat proses pewarnaan. Semakin cepat ku kibaskan makin jelas pula warnanya. Seperti yang sudah kuduga. Senja di foto ini terlihat sama indahnya dengan senja yang asli. Foto ini kemudian aku jaga baik-baik dan kumasukkan ke kantong celana.  Aku tidak mau foto ini rusak atau lecek. Yang terbaik hanya untuk mu semata.

 

Aku turun kembali melalui anak-anak tangga rapuh tadi. Sekarang aku tahu anak tangga mana yang harus dihindari jadi tidak perlu khawatir akan terjerembab lagi. Tangga itu aku turuni dengan sekejap saja. Kulihat di kejauhan kamu sudah menungguku dengan penuh harap. Aku pun berlari kepadamu

 

“Nis, Aku punya apa yang kamu mau!“

 

“Serius, mas?“ Kamu kaget

 

“Iya!“

 

Aku merogoh kantong celana dan kemudian mengeluarkan hasil jepretanku. Terlihat jelas dari air muka mu kala itu kalau kamu penasaran apa yang sedang kurogoh. Kuraih telapak tangan mu lantas aku letakan foto itu.

 

Aku masih ingat perasaanmu waktu itu, nis. Jelas sekali. Matamu membesar melihat hasil fotoku. Wajahmu menunjukkan kekaguman akan foto yang aku ambil di atas bukit itu. Kamu memegangnya dengan kedua tangan. Senyum mu lebar sekali seakan tidak pernah merasakan kebahagiaan.

 

“Gimana? Jelek ya? Maaf nis kalo hasilnya jelek. Aku bukan ahli foto“ Tanyaku

 

“Engga kok. Ini sempurna, mas!“ Jawabmu

 

Kemudian sinar senja menjadi lebih padam. Hanya secercah cahaya merah saja yang terlihat di balik bukit di kanan ku.

 

“Mas, sepertinya waktu ku sudah habis“  Tiba-tiba kamu menjadi misterius.

 

“Hah? Apa maksutnya?“ Tanyaku penasaran

 

“Ya, waktu ku sudah habis. Kala senja sudah kehilangan pendarnya, maka habis juga waktuku bersama mu.  Sang senja mengirimkan ku kepada mu, mas. Dan aku hanya diberi waktu singkat saja. Kalau senja lenyap, aku pun ikut dibawanya.“

 

“Maksudnya hilang apa?“

 

Baru ku tanya seperti itu tiba-tiba pasir pada berterbangan. Ternyata pasir-pasir itu berasal dari mu. Pasir itu seakan menggerogoti kaki mu kemudian merangkak perlahan menaiki pingganngmu. Pasir itu terus naik dan setengah badan mu hilang ditiup angin. Aku panik. Gelagapan tidak bisa berkata.

 

“berikan sepotong foto senja ini kepadaku kalau aku benar-benar berada di sampingmu, mas“ Perintahmu

 

“Tapi, tapi, nis! Jangan pergi dulu! Gib mir bitte mehr Zeit, bei dir immer zu sein![4]

 

“Aku juga inginnya tetep terus sama mu, mas. Menjelajahi seluruh garis pantai ini dan mengobrol tak tentu selama perjalanan pulang. Alangkah indah bukan? Tunggu Aku! Aku akan kembali dengan wujud yang sebanar-benarnya tidak dengan wujud yang fana seperti ini. Berikan potongan senja ini ketika waktu itu datang!“

 

“Kapan?“

 

Sebelum kamu sempat menjawab pertanyaan ku, pasir itu sudah melenyapkan mulut dan perlahan menggerogoti seluruh wajahmu. Aku melihat airmata mu menetes disaat terakhir kita berpisah. Dalam hitungan detik kamu sudah tiada sama sekali.

 

Aku berlutut sedih di atas pasir yang lembut. Sinar senja yang semula indah  berubah menjadi hitam pekat yang mencekam. Aku mendongahkan kepalaku seakan berusaha untuk menguatkan diriku atas kehilangan yang begitu besarnya. Aku teriak sekencang-kencangnya diantara keheningan malam. Angin membawa terbang teriakan ku yang penuh dengan kesengsaraan untuk diperdengarkan orang di seberang lautan. Aku memukul-mukul pasir untuk meluapkan kemarahanku. Pukulan demi pukulan ku lontarkan tapi itu tidak membuat dirimu kembali. Baru saja aku mulai menikmati momen ini bersamamu, semesta merebut semuanya dengan gampang. Seakan aku tidak boleh dicintai oleh manusia lain! Tidak sadar aku mulai menitihkan air mata.

 

Tetesan air mata yang mengalir jatuh mengenai telapak tangan ku. Tiba-tiba aku tersadarkan dan mendapatkan diri masih duduk di kursi balkon kos. Mataku terasa berat seakan baru saja bangun dari tidur panjang. Apakah aku baru saja bermimpi? Tapi rasanya peristiwa lenyapnya dirimu ditiup angin terasa amat nyata. Kulihat langitpun sudah tiada lagi bercahaya. Rembulan mulai merangkak ke singgasananya. Di kepala ku sekarang terdapat lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Apa yang baru saja aku alami? Aku putuskan untuk cuci muka di kamar dengan harapan aku bisa segar kembali. Ketika aku berdiri, aku mendengar suara kertas terjatuh dari kursi yang aku duduki. Kulihat kertas itu tidak asing. Kemudian aku mengambil kertas itu dan jantungku seakan berhenti begitu saja. Ini bukan kertas. Ini film kamera. Ketika kulihat bagian depannya terdapat pemandangan senja, bukit, mercusuar, pantai, laut, dan burung-burung yang sedang terbang diatas pantai.

 

“Ini kan fotoku tadi“ Gumamku

 

Jelas ini bukan sekedar mimpi! Kini kecurigaan tumbuh di hati. Aku punya firasat bahwa sang senja sendirilah yang membuat ku mengalami kejadian yang berada di luar nalar. Aku rasa sinar kuning kemerah-merahan yang tenang nan lembut menyedot ku ke negeri senja. Di sana, di negeri senja, terwujudlah keinginan sekaligus ketakutan ku yang paling besar. Sesaat aku pikir kamu benar-benar ada di pantai itu bersamaku. Tapi ternyata itu hanya ilusi senja belaka.

 

Aku masih bertanya-tanya sampai sekarang kenapa hal itu bisa terjadi, nis. Apakah sang senja iba padaku? Ia melihat dari atas sana kerinduan seorang manusia yang teramat dalam terhadap manusia yang ia cintai. Tapi manusia ini tidak bisa melakukan apapun. Menunggu pun rasanya tidak mungkin.

 

Demikian cerita pertemuanku denganmu. Mau percaya atau tidak itu kuserahkan padamu. Tapi yang pasti aku sudah menceritakan yang sejujurnya.  Semoga kamu menerima surat ini dengan utuh. Dan moga-moga kamu bisa membalasnya.[]

 

 

[1] Program penyetaraan yang wajib diikuti oleh mahasiswa asing yang ingin berkuliah di Jerman

[2] Mobil Convertible adalah mobil beratap terbuka

[3] Apakah kamu baik-baik saja?

[4] Tolong kasih aku waktu lebih untuk terus bersamamu!

 

 

Andriyansyah Perdana Murtyantoro
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional UNS 2016. Surel: andriansyahperdana3@gmail.com