Menyambut tahun 2024, sistem zonasi akan kembali diperkenalkan untuk para pelajar yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang SD, SMP, maupun SMA. Pemerintah menerapkan aturan ini dengan mengukur jarak terdekat antara sekolah dengan rumah calon siswa yang bertujuan untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan, persis seperti yang pernah dikatakan oleh Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, enam tahun silam. Mengikis kata favoritisme yang telah melekat pada suatu sekolah serta menjalankan pemenuhan hak bagi kaum rentan yang masih kerap terabaikan dalam akses pendidikan turut menjadi fokus utama program ini.
Namun, di balik segala niat baiknya, ternyata ada harapan yang terpaksa pupus akibat pengadaan sistem ini. Sebutlah kasus yang dialami oleh seorang siswa SMP berinisial J di Kabupaten Tangerang, Banten. Sekolahnya belum memiliki bangunan sendiri dan masih menumpang di SD sekitar ketika semester pertama ia bersekolah. Hal ini tentu berdampak pada kegiatan belajar mengajar yang menjadi tidak efektif. Belum lagi jika guru yang mengajar tidak datang dan berakhir dengan jam kosong. Meskipun sekolah tersebut akhirnya memiliki bangunan sendiri pada semester kedua, tetapi fasilitas yang ada masih kurang memadai. Jumlah ruang kelas yang tidak mampu menampung banyaknya siswa-siswi menyebabkan pemberlakuan sistem shifting atau pembagian jadwal menjadi dua kali pertemuan, pagi dan siang hari. Perpustakaan untuk menjamin literasi membaca para siswa pun nihil.
Melihat fenomena seperti ini, maka Kemendikbud seharusnya mampu menyelaraskan akses, pemerataan, dan kualitas pendidikan terlebih dahulu antara sekolah satu dengan sekolah yang lain dalam satu wilayah agar tidak memperlebar kesenjangan. Hambatan ekonomi siswa semestinya turut digarisbawahi pula oleh pemerintah agar tidak asal meminta mereka untuk pindah ke sekolah swasta—yang kualitas dan fasilitasnya jauh lebih unggul. Jika tidak, maka mimpi untuk menyetarakan pendidikan negeri ini hanya akan semakin sulit, terutama bagi para siswa dari kalangan rentan. Sistem zonasi yang mengharuskan siswa untuk mengukur jarak antara sekolah dengan rumah hanya akan membatasi mereka untuk mengenal teman-teman baru dari luar daerah yang bisa dijadikan investasi relasi masa depan.
Pemerintah diharapkan mampu mengatasi problematika zonasi ini dengan penerapan langkah-langkah konkret agar menghasilkan generasi muda yang baik dan berkualitas. Pengalokasian anggaran untuk memberikan kesetaraan akses pendidikan bagi kaum rentan melalui pembangunan infrastruktur hingga perluasan beasiswa ataupun bantuan pendidikan kepada siswa kurang mampu bisa turut dijadikan sebagai opsi pertimbangan. Kuota penerimaan siswa dalam suatu sekolah juga sebaiknya mengikuti persentase golongan masyarakat yang ada pada wilayah tersebut dan tidak menyamaratakannya dengan wilayah lain.
Fhira Urmilah. Manusia yang lebih suka rentetan aksara daripada rumus-rumus fisika.
Editor: Jasmine Aura Arinda