Ilustrasi: Anindita Cantaka/LPM Kentingan

EMO: DIBENCI SEKALIGUS DICINTAI

Setelah membahas panjang lebar tentang Grunge Bukan Hanya Soal Nirvana, kali ini kita akan membahas tentang salah satu genre musik yang nge-hype sekitar tahun 2000 sampai 2010-an, yapemo. Hampir kebanyakan orang mengidentifikasi band-band beraliran emo melalui liriknya yang sarat akan kisah percintaan, kisah frustasi pada masa remaja, pakaian yang serba hitam, dan tentu yang paling khas adalah penggunaan eyeliner serta model rambut poni samping pada pelaku emo atau para penggemarnya. Jika kita mendengarkan dengan lebih teliti, maka kita akan menemukan bahwa musik-musik emo memiliki paduan antara distorsi yang sangat tebal dan berantakan seperti grunge dan ketukan drum cepat ala hardcore. Adapun sub-genre dari emo sendiri yang lebih agresif adalah screamo.

Lalu permasalahan yang saya angkat adalah salah persepsi terhadap musik emo oleh sebagian besar orang. Hal ini membuat saya merasa agak geli. Mengapa? Sebab mereka menganggap bahwa musik emo sangat berkaitan dengan istilah Jamet (Jawa Metal) dengan model potongan rambutnya dan lagu yang cengeng, padahal sebenarnya orang-orang yang menyematkan istilah tersebut juga pernah merasakan fase emo. Lalu sebenarnya bagaimana sih kemunculan emo itu sendiri?

KEMUNCULAN EMO
Emotional Music atau yang biasa disebut emo dimulai pada akhir tahun 1980-an oleh skena hardcore Washington DC di Amerika. Pelopornya yakni Rites Of Spring, band yang beranggotakan Guy Piciotto, Eddie Janney, Michael Fellows, dan Brendan Canty. Mereka kerap disebut “Bapak Emo” karena memadukan riff-riff post-hardcore dengan lirik yang begitu personal. Meski demikian, Piciotto menolak penyematan label emo terhadap band-nya. Begitu pun dengan band My Chemical Romance yang pada salah satu kesempatan wawancara menegaskan bahwa mereka juga menolak label emo pada band-nya.

Pada tahun 2000, menurut catatan NME (New Musical Express), emo mulai mencapai puncak ketenaran global. Band-band seperti Fall Out Boys, My Chemical Romance, 30 Seconds To Mars, Paramore, Panic! At The Disco menjadi perpanjangan popularitas tersebut. Seperti dalam laporan HAI, demam emo pun singgah di mana-mana, termasuk di Indonesia. Anda pasti ingat dengan nama-nama band emo seperti Killing Me Inside, Alone At Last, Seems Like Yesterday, maupun Love Hate Love yang meramaikan hajat pensi SMA dan menjaring massa dalam jumlah yang tak sedikit pada pertengahan 2000-an. Mereka mengokupasi panggung anak muda dan meninggalkan kesan yang mendalam: semua ingin menjadi layaknya Gerrard Way atau Hayley Williams dengan jeans ketat, eyeliner, dan cat rambut bewarna gelap.

Seperti halnya subkultur genre musik lain yang mainstream, emo sendiri sudah mulai redup atau bahkan mati pada tahun 2010-an. Cacian dan makian mulai banyak menyerang penggemar musik emo, baik dari gaya mereka yang terkesan begitu norak setiap menonton konser maupun sikap mereka yang cenderung cengeng ketika mendengarkan musik-musik emo. Sementara dari sisi band, perisakan muncul lewat hujatan maupun lemparan botol manakala mereka beraksi di panggung.

DIBENCI SEKALIGUS DICINTAI
Walaupun emo bisa dibilang sudah mulai redup atau mati, umpatan kepada penggemar ataupun band-band emo yang bahkan baru mulai bermunculan masih saja berlangsung. Namun, saya kira orang-orang yang banyak mencacinya adalah orang yang munafik. Hal itu dikarenakan sebagian besar dari mereka sekarang ini sudah mulai menginjak usia pertengahan 20-an. Di usia tersebut tentu saja mereka sudah melewati “fase emo” dan bisa dipastikan mereka masih mendengarkan musik-musik emo. Seperti yang saya jelaskan tadi, musik-musik emo sarat akan frustasi, putus cinta, bahkan depresi yang lekat dengan kehidupan remaja-dewasa saat ini.

Memang, bisa diakui bahwa style emo yang memakai jeans ketat, eyeliner, kaos v-neck, kostum serba hitam, serta gaya rambut poni lempar samping terkesan norak. Bahkan stigma dari style emo yang lekat dengan jamet boleh kita benci. Akan tetapi, apabila berbicara tentang isi, sebenarnya musik emo sendiri masih relate dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi ketika sedang galau-galaunya, saya ataupun Anda pasti akan memutar musik-musik emo yang pernah mengisi masa remaja dulu. Ayolah tak usah munafik. Walaupun kita benci dengan style dan kecengengan musik emo atau bahkan mengaitkannya dengan istilah jamet, di beberapa kesempatan kita masih mendengarkannya. Bahkan bisa dibilang kita mencintainya dalam bentuk memasukkan musik tersebut ke dalam playlist. Bukankah demikian?

Penulis: Muhammad Achmad Afifuddin
Editor: Diana Kurniawati

Muhammad Achmad Afifuddin
Mahasiswa Diploma Akuntansi 2019
rahvanna.samahita@protonmail.com