Emil Sinclairs, Bukan Sekadar Kisah Para Penulis

Judul: Demian

Judul Asli: Die Geschichte von Emil Sinclairs Jugend

Penulis: Hermann Hesse

Penerjemah: Deasy Serviana

Tahun Terbit: 1919

Jumlah Halaman: 326

 

 

 “Dunia ini sangat berbeda, aromanya tak sama, cara berbicaranya pun berbeda, menawarkan janji-janji dan tuntutan yang berbeda. Dalam dunia yang kedua ini ada para pelayan perempuan dan pekerjaan harian, cerita-cerita hantu dan rumor-rumor penuh sekandal. Ada beraneka ragam aliran tentang hal-hal yang gaib, menggoda, menakutkan, dan membingungkan. Ada hal-hal seperti rumah jagal dan penjara, para pemabuk dan wanita-wanita bertengkar, sapi-sapi melahirkan, kuda-kuda tumbang, cerita-cerita penjarahan, pembunuhan, dan bunuh diri. Dunia penuh kekerasan, dunia kedua ini, mengalir dengan mencolok ke semua penjuru, kecuali dalam ruangan kami, tempat di mana Ibu dan Ayah berada.”

 

Kutipan narasi tersebut merupakan cermin sebuah lingkungan yang ditinggali oleh Emil Sinclairs pada masa kecilnya. Kegelapan, emosi, keserakahan, kekuasaan, namun di balik itu juga ada kebaikan, keteraturan, kedamaian, dan nurani yang jernih. Emil Sinclairs, seorang anak laki-laki berumur 10 tahun menyadari itu, dan bergelut dengan dirinya sendiri, untuk mencari apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Bukan sesuatu yang dapat ditemukan pada pemikiran orang, pengetahuan, buku-buku, maupun bintang-bintang, tapi sesuatu yang yang dapat didengarkan dari denyutan di dalam alirah darahnya. Sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri. Menyuguhkan pemahaman kepada para pembaca bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju diri kita sendiri.

 

Dalam novel ini, penulis kebangsaan Jerman, Hermann Hesse memulai narasinya dengan cerita pelik mengenai dunia yang ada dipikiran Sinclairs. Bagi anak kecil itu, dunia miliknya ada dua, saling berlawanan, tidak bisa disatu, namun berbatasan sangat dekat satu sama lain. Dunia pertama, tempat ayah dan ibunya berada, tempat semua kebaikan berkembang biak dalam kehangatan kasih sayang dan cinta, yaitu “rumah kami”, sebut Sinclairs pada rumah kecilnya yang merupakan dunia baiknya. Sedangkan dunianya yang kedua, yang mengintip dengan jahat dari balik jendela, yaitu dunia hitam di luar rumahnya, tempat di mana kejahatan selalu mengintai langkah manusia. Tempat kemanusian diinjak-injak oleh kekuasaan. Dunia yang penuh kekerasan, baik fisik maupun nurani. Hal itu cukup berhubungan dengan latar belakang pengarang, di mana cerita ini ditulis ketika perang dunia pertama masih berlangsung.

 

Sinclairs merasa dirinya tak pantas bersanding dengan dunia baik yang menjadi tujuannya selama ini. Kadang ia merasa, hal itu membosankan dan suram. Karena dari sudut pandang penjahat dan orang-orang tersesat, lebih menarik melihat dunia di luar sana, dunia lain yang lebih gelap, tempat pikiran bisa berkelana bebas, muncul apa adanya, menyamar, mengumpat, berbohong, dan terhindar dari kewajiban yang memuakkan. Hingga suatu hari, takdir jahat mempertemukan Sinclairs dengan Franz Kromer, seorang anak yang lebih tua dan terlihat dewasa daripada Sinclairs. Dengan bangga, mulut polosnya menceritakan kejadian “Pencurian Apel” yang ia lakukan kepada Kromer. Berharap dengan cerita bohong itu, teman-temannya menganggap Sinclairs seorang anak yang tidak manja dan berani. Saat itulah Sinclair sadar bahwa dirinya telah mengulurkan tangannya pada Sang Iblis.

 

Novel yang berisi narasi-narasi tentang pergolakan batin di dalam diri Sinclair ini tidak mudah dipahami hanya dengan pembacaan yang dangkal. Hermann Hesse bukanlah seorang penulis gampangan yang bisa kita temui di pinggir jalan. Bagaimanapun, novelis yang juga seorang pelukis dan penyair itu pernah mendapatkan Pernghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1946. Semua idenya bercabang, tak berpegang pada arah apapun, sehingga pembaca hanya dapat mengambil satu titik temu pada setiap untaian kalimatnya yang harmoni. Seperti buku filsafat, novel ini membutuhkan pemahaman yang dalam dan imajinasi yang luas mengenai kehidupan itu sendiri. Sinclair tak mau membagi ceritanya dengan mudah hanya dengan kata-kata yang menggoda dan manis. Sedikit banyak, novel ini dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche, seorang filsuf eksistensialis modern abad 19 yang menawarkan ajaran bahwa tujuan hidup manusia hanyalah untuk menguatkan diri. Agama, metafisika, sains, idealisme, politik, dan semua kepercayaan yang ada hanyalah pegangan bagi mereka yang tidak sanggup menguatkan diri mereka dengan pengalaman batin yang ia miliki. Begitu pula dengan Sinclair yang hanya mengijinkan perjalanannya hanya sebatas mata batin dan hanya meliputi pikiran kecilnya, meskipun itu menghancurkannya sekalipun.

 

“Aku hanya perlu mencondongkan diri ke arah cermin untuk melihat citra diriku sendiri yang kini terlihat persis mirip dengannya, Dia, temanku dan ‘sang penunjuk jalan’.  (Kutipan kalimat terakhir Novel Demian). ‘Sang penunjuk jalan’ merujuk pada Max Demian, sebuah nama yang menjadi judul dari novel ini. Demian dengan segala idenya yang membuat Sinclair gusar dan mampu menghubungkan mereka pada dunia lain yang tidak diketahui Sinclairs. Entah Demian itu nyata atau ilusi, itu bukan poin utama, karena sekali lagi, Sinclair hanya bercerita mengenai pencarian hidupnya dalam pergolakan batin dan pikirannya. Sampai akhir pun, Sinclairs tahu Demian akan terus ada di sana, di dalam diri Sinclair, namun dirinya tidak lagi datang mengendarai seekor kuda atau kereta.

 

Menawarkan pemahaman baru kepada manusia bukan perkara mudah, apalagi pemahaman itu begitu abstrak dan tak mudah terartikan. Berat dan tak terbaca, begitulah Herrnann Hesse dan tulisannya.

 

 

Hesty Safitri
Mahasiswa Teknik Kimia UNS angkatan 2018. Surel: hestysafitri56@gmail.com