Eksistensi dalam Panggung Budaya Massa

Oleh: Fahrizal Alhamdani

BUDAYA kita adalah budaya narsis. Begitulah cerminan masyarakat kita di tengah terpaan arus media digital yang kian merasuki kehidupan individu dalam komunitas masyarakat komunal. Tak bisa disanggah pula jika sebagian besar dari kita adalah penggemar dan pemakai teknologi komunikasi mutakhir yang berbasis jaringan nirkabel dan instan. Tapscott (2013) dengan tegas mengistilahkan generasi saat ini dengan sebutan Net Gener. Sebuah generasi yang terlahir ditengah pesatnya arus perkembangan teknologi personal computer dan internet yang mengglobal. Mereka mampu berhubungan dengan teknologi melalui cara-cara baru yang berbeda dibanding generasi pendahulunya, Baby Boomer.

Alvin Toffler, seorang futurolog dalam bukunya The Third Wave (1980) juga menjelaskan kembali bahwa era gelombang ketiga industri digital yang menjadi suatu “ramalan” kini sedang terjadi di dasawarsa kedua abad 21 ini. Suatu kondisi di mana teknologi kian menjadi kebutuhan manusia mulai dari mereka terbangun hingga mereka tidur kembali. Segala bentuk aktivitas keseharian mereka tak lepas dari peran teknologi. Hingga pada masanya, mungkin manusia-manusia itu akan menuhankan teknologi.

Sedikit banyak pengaruh teknologi dapat disinggung melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh teknologi. Media komunikasi (baca: media sosial) sebagai panggung pertarungan dalam realitas imajiner yang semu, menjadi sebuah ajang narsisme yang berakibat pada munculnya generasi-generasi eksistensialis. Produk budaya massa yang diciptakan oleh generasi ini juga menciptakan pola kehidupan yang konsumtif serta hedonis.

Pergulatan yang sengit antara manusia dengan produk budaya memunculkan banyak akibat yang sedikit banyak mempengaruhi pola komunikasi dan tindakan manusia. Praduga McLuhan (1964) yang berpandangan optimis terhadap humanis teknologi mengasumsikan bahwa perkembangan teknologi akan memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut global village. Segala bentuk-bentuk budaya dari berbagai macam belahan dunia akan secara mudah menyebar keseluruh penjuru dunia. Benturan dan pertarungan budaya tak terelakkan lagi dan hingga pada akhirnya muncul produk-pruduk budaya tandingan (counterculture) yang siap bersaing dan menghegemoni masyarakat di dunia.

Istilah budaya massa merujuk kepada produk-produk budaya yang menjadi konsumsi massal masyarakat pada umumnya. Tanpa disadari pula, bahwasannya produk budaya seperti musik, film, fashion dan makanan adalah medium yang mampu memunculkan persepsi dan tindakan-tindakan konsumtif yang mendominasi komunitas masyarakat tertentu. Sampai pada akhirnya, dominasi masyarakat kapital dalam suatu masyarakat itu akan mempengaruhi pola-pola serta tindakan individu lain melaui jaringan-jaringan komunikasi yang ada.

Peremajaan dan Trauma Ketuaan

Budaya massa sebagai komoditas menjadi satu hal penting yang mempengaruhi tingkat konsumerisme di masyarakat post-modernis. Terjadinya pendefinisian ulang atas eksistensi diri individu disebabkan karena adanya keterlibatan mereka dalam dunia realitas semu. “Detak jantung kapitalisme sebenarnya bersumber dari peremajaan abad ini yang mencakup segala macam aspek kehidupan dalam wujud komoditas. Pusat kebugaran, jogging, kursus kecantikan, senam seks, kursus kepribadian, salon mobil, pusat sale– semuanya merupakan manifestasi dari trauma kapitalisme terhadap ketuaan” (Piliang, 2005).

Dorongan peremajaan atas diri sendiri dan trauma terhadap ketuaan menjadi stimuli yang mengharuskan mereka patuh tehadap tren yang tengah ada. Seperti pakaian yang menyimbolkan religiusitas. Hijab misalnya.

Sebelumnya, Suzanne Brenner (1996) pernah mengkaji kebauran dan makna politis penggunaan jilbab berdasarkan kajian etnografis muslimah muda terpelajar di kota Solo. Kini, produk budaya islamis ini tidak hanya mempunyai makna politis tetapi sudah beralih menjadi budaya massa yang digandrungi kaum perempuan di kalangan masyarakat urban. Budaya narsistik dalam tren pemakaian jilbab tidak hanya ditemui dalam media sosial. Penggunaan jilbab sebagai manifestasi atas eksistensi diri dalam tata cara berpakaian juga menjadi sebuah ajang narsistik dalam pergaulan sehari-hari. Mode pemakaian jilbab yang modern, muda, dan gaul memunculkan dorongan generasi tua untuk segera melakukan peremajaan melalui mode dan gaya kekinian ketika menggunakan jilbab.

Tidak hanya itu, laki-laki dalam menunjukkan maskulinitasnya pun demikian. Mode penampilan khas budaya barat dianggap sudah mewakili eksistensi dirinya sebagai pria yang sesungguhnya. Mode potongan rambut klimis dengan pakaian modernis menjadi ciri penampilan pria kekinian yang mengikuti perkembangan zaman. Ini lho perwajahan pria masa kini!

Kebudayaan seperti itu telah mendorong mereka untuk bersikap konsumtif, hedonis, serta eksistensialis. Mereka tidak perduli anggapan orang lain terhadap apa yang sedang meraka lakukan. Mereka beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jati diri mereka yang sebenar-benarnya. Segala bentuk tindakan konsumtif dan hedonis menurut mereka adalah perjuangan untuk mencapai eksistensi diri ditengah gempuran kehidupan yang modern. Hingga pada akhirnya, mereka abai dan terperangkap oleh hasrat yang dijebak zaman.[]

(Foto dilansir dari sampul buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia [Ariel Haryanto, 2015. KPG])


Fahrizal AhamdaniFahrizal Alhamdani. Seseorang yang selalu memaksakan diri untuk membaca. Sedang memperbaiki diri demi ukhti yang dinanti. Surel: fahrizalalhamdani22@gmail.com.