Ilustrasi: Rizky Setiawan/LPM Kentingan

EKALAYA SI PINTAR YANG BODOH SOAL CINTA-CINTAAN

Sudah menjadi fitrah manusia, di luar soal sandang, pangan, dan papan, persoalan cinta dan hati juga turut menjadi hal yang penting. Sepanjang saya hidup, tak terhitung kisah cinta yang wara-wiri menghampiri. Tentu bukan kisah cinta saya sendiri, karena selain kemampuan menahan kantuk, pengalaman saya di dunia percintaan juga berada di taraf cupu. Alih-alih merasakan menjadi tokoh dalam drama percintaan, saya lebih sering berada di luar cerita. Menjadi tempat bagi kawan-kawan saya mencurahkan cerita dengan bumbu kasih sayang, meski tidak jarang pula ada yang menambahkan perasa sumpah serapah.

Terkadang saya merasa heran sendiri, kok pada mau-maunya berbagi cerita percintaannya dengan saya yang cupu ini. Alhasil mau tidak mau akhirnya saya harus mendengarkan sambil sesekali menanggapi atau kadang kala ikut menyumpah serapahi, entah karena ceritanya yang bikin greget atau karena teman saya yang terlampau rela menjadi antek-antek cinta. Cerita-cerita dunia percintaan yang selama ini saya terima luar biasa beragam dan sialnya saya sering hanya kebagian sedih-sedihnya thok. Mulai dari drama pelakor, ditikung teman sendiri, sampai masalah-masalah yang saya kira hanya dibuat-buat lalu dibesar-besarkan. Saya kadang sampai pusing sendiri, beberapa kasus seharusnya dapat dibereskan dengan mudah jika si pencerita atau pasangannya mengeluarkan kata keramat itu. Yap, putus, selesai gitu lho. Sudah diprovokasi putus, tetap tidak mau. Mending kalau akhirnya berdamai dan baik-baik saja. Lha ini, besoknya datang dan nangis-nangis lagi. Maksudnya nih maksudnya, daripada berkepanjangan dan bikin capek sendiri, kalau saya yang jadi dia pasti lebih memilih putus.

Saya tidak tahu, terlebih tidak pernah merasakan galaunya menghadapi putus cinta. Entah mereka—teman-teman yang tidak mau putus ini—sedang membayangkan kekacauan seperti di film Final Destination atau bagaimana, hingga perkara putus menjadi tampak menyeramkan untuk dialami dalam hidup. Namun, yang saya tahu, drama-drama semacam ini hanya akan menambah kadar kebodohan seorang manusia. Sependek pengamatan saya, orang yang tersakiti atau merasa dalam posisi tersakiti seringnya terbagi menjadi dua barisan, barisan orang bucin dan barisan orang frontal. Bucin, orang semacam ini tidak peduli lagi bahkan kalau dia dibodohi orang yang mendaku mencintainya, dia akan tetap mendeklarasikan sumpah setia. Sementara satunya, orang frontal akan dengan enteng mengangkat bendera perang, melabrak sesiapa saja yang telah ia sangkakan sebagai pelaku penghancur kisah asmaranya. Keduanya, bagi saya, sama-sama barisan orang yang telah kehilangan dirinya sendiri.

Persoalan cinta memang sering membuat manusia bodoh, seperti ungkapan umum yang sudah sering kita dengar, ‘kalau sedang jatuh cinta, tai ayam saja berasa coklat.’ Saat hati telah terlingkupi lapisan-lapisan cinta, saat itulah seringkali otak tidak bekerja. Kalau sudah begini, mau-tidak-mau mengingatkan saya pada kisah Ekalaya dalam wiracarita Mahabarata yang yaaa sebelas-duabelas lah. Sosok Ekalaya, seringkali dijadikan contoh para orang tua saat memberi wejangan belajar pada anak-anaknya, bahwa jadilah pintar seperti Ekalaya, jangan mudah menyerah dan harus selalu tekun, de el el. Namun, bagi saya lain. Saya sering sekali merutuk, andaikan Ekalaya tidak begini pasti hasilnya tidak begitu. Jadi begini bla bla bla.

Alkisah, Ekalaya, seorang pangeran dari negeri Nishada bercita-cita menjadi pemanah terbaik sejagat. Bukan hal yang mustahil karena bakat alam yang ada dalam diri Ekalaya memberinya kapasitas untuk itu, ditambah dengan kegigihan dan ketekunan Ekalaya untuk belajar sangat tinggi. Namun hal itu berubah menjadi suatu kesialan saat hati Ekalaya tertambat hanya pada satu guru yang tidak menginginkan dia menjadi anak muridnya. Guru yang telah bersumpah hanya akan memberi pendidikan dan seluruh yang ia punya pada keturunan Dinasti Kuru. Dorna, nama guru tersebut.

Ekalaya sangat mengagumi Dorna karena kemampuan dan pengetahuannya yang luar biasa. Sayang, langkahnya untuk menjadi murid Dorna terbentur kastanya, dia hanyalah anak keturunan Nishada, dinasti yang dianggap rendahan sehingga mustahil baginya mendapat pengajaran dari Mahaguru seperti Dorna. Meski demikian, seperti yang sudah sering saya sebutkan, Ekalaya memiliki kegigihan luar biasa dalam belajar, ia tidak sekonyong-konyong mencabut mimpinya sekalipun telah Dorna menolaknya. Ia bergegas kembali ke hutan dan membuat patung yang menyerupai guru yang ia puja itu. Sehari-hari, pagi juga malam, Ekalaya berlatih memanah ditemani patung Dorna. Dibawah ‘pengawasan’ gurunya tersebut, kemampuan Ekalaya kian hari kian terasah, tiada banding.

Hingga suatu hari terjadilah tragedi anjing. Di dalam hutan, saat Guru Dorna dan para pangeran Kuru sedang berlatih, tiba-tiba mendekatlah seekor anjing yang mulutnya terhunus panah sehingga tidak bisa menggonggong. Mereka terkejut sebab sepengetahuan mereka, tidak ada yang bisa memanah setepat itu kecuali Pangeran Arjuna, anak ketiga Pandu sekaligus murid kesayangan Guru Dorna. Kemudian mendekatlah mereka menuju tempat anjing itu berasal, di sana terlihat Ekalaya sedang berlatih dengan panahnya. Arjuna pias menyadari kemampuan Ekalaya jauh di atasnya, melihat itu Guru Dorna bertanya pada Ekalaya perihal siapa gurunya. Ekalaya yang dihampiri oleh sosok yang sangat ia kagumi itu tentu sangat antusias dan senang, ia memberi hormat “Saya berguru padamu, Guru”. Mendengar hal itu, Guru Dorna terkejut karena merasa tidak pernah memiliki murid seperti Ekalaya. Syahdan, Ekalaya dengan senang hati menceritakan bagaimana ia belajar ditemani patung rupaan Dorna. Dorna menyadari kemampuan Ekalaya sangat luar biasa bahkan tanpa pengajaran langsung darinya. Diam-diam, dia menyusun siasat untuk menjegal ambisi Ekalaya demi menjalankan sumpahnya memenangkan Arjuna sebagai pemanah terbaik sejagat.

Ekalaya terus memberi hormat dan meminta restu dari sosok asli Dorna di hadapannya, saat itulah Dorna mengambil kesempatan. Ia bersedia memberi restu pada Ekalaya hanya apabila pangeran Nishada itu memberinya guru-dakshina, semacam persembahan murid kepada guru sebagai ucapan terima kasih. Tanpa ragu Ekalaya pun menyanggupi apa yang diminta Dorna walau ia tidak pernah menyangka Dorna akan meminta ibu jari tangan kanannya. Namun, dengan senang hati, Ekalaya menyerahkannya. Syahdan, ia kehilangan jarinya sejurus pula ia kehilangan kemampuan jitu memanahnya.

Mengingat kisah ini membuat saya tidak habis pikir. Batin saya telah merongrong, buciiiinn!!! Dan saya bertambah panas karena sering mendengar curhatan bernada sama dari teman-teman saya. Andaikan Ekalaya tidak dicurangi orang yang ia puja itu, andaikan Ekalaya move on dan memilih guru lainnya, andaikan Ekalaya lebih mendahulukan mimpinya, sudah pasti jalan terbentang luas untuknya menjadi cemerlang. Dan andaikan teman-teman saya lebih memikirkan dirinya walau sekaliiii saja, huft, saya rasa akan lebih baik.

Begini begini, kehilangan diri sendiri jauh lebih menakutkan, bukan? Saya adalah seorang yang percaya, setelah Tuhan, orang pertama yang dapat menolong diri kita, ya diri kita sendiri. Menolong saat kesusahan, membantu mewujudkan mimpi, dan berbagai hal yang lain. Ya siapa lagi kalau bukan yang selalu bersama dimanapun dan kapanpun? diri sendiri. Sekali kita kehilangan diri karena telah ‘memberikannya’ untuk orang lain, lantas mau bagaimana? Sementara orang yang kita beri kepercayaan itu tidak lagi menganggap kita ada.

Pada akhirnya, tidak ada yang berhak kamu sayangi terlebih dulu selain Tuhan, utusan-Nya, dan dirimu sendiri. Tulisan ini bukan persuasi untuk egois lho ya, hanya saja, terkadang kita perlu ingat; tubuh, jiwa, dan raga ini dititipkan Tuhan agar kita menjaganya, bukan disakiti lalu lama-lama ‘mati’. Saya jadi ingat satu hal lagi, Jalaludin Rumi suatu kali pernah berkata ‘Ini jalanmu dan milikmu sendiri, orang lain mungkin berjalan bersamamu, tapi tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu berjalan.’

Penulis: Mardhiah Nurul
Editor: Aulia Anjani
Ilustrasi: Rizky Setiawan