Ilustrasi: Ayra Adlina Mahanani Zahra/ LPM Kentingan

Do We Wanna be Indonesian Idiot?

Don’t wanna be an American idiot

Don’t want a nation under the new media

And can you hear the sound of hysteria?

The subliminal mind-fuck America

Buat kalian pecinta musik rock era 2000-an, apakah masih asing dengan potongan lirik di atas? Saya rasa nyaris tidak ada pecinta musik rock yang tidak familiar dengan lagu “American Idiot” dari band Amerika asal East Bay California, Green Day. Lirik yang sarat akan kritik menjadi salah salah satu ciri khas lagu-lagu ciptaan band yang dinahkodai oleh Billie Joe Armstrong. Lagu “American Idiot” yang dirilis pada tahun 2004 menjadi salah satu bukti nyatanya. “American Idiot” sendiri tergabung dalam album dengan judul yang sama, album ini adalah salah satu yang tersukses sepanjang karir bermusik Green Day, karena telah terjual sebanyak 14 juta keping di seluruh dunia.                                                                                                             

“American Idiot” adalah manifestasi dari pandangan sang vokalis terhadap kondisi masyarakat Amerika, Billie memandang sebagian besar rakyat Amerika adalah orang-orang idiot yang mudah dibodohi oleh para politisi. Begitu gampangnya para politisi menyuntikkan propaganda mereka melalui media-media seperti televisi, radio, dan koran. Hal ini semata-mata dilakukan demi menyukseskan kepentingan para politisi busuk itu. Mirisnya lagi, masyarakat Amerika mau menelan mentah-mentah semua informasi yang diberi kepada mereka itu dan tanpa sadar mereka sudah berada di bawah kendali. 

Welcome to a new kind of tension

All across the alien nation

Where everything isn’t meant to be okay

In television dreams of tomorrow

We’re not the ones who’re meant to follow

For that’s enough to argue

Lirik di atas mungkin sudah cukup menggambarkan kepada kalian bagaimana muaknya seorang Billie Joe Armstrong akan apa yang terjadi di negaranya, dibalut alunan musik punk-rock yang seakan-akan membawa kita ke dalam gejolak kemarahan yang dirasakan Billie. Segalanya tidak baik-baik saja, saking buruknya, Billie bahkan menyatakan bahwa masyarakat mereka bukanlah yang patut untuk diteladani. Amerika diselimuti era gejolak informasi yang menghasilkan sebuah ketegangan baru, saya percaya ketegangan yang dimaksud mengacu pada rasa takut akan berita-berita yang tersebar di media-media mainstream. Rasa takut bahwa berita-berita tersebut berisi kebohongan, ujaran kebencian, dan sesuatu yang dibuat-buat untuk melanggengkan kepentingan seorang politisi atau bahkan menjatuhkan politisi lainnya.

Well, maybe I’m the faggot, America

I’m not a part of a redneck agenda

Now everybody, do the propaganda

And sing along to the age of paranoia

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang memilih berontak dengan keadaan ini? Sebagai salah satu orang berada di posisi itu, Billie menggambarkan dirinya sebagai “faggot, untuk artinya silahkan kalian cari sendiri. Orang-orang yang  berontak seperti Billie hanya akan berakhir menjadi minoritas. Penderitaan, cacian, dan kesepian adalah hal-hal yang akan menemani Billie di sepanjang jalan pemberontakan yang dipilihnya. Sisi baiknya, ia tidak lagi terjebak dalam agenda kesewenangan yang mengontrol jutaan warga Amerika. 

Nyatanya kasus seperti ini memang pernah terjadi di Amerika. Tengoklah kembali masa kepemimpinan George W. Bush, mantan Presiden Amerika. Bush pernah memerintahkan warga Amerika untuk berperang melawan Irak dengan alasan yang tidak pernah diketahui secara jelas. Media-media saat itu pun tak ketinggalan mengambil peran penting melalui framing berita mereka yang mengatakan bahwa Irak adalah negara teroris bersenjata nuklir. Bodohnya, warga amerika pun mempercayai semua itu dan menaruh nyawa mereka di jalan. Pada akhirnya, semua itu hanyalah omong kosong dan tidak pernah ditemukin bukti keberadaan senjata nuklir di Irak. 

Lagu “American Idiot” memang menyiratkan kisah yang sangat menarik di baliknya, beberapa dari kita mungkin akan menertawakan kebodohan warga Amerika yang dikisahkan dalam lagu ini. Namun, percayalah, bukan tidak mungkin suatu saat kitalah yang akan menjadi bahan tertawaan mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa media-media punya andil besar dalam memuluskan kepentingan para politisi di negara ini. Beberapa politisi di negeri bahkan punya media sendiri, seperti Hary Tanoe yang punya MNC Media Group dan Surya Paloh yang punya Metro TV. Kedua nama beken ini berada di barisan pendukung dari Presiden RI saat ini, Joko Widodo. Silahkan cek sendiri bagaimana isi pemberitaan media-media tersebut menjelang Pilpres 2019 kemarin, kepada paslon manakah mereka berpihak? 

Keberpihakan media selalu digaung-gaungkan sebagai sesuatu yang “haram”. Namun, realitanya, keberpihakan itu selalu ada meski samar. Sudah banyak kasus pendukung politisi yang berselisih hanya karena berita “gorengan” media. Yang lebih mengerikan lagi adalah berita hoax yang datang dari media-media tidak jelas yang hanya ingin menjatuhkan pihak-pihak yang tidak mereka sukai. Kemampuan verifikasi pembaca adalah satu-satunya yang bisa menjadi penyelamat kita dari kontrol media yang menyesatkan dan mengadu domba. Pertanyaannya, apakah kita memiliki cukup bekal untuk menghadapi segala gempuran ini di Pemilu yang akan datang?

Kemajuan bidang informasi memang ibarat sebuah koin, di satu sisi dapat mencerdaskan, namun di sisi lainnya menyimpan malapetaka. Lagu “American Idiot” adalah sebuah gambaran sempurna mengenai bahaya yang mengancam di balik semua kemajuan ini. Mari berharap agar kemajuan bidang teknologi dan komunikasi tidak membawa kemunduran bagi nalar umat manusia. Terakhir, saya ingin menanyakan dua pertanyaan kepada kalian para pembaca. Percayakah kalian kalau media punya kemampuan untuk mengontrol pembaca? Apabila kalian menjawab iya, saya sepenuhnya sepakat dengan itu. Lantas, apakah kalian pernah merasa dikontrol oleh media? Apabila tidak, congratulations, you‘ve just become an Indonesian idiot.

 

Penulis: Andi Muh. Ahsan Rizal

Editor: Lutfiyatul Khasanah