Oleh: Ririn Setyowati
“Hanya karena aku perempuan, apakah artinya aku tidak dapat melakukan sesuatu yang buruk? It’s fucking nonsense”
PENONTON DIBUAT KHUSYU mendengar umpatan Cinta. Lantunan semacam fucking dan shitting begitu akrab di bibirnya yang penuh gincu. Ia memang kerap dibuat kesal dengan kisah persetubuhannya dengan beberapa lelaki yang tidak memuaskan. Belum lagi, birahi tak tersalurkan yang membuatnya harus masturbasi sekali dua kali.
Walau kepulan asap rokoknya tiada henti, penonton tidak usah ikut terbatuk-batuk. Tidak usah pula mengingatkan Cinta agar berhenti sejenak. Boro-boro menegur, menghitung jumlah tato di tubuhnya saja tidak sempat.
Justru penonton – terutama lelaki – malah sesekali ikut tertawa dalam guyonan saru ala Cinta. Mereka memang terpana. Sinema berjudul HUSH, ditutup dengan riuh tepuk tangan.
Memang benar bahwa dalam HUSH laki-laki ditampilkan sebagai sosok bajingan. Cinta yang di awal film menceritakan kebebasannya berhubungan badan, mendatangi klub malam, sempat dipenjara dan pernah dua kali melakukan aborsi, ternyata memiliki cerita pelecahan seksual di masa kecilnya.
Cinta diperkosa seorang lelaki saat berumur sembilan tahun. “Ia melakukannya dengan sangat rapi. Ia berhasil membuatku nyaman berada di dekatnya, sampai-sampai aku tidak sadar kalau aku sedang diperkosa.”
Ia pun sebenarnya tidak ingin mengingat kejadian itu lagi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa trauma itu tetap ada. “Bahkan aku masih ingat bagaimanakah penisnya dan cara dia memasukkannya dalam vaginaku. Memori yang menyakitkan.”
Djenar yakin kejadian seperti itu akrab di lingkungan kita, hanya saja beberapa korban memilih diam atau bunuh diri saja, daripada menjadi aib bagi dirinya sendiri dan keluarga. Ditambah, tekanan konstruksi sosial yang memiliki peniliaian yang tidak adil, apalagi bagi wanita.
Ini mengingatkan kita pada orasi Djenar di akhir film, “Laki-laki gonta-ganti pasangan katanya jantan, perempuan gonta-ganti pasangan katanya murahan. Laki-laki tidak nikah makin dicari, perempuan tidak nikah semakin diaci.”
Film “Nakal”
“Memang HUSH ini terlihat seperti film documentary, tapi sebenarnya ini based on script. Kita mengembagkan format supaya terlihat lebih real dan ngena saja”, ungkap Djenar di sela diskusi. Namun, perubahan format dari yang semula fiktif menjadi semi dokumenter nyatanya tidak membawa perubahan yang luar biasa, “terutama dalam segi finansial, saya masih tetap rugi”.
Baginya, isu perempuan yang diungkap secara gamblang seperti dalam karya atau filmnya masih dianggap isu yang tabu bagi banyak orang. Galih Pangartjati, salah satu penonton bahkan turut menyampaikan kekecewaannya, “saya juga menyayangkan film ini tidak mendapat antusiasme yang tinggi, banyak ditolak masyarakat malah.”
Pasalnya, format yang berbeda tidak akan membuat Djenar menurunkan tensinya soal metropolitan dan seks. Contohlah, film Djenar sebelumnya, Mereka Bilang Saya Monyet! (2008) yang malah lebih fasih menampilkan adegan persetubuhan, desahan perempuan, dan dialog-dialog saru yang – katanya – tidak pantas dikatakan oleh perempuan.
Galih mengaku sebagai pengamat gender nan penggemar Djenar yang istikamah. Karya-karyanya tentu Galih baca dan tonton. “Bagi saya, isu-isu konstruksi sosial seperti yang mbak Djenar sampaikan ini benar-benar mencengkram banyak orang. Tidak hanya perempuan tapi juga untuk lelaki.”
Namun, Djenar tidak memungkiri bahwa banyak orang melihat karyanya dari sisi negatif saja. “Ya memang isu seperti ini tabu. Ya, saya juga dapat protes dari beberapa komunitas laki-laki bahwasanya saya penulis sastra selangkangan, sastra wangi. Pokoknya macam-macam,” akunya.
Ucapan Djenar membuat kita kembali pada kisah Ajeng, tokoh buatan Djenar dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008), yang harus menanggung caci atas cerpennya berjudul Lintah yang berhasil dimuat di koran. Perlakuan Ajeng di film itu sama dengan apa yang diungkapkan Djenar malam itu. “Saya bahkan sempat dituduh tidur dengan mentor saya.”
Bahkan sampai saat ini Djenar masih yakin bahwa apa yang perempuan lakukan, pasti masih membutuhkan peran lelaki di belakangnya. “Itu hanyalah konstruksi sosial yang dibuat. Awalnya diskriminasi terhadap pikiran perempuan, kemudian tubuhnya.”
Djenar seolah tak ingin kecanggungan penonton berakhir usai HUSH selesai diputarkan. Terutama kecanggungan pada tubuh dan realitas sosial.
Seolah tak boleh lupa dengan Cinta yang sempat tampil tanpa sehelai kain dalam sebuah adegan, Djenar datang ke Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah dengan busana santai bergaya funky. Di acara Pesta Film Solo 2017 tersebut, ia memakai topi, ber-tanktop hitam, menenteng ransel kecil serta celana pendek dengan jaket yang ditali dipinggul.
Tidak hanya sampai di situ. Romansa antara Djenar dan Kan Lume, produsernya, ternyata tak dapat dibendung. Sesekali mereka berbisik dekat lantaran Djenar memang harus jadi penerjemah Ken – seorang Singapura – yang tak fasih berbahasa Indonesia.
Puncaknya, di tengah acara mereka berdua tak segan bermesraan intim di hadapan penonton. Mereka berciuman. Ruangan henyak sejenak.
Bukan Feminis
Djenar yakin akan masih banyaknya isu pelecehan seksual, pemerkosaan, hingga berujung pembuhan yang tak sesuai dengan data statistik yang ada. Itulah mengapa ia perlu menyuarakannya. “Jumlah kami memang banyak, tapi masalah suara masih lebih banyakan laki-laki. Itulah mengapa saya perjuangkan isu ini, terutama dari perspektif perempuan.”
Djenar pun enggan apabila sebuah gender lebih tinggi daripada gender yang lain. “We have to equal. Of course!”. Seperti kata Cinta pada film HUSH. “Semua orang suka seks. Semua! Ya laki-laki ya perempuan. Tidak usah berbohong. Ha-ha.”
Namun, Djenar lebih suka disebut sebagai seorang humanis. “Namanya berkarya pasti ada pengkategoriannya, cuman kalau saya sebut saja humanisme. Soalnya memang yang diperjuangkan kemanusian. Bukan cuma perempuan saja. Kita semua ini kan korban, bahkan alam dan sekitarnya adalah korban.”
Nyaris semua karyanya bertendensi untuk membela perempuan. Baik itu film, novel, maupun cerpen. Namun, dengan kukuh Djenar masih dapat berkata: “saya bukan feminis.”[]