“Sampe Malang jam berapa mbak?” Tanya bapak saat ku kabari kereta dari Stasiun Bandung ke Malang sudah beranjak. Sore ini langit Bandung hanya melempar sedikit cahaya yang kulihat dari dalam kereta sambil membalas pesan bapak itu. Anak senja katanya, tapi atmosfer Bandung memang masih berat aku tinggalkan begitu saja. Sayangnya, tiket yang diberikan oleh lembaga yang menaungiku hanya sampai hari ini saja, gak dibisa di-extend. Ku rekam tiap hal yang menarik dari sudut Kota Bandung saat itu sembari merefleksi diri. Aku teringat kalimat yang menjadi ciri khas kota ini, kalimat yang menjadi latar foto sejuta umat, dan kali ini baru saja kubaca.
“Dan Bandung, bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi” kalimat Pidi Baiq yang membawaku teringat satu hal, 2022 segera pergi.
“Tahun baru, ‘kan?” “trus mau apa tahun depan? mau buat resolusi-resolusi baru?” “emang resolusimu tahun ini sudah tercapai semua? atau justru jadi sekadar resolusi tanpa ada usaha buat mencapai perbaikan?” hehehe, sedikit satire ke diri sendiri.
Rasa-rasanya otakku bekerja keras untuk mengingat kembali 11 bulan yang telah berlalu ini. Mengingat apa saja yang telah kulakukan dan membawaku jauh ke titik sekarang. Titik yang sebenarnya bukan puncak, tetapi lebih baik daripada sebelumnya. Alih-alih mengeluh, aku lebih suka mensyukuri perjalan panjang di 2022 ini.
****
Januari kemarin, pagebluk pandemi sudah mulai reda, tapi entah kenapa kuliah masih saja online. Bagi mahasiswa Angkatan Corona tentu ini jadi mimpi buruk, karena kita benar-benar 4 semester kuliah online. Apalagi bagi orang yang punya energi ketika bertemu orang lain sepertiku, kuliah online jadi PR berat. Tapi, yaa nikmatin sajalah. Selagi bisa kuliah pagi sambil sarapan, kuliah siang sambil Twitter-an, dan kuliah sore sambil tiduran.
Nikmat Tuhanmu mana lagi yang akan engkau dustakan?
Jam di hpku menunjukkan Pukul 19.29 dan peta di Aplikasi Zenly ku pun baru saja melewati Kabupaten Tasikmalaya. Hmm, masih jauh ya dari Malang, tapi baguslah masih banyak waktu untuk kembali berdialog dengan diri sendiri.
Pikirku kereta ini melaju terlalu cepat. Ternyata enggak juga ya, keretanya berjalan di rel sesuai tujuan dengan kecepatan yang telah ditentukan. Mungkin, akan ada yang turun duluan karena sudah sampai di lokasi stasiun tujuannya. Akan ada juga yang turun paling akhir karena jaraknya lebih jauh daripada yang lain. Sepertinya kita memang tidak sama, meskipun sama-sama berada dalam kereta Malabar dengan jalur Stasiun Bandung-Stasiun Malang, tapi tujuan dan pemberhentian kita berbeda.
Di tahun ini mungkin banyak lalu-lalang pikiran yang lewat di kepala. “Kok dia bisa mantep banget bisa nyampai titik itu” “kok bisa ya orang-orang secepat itu dapetin apa yang dia mau” “haduuh, usahaku kok melempem-melempem aja, gak ada hasilnya” “kok kisah cinta orang-orang mulus banget yaa, ehemm.”
Yaa, balik lagi ke filosofi kereta tadi, tujuanku dan mereka gak sama. Kita punya tujuan yang beda, truss kenapa harus ikut jalur orang lain kalau kita punya “jalur rell” yang berbeda? Penyakit ku dan mungkin penyakit generasi yang katanya lagi menghadapi Quarter Life Crisis ini sekarang adalah membandingkan hidup sendiri dengan pencapaian orang lain. Mungkin ini akan jadi resolusi tiap tahun yang entah kapan akan ‘selesai’ atau mungkin gak pernah akan selesai. Menjadi bodo amat dengan pemikiran orang, sepertinya kita semua juga butuh membaca buku“The Subtle Art of Not Giving a F*ck” karya Mark Manson itu.
****
Gagal adalah sahabat kita semua ‘Wahai anak muda’. Dari bulan satu sampai bulan dua belas ini untungnya nggak ku list rentetan gagal yang cukup mengganjal di kepala ini. Mungkin kegagalan yang kulewati setahun terakhir jumlahnya kaya satu dibagi nol, tak terhingga hehehe. Tapi apa sih definisi kegagalan yang sebenarnya? kayanya di usia yang masih baru menyentuh angka 20 ini gak ada yang namanya ‘definisi’ kegagalan. Bukan gagal, kita hanya butuh banyak waktu untuk belajar lagi dan lagi. Seperti kalimat yang kubaca dalam Encyclopedia of Useless Facts on Unbelievable Human Being, “Kita harus menoleransi kesalahan dan kegagalan, untuk membuat kesalahan menjadi sesuatu yang benar kita tidak boleh menyembunyikan kegagalan itu dari diri kita” dan yang paling penting bagiku menyikapi setiap kegagalan (yang sebenarnya juga bukan gagal) adalah mental kita sehat ketika mampu menerima keadaan seapa adanya.
Bicara takdir, tahun ini ku kira banyak hal tak terduga yang datang mengatasnamakan takdir. Kutipan favoritu dalam buku A Fuadi di bukunya Trilogi Negeri 5 Menara:
Hidupku selama ini membuat aku insyaf untuk menjinakan badai hidup, ‘Mantra’ man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tetapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi bisa juga berpuluh-puluh tahun.
Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi dengan sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal, keberuntungan adalah hasil dari kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.
“Apa tadi? keberuntungan?” mungkin kalimat itu yang selalu aku butuhkan ketika mencoba berbagai hal. “Keberuntungan adalah hasil dari kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih.” Tugas kita lebih banyak untuk mencoba, tapi tak jarang aku sendiri masih kalah sebelum berperang karena ‘Nggak mau nyoba’. Musuh utamaku sebenarnya mungkin diriku sendiri tanpa dirasa. Banyak hal yang bermain dalam pikiran justru mengurangi keberanianku untuk mencoba hal baru itu masih saja menjadi masalah tanpa jalan keluar di tahun ini. Hmmm, mungkin kalimat yang kutemukan pada cuitan Twitter ini sedikit memberi ketenangan. “Kalo kita mencoba untuk sekadar mendaftar, seenggaknya kita punya peluang 0,01% untuk berhasil. Tapi, kalo kita gak mau mulai, kita punya 100% untuk gagal.” Kalimat yang menarik untuk diingat mestinya.
Bagaimanapun tingginya impian dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digulung nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah tuhan buat hati yang kukuh dan sabar. Lalu apakah sekarang diriku sudah cukup sabar menerima ‘kegagalan’ di tahun ini?
****
Hampir 8 jam sudah aku di kereta ini, sebentar lagi sampai. Yaa, mungkin 2 jam lagilah. Masih cukup waktu untuk sedikit memikirkan “Ternyata aku sudah berjalan sejauh ini”.
Ternyata, saat kulihat kembali diriku saat ini. Aku pikir ini sesuatu yang gak bisa dibenarkan, terlalu fokus pada hal-hal yang belum ku miliki membuatku abai ada banyak hal yang perlu disyukuri. Rezeki bukan perkara uang. Dipertemukan dengan orang-orang baik di sepanjang 2022 ini membuatku tersadar. Ketemu banyak orang adalah hal yang paling aku syukuri. Banyak orang yang datang dengan berbagai latar belakang dan sudut pandang membuatku lebih memaknai apa itu perbedaan. Mengenal orang dengan culture dan adat yang berbeda membuatku belajar apa itu menghargai. Lalu, bertemu dengan orang yang membutuhkan bantuan membuatku belajar apa itu kepedulian. Bagaimana Tuhan merencanakan setiap pertemuan ini membuatku belajar untuk menjadi orang yang memiliki curiosity, initiative, persistence, adaptability, dan social awareness kepada mereka.
Pukul 3 dini hari, saatnya aku yang turun dari kereta. Yaaa, stasiun tujuanku sudah sampai. Banyak wishlist yang ku centang di tahun ini ternyata, sekadar ingin hujan-hujanan di Bandung misalnya. Atmosfer yang katanya menggambarkan orang patah hati, tapi sekarang yang ku ingat dan rasakan bukan Bandung dalam gambaran Film Dilan 1990. Kota ini sekarang jadi tempat pertemuanku dengan hampir 98 persen orang baru dalam hidupku. Dan untuk semua yang telah aku lewati di tahun ini, aku belajar satu magic word yang kupikir kita semua membutuhkannya “Ikhlas, ikhlas, dan ikhlas.”
Penulis: Rizky Fadilah