Bagian Pertama
“Di Ambang Sajadah dan Asa Sang Marbot: Rindu yang Berbincang dengan Tuhan”
Seperti waktu yang merahasiakan dirinya, sang marbot masjid masih saja memakai sarungnya yang compang-camping. Tapi jika dipikir-pikir, siapakah yang peduli dengan hidup para marbot masjid? Barangkali, jika sang imam bukanlah penentu shaf barisan saat sembahyang, kita bisa bersama-sama percaya pada marbot-marbot yang biasa-biasa saja, tetapi penuh dengan iman kepada Tuhan Sang Pencipta.
“Shaf-shaf kembali dirapatkan, dan angin segar merayu pepohonan yang kian mengering, menggugurkan daunnya yang beruban dan berwarna cokelat dengan sangat malu dan bersahaja, bagai orkestrasi perpaduan shaf yang saling merapatkan. Maju satu per satu, tak kian merona dan mempesona, bergerak atas nama kaki, hati, dan perasaan yang saling merekat.”
Hal tersebut adalah gambaran sesuatu yang pasti dan diberlakukan di masyarakat. Adegan tersebut bersifat konkret dan dapat dibuktikan ketika terdengar suara azan dan iqamah. Namun, dalam dada kita masing-masing, tersimpan sebuah pertanyaan yang ingin memaksa keluar:
“Kapan sang marbot masjid diberi kesempatan untuk menjadi imam bagi tiap jemaah?”
“Aku tidak akan berlari kali ini. Segalanya sangat berbeda. Aku muak dengan omong kosong ini. Semua telah dilibas habis oleh waktu, dan aku selalu tak bisa menemuimu,” kata sang marbot dengan lirih, mengangkat kedua tangannya, berharap segera berjumpa dengan Hyang yang Rahmatan Lil Alamin.
Di sisi lain, para malaikat kocar-kacir, langit heboh hingga lupa bacaan kepada Hyang-nya. Sang ahli nisbi termenung, berdalih:
“Jangan sampai mulut manusia berganti menjadi pel-pelan, membersihkan segala yang kotor dan palsu.”
Semuanya licin dan perlu dibersihkan, tak peduli bahwa sejatinya yang diperdebatkan adalah hal-hal delusi dan fana. Kata-kata sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, berfungsi untuk mengindahkan serta memperlihatkan perasaan peduli terhadap orang lain. Dan memang itulah kenyataannya. Kata-kata keluar dari mulut manusia, saling menancapkan kalimat yang kadang-kadang hanya menambah luka.
Terkadang, fanatisme dalam tubuh makhluk sosial terasa sangat klise, menjadi antitesis bagi yang tercipta, tetapi tetap menciptakan. Mereka saling tawar-menawar sebuah orientasi, menaruh harga pada setiap perjalanan setiap makhluk, berharap tak ada yang rugi. Namun, mereka mempunyai cara pandang masing-masing, sampai lupa bahwa mereka selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Saling menghina dan menghinakan, saling mengafirkan dan dikafirkan, kufur dan dikufurkan, fana dan memfanatiskan.
Jiwa-jiwa tak tenang, bergentayangan di gelap malam. Beberapa pikiran singgah dalam perjalanan, semuanya terekam dalam bilik-bilik sunyi, menyisakan perasaan rindu di setiap insan.
“Semoga Tuhan menjawab doa-doaku,” kata sang marbot dengan muka penuh harapan.
Sepertinya, biarlah menjadi bunga tidur, para marbot sedang mendapati mimpi indah: hidup mewah dan serba kecukupan. Tapi sebenarnya, bukan itu doa yang ia ucapkan sebelum tidur. Dalam rotasi mimpinya, para marbot masjid malah memberontak dan meronta-ronta terhadap mimpi mewah serba kecukupan, tanpa kekurangan apa pun. Ia berkata, “Mimpi yang sia-sia atas nama dunia.” Kemudian, ia beranjak dari mimpinya, mulai membuka mata secara perlahan, dan kembali menghadapi kenyataan hidupnya yang biasa-biasa saja. Kemelaratan suka bersenandung dalam kesehariannya. Ia bergumam pelan, “Mengapa waktu selalu merahasiakan dirinya?” seperti sajadah para makmum yang meminta peraduan.
Nalar-nalar tak dipakai dan logika manusia sudah usang. Angan-angan dan mimpi belaka tidak menjadi apa-apa. Untuk apa aku menjadi apa-apa, jika sebagai marbot saja aku merasa penuh cinta? Aku sering melihat jemaah yang sarjana, magister, dan profesor semakin transaksional. Aku rasa, alam manusia semakin tak punya rasa. Padahal, katanya dalam cerita legenda:
“Makhluk sosial tak pernah mati, baik jiwa maupun perilaku mereka.”
Namun, seiring berjalannya waktu, risiko terpenjara dalam ego masing-masing semakin nyata, satu per satu diperlihatkan. Tidak ada gunanya:
33x setiap hari (detik)
33x setiap bulan (menit)
33x setiap tahun (jam)
Akan kembali ke tanah. Wahai engkau yang merasa memiliki.
Aku melihat sajadah mereka selalu tegak lurus, hanya satu atau dua saja yang merata dan melintang. Aku berkaca pada sajadah tersebut. Mereka menggelar banyak sajadah yang panjang dan lebar untuk digunakan dalam peraduan mereka. Aku berandai-andai dan mulai merefleksikan gambaran para jemaah tersebut seperti para komunis, dan aku selalu bertanya-tanya kembali serta merefleksikan sajadah panjang yang mereka gunakan dalam satu shaf barisan yang sama. “Bukankah ekonomi komunis seperti itu?” Semua rata.
Oh Tuhan, tersesatlah aku, duhai marbot masjid murahan.
Akan tetapi, Tuhan, sosok kapitalis dan sosialis selalu tercermin saat aku melihat jemaah melaksanakan sembahyangnya. Sajadah tegak hanya digunakan seorang diri, seperti ekonomi kapitalis yang mengajarkan poros individualisme. Oh Tuhan, syukur saja aku masih melihat jemaah-Mu yang sosialis. Kaum-kaum sajadah melintang, dua orang berbagi satu sajadah, bukankah itu mencerminkan ekonomi sosialis, duhai Tuhan? Menyumbang kepada sosial, menyumbang kepada sesama. Tapi mengapa kaum sosialis tak mengasihani para marbot masjid sepertiku, Tuhan? Barangkali, hidup adalah doa yang panjang dan tak akan pernah selesai dalam meminta kepada-Mu. Lagi-lagi aku hanyut dan mati dalam nama-Mu, kembali menggerogoti diksi dan majas yang hilang dalam wajah-Mu.
Demi Tuhan yang baik, bukankah kita semua ini sama? Sosok pengemis dan peminta-minta dalam berdoa kepada-Mu, di hadapan-Mu kita semua sama, melarat dan peminta-minta. Bukan begitu, Tuhan? Lalu, bagaimana caraku kembali mengingat wajah ibuku? Sementara tetangga-tetangga dan Yuk Jum berkata bahwa aku ini anak haram jadah, yang dilahirkan tanpa hubungan suami istri yang sah.
Lalu, di mana sebenarnya keberadaan mereka, Tuhan? Barangkali aku selalu berandai-andai dalam anganku tentang malam kencan pertama antara ibu dan ayah.
Ibu pasti cantik hari itu, memakai gaun merah dan bersolek indah dengan makeup-nya. Ayah juga, pasti memakai jas mewah, bergaya bak menteri yang mengunjungi panggilan sang presiden. Duhai Tuhan, mereka pasti sedang melakukan adegan dewasa, seperti berciuman dan saling berpelukan di restoran mewah serta tak menghiraukan beberapa pasang mata yang menangkap adegannya. Bibir ayah pasti terhisap pekat dengan bibir ibu, seperti menemukan makna tersembunyi di balik puisi Sapardi, mungkin?
Sangat nostalgia. Aku teringat kembali atas pemberian buku puisi dari Pak Ustad Naim. Ia memberiku sebuah buku puisi karangan Pak Sapardi. Katanya, “Bacalah ini, kau pasti menemukan tempat tinggal untuk berpulang dan merebahkan lelah atas seharian membersihkan masjid dan menggosok tempat wudu.” Sebelumnya, bahasa puisi tak bisa kupahami dengan indah, membaca saja aku tak bisa. Tapi sungguh, Pak Ustad Naim adalah orang yang baik. Sangat baik. Ia mengajariku membaca mulai dari variabel A-Z, huruf konsonan, sinonim, antonim, dan beberapa majas hiperbola. Sayangnya, beliau sudah menjadi imam masjid di Kuba, dan aku belum sempat berbincang kembali tentang apa sebenarnya makna cinta, ibu, dan keluarga.
Barangkali perempuan hanyalah bias sang maya yang diperintahkan atas hasrat, ketakutan, dan kekuasaan—dan itu menjadi bandul yang terus bergerak beriringan. Sementara perempuan cukup berdiri di kejauhan, menunggu pentas usai tanpa paham jalan cerita, bersiap menyaksikan kisah di episode berikutnya.
Namun jika aku berandai-andai demikian rupa, berarti bisa disimpulkan bahwa aku adalah anak orang kaya? Yang mandi dengan bathtub dan shower, bukan dengan gayung dan bak pecah yang kupakai setiap hari. Aku juga pasti selalu makan protein bergizi yang dipadukan dengan perlengkapan table manners—atau table minners, ya, yang benar? Hmmm… Tapi meskipun begitu, pasti sangat mengasyikkan. Bisa makan dengan perlengkapan seperti sendok, garpu, sumpit, dan pisau kecil. Hehehe…
Akan tetapi jika pun itu benar, aku pasti menderita karena beberapa perlengkapan tersebut. Huh…
Dan sudah-sudah, aku harus kembali pada kenyataan ini. Seorang marbot masjid yang kalau ingin makan protein bergizi harus menunggu sedekah Jumat saja. Itu pun kalau ada yang bersedekah… Jika tidak, maka puasa lagi, deh…
Secukupnya saja, wahai Tuhan. Jawablah doa-doaku dengan kesejahteraan spiritual.
Dongeng telah usai. Mayat-mayat manusia bangkit dalam pembalasan. Suatu waktu akan ada saatnya tak ada hitam, tak ada putih, tak ada abu-abu, dan tak pernah ada. Malam penghabisan. Malam pembalasan.
Sang marbot termenung dan tertegun untuk sementara waktu hingga azan menuju Isya berkumandang.
Bagian Kedua
“Rokok Pergerakan: Kisah Malam Santri”
Suatu ketika, beberapa santri memiliki waktu luang. Malam hari, sehabis istighosah Isya, mereka bersama-sama beristirahat di warung langganan dekat asrama pondok.
Di meja tongkrongan, salah satu dari mereka mengeluarkan sebungkus rokok hasil lintingan kemarin malam. Pemilik rokok tersebut berkata, “Silakan ambil beberapa saja untukmu.” Lalu, ia melanjutkan, “Di meja tongkrongan ini, rokok lintinganku memang sosialis. Tapi kalau minta empat atau lima batang, Anda sudah jadi kapitalis.”
Jangan kira rokok lintingan hanya sekadar pilihan bagi mereka yang ingin berhemat. Di balik asap yang mengepul dari ujungnya, tersembunyi jiwa-jiwa perlawanan, nyala perjuangan, serta idealisme yang tegar menentang arus kapitalisme. Ada romantika sederhana dalam menikmati hasil tangan sendiri—lebih memuaskan, lebih berasa, meski kadang getir menyengat seperti cinta yang tak terbalas. Beberapa kawan menyebut rokok lintingan sebagai “rokok pergerakan.” Bagaimana tidak? Sebelum bara api menyentuh tembakaunya, tangan sudah lebih dulu diajak bekerja keras: meracik, menggulung, lalu merapatkannya dengan cinta yang tak kasat mata. Bau tembakau yang liar dan rasa pahit yang menyeruak jelas bukan penghalang. Bukankah perjuangan memang selalu berteman dengan pengorbanan, Bung?
Bagi saya, merokok pun punya filosofi tersendiri. Bukan hanya sekadar aktivitas iseng, tapi bentuk keidealisan—meski mungkin sekadar topeng sok tahu belaka. Bahkan jenis rokok yang kita nikmati dapat menjadi simbol pilihan ideologi.
Ketahuilah, saudara, rokok instan adalah simbol kapitalisme yang halus tapi kejam. Di balik kemasannya yang rapi dan rasanya yang konsisten, tersembunyi roda bisnis yang berputar atas nama keuntungan segelintir orang. Petani tembakau? Pengepul? Para buruh pabrik? Mereka hanyalah roda kecil yang berderit tanpa henti, menggerakkan sistem besar yang menguntungkan si pemilik modal.
Siapa yang paling diuntungkan? Tentu bukan petani atau buruh yang memeras keringat setiap hari, melainkan sang bos besar di balik meja mewahnya. Orang-orang kecil hanya bisa menggantungkan hidup pada bayaran yang pas-pasan, terjepit dalam lingkaran nasib yang nyaris tak punya ujung.
Mungkin benar, seperti asap rokok yang menguap ke udara, hidup kita hanyalah ilusi yang menguntungkan mereka yang duduk nyaman di puncak sistem kapitalis.
Salah seorang santri yang sedari tadi menyimak dengan raut serius tersenyum kecil dan menyahut, “Wah, Ustaz Marx mau ceramah nih. Kalau merokok lintingan disebut perjuangan, boleh juga kalau kita bikin manifesto rokok ala santri pondok.”
Gegap tawa kecil meledak di warung itu. Si pemilik rokok lintingan, yang dipanggil Ghofar oleh teman-temannya, menyipitkan mata pura-pura tersinggung. “Hei, jangan remehkan teori perjuangan rokok lintingku, Bung. Semua perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil, termasuk menggulung daun tembakau sendiri!”
“Apa teori perjuangan itu juga berlaku kalau batang terakhirmu diminta sahabat?” sela Anwar yang duduk di ujung meja sambil mengulurkan tangan iseng meminta rokok.
Ghofar tertawa kecil, lalu menyerahkan satu lintingan tanpa protes. “Itulah bedanya perjuangan dengan eksploitasi. Dalam perjuangan ada rasa solidaritas, ada rasa berbagi tanpa terpaksa.”
Obrolan mereka kian hangat malam itu, ditemani segelas kopi hitam yang kental dan percakapan ringan seputar hidup di pondok yang serba sederhana. Tak lama, satu santri lain yang biasanya pendiam angkat suara, “Tapi kalau kalian bilang rokok linting itu anti-kapitalis, bagaimana dengan kopi sachet ini? Bukannya sama saja? Kita masih beli dari pabrik, kan?”
Suasana sejenak hening. Ghofar mendadak terdiam, seperti seorang filsuf yang menemukan pertanyaan besar dalam hidupnya. “Wah, benar juga ya,” gumamnya lirih.
“Berarti mulai besok kita juga harus tanam kopi sendiri,” canda Anwar. “Biar tambah revolusioner.”
Gelak tawa kembali pecah. Malam itu, di bawah langit pondok yang tenang, para santri tak hanya menikmati rokok lintingan dan kopi sachet, tapi juga merenungi hal-hal besar tentang hidup, kapitalisme, dan perjuangan kecil mereka sebagai anak pondok yang mencari makna di balik kesederhanaan.
Di ujung obrolan, Ghofar berseru, “Pokoknya, perjuangan bukan soal menang atau kalah. Asal rokok lintingan kita tetap hidup, semangat kita tak akan padam!”
“Jadi, kapan kita mulai tanam kopi?” balas Anwar sambil tertawa terbahak.
Malam itu, pondok tak hanya menyimpan hikmah doa istighosah, tapi juga percikan cerita perjuangan kecil yang mungkin akan mereka kenang selamanya.
Nama Penulis: Raka Mahendra
Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah