Oleh: Imriyah
Tirani manusia kini sudah kelewat batas. Jika di zamannya George Orwell lewat Novel Binatangisme, para binatang peternakan Manor tak tahan dengan “eksploitasi” yang dilakukan oleh pemiliknya, para dhemit Pohon Preh kini gantian muak dengan kelakuan manusia yang main tebang dan membikin mereka terancam jadi tunawisma. Akankah mereka menuntut revolusi?
MESKI Selasa kemarin bukan Selasa Kliwon, namun Aula Gedung F FKIP UNS rupanya kedatangan makhluk gaib. Selepas Isya, disaksikan seratusan manusia, lampu sorot berkelap-kelip lalu gelap. Semua hening. Sekumpulan dhemit muncul. Mereka meraung dan cekikikan di atas panggung.
“Hiiihiiihiiiihiiiihiii…….” Kuntilanak tampil duluan. Ia cekikikan, berjoget lalu cekikikan lagi.
Setelah itu, dhemit-dhemit lain menyusul.
Suara-suara mengawali rentetan kehidupan di dunia dhemit yang mulanya damai, tentram dan sentosa. Sampai suatu hari, orang-orang proyek datang, mengubahnya jadi kacau dan penuh kegelisahan.
Panggung masih dipenuhi suara-suara. Kali ini gantian bising mesin alat berat yang hilir mudik di telinga. Pohon-pohon ditebangi, batu-batu dihancurkan. Rupanya semua itu kerjaan proyek manusia. Para dhemit muntab. Mereka bersiasat buat beradu jahat.
Lalu, masalah-masalah proyek satu-persatu berdatangan. Rajek dan Suli, sang pemborong dan konsultanya akan mengubah hutan desa menjadi proyek besar. Tetapi keduanya berbeda pemikiran, Keduanya bertengkar membicarakan soal masalah-masalah proyek. “
Edann… edann.. kau Suli, kau ini konsultan saya, tapi bahkan kau tidak bisa meyelesaikan masalah-masalah soal penduduk yang berbondong-bondong meminta pekerjaan, para pekerja yang sakit mendadak, dan soal Pohon Preh yang sulit ditebang itu,” kata Rajek. Amarahnya menggema seisi ruangan.
“Pak Rajek,” sahut Suli. “Jangan menyalahkan saya, tanah disini labil, mudah longsor, saya sudah menyarankan dibuat terasering, dan soal pohon preh itu memang sulit di tebang meskipun sudah menggunakan traktor,” Suli membela diri. “Artinya… kau percaya terhadap pemikiran penduduk desa itu, bahwa pohon preh itu ada penunggunya, ada dhemitnya?” suara Rajek meninggi. Namun, ucapan sang pemborong itu tiba-tiba berhenti, Suli tiba-tiba menghilang. Semua mata kebingungan.
PEMBACA pasti sudah sadar sejak awal, bahwa dhemit-dhemit yang terceritakan di sini hanyalah aktor-aktor teater Peron UNS yang sedang memainkan perannya. Lakon yang dijuduli “Dhemit” ini sebenarnya merupakan pentas promosi karya Heru Kesawa Murti dan garapan sutradara Bayu Ahmad Fadillah dalam rangka menyambut mahasiswa baru.
“Kita sudah banyak melihat penggusuran dimana-mana, kerisauan itu pun akhirnya timbul: kenapa tiba-tiba digusur ketika baru dibutuhkan? Kenapa kalau memang ilegal, tidak dari awal digusurnya? Pasti ini sudah ada kongkalikongnya!” kata Bayu, si Sutradara yang juga seorang mahasiswa Pendidikan Luar Biasa 2015.
Menurutnya, tokoh para dhemit ia gunakan karena dhemit merupakan korban, yang tidak bisa disuap, berbeda jika manusia menjadi objek utamanya. Sederhananya, Bayu menggunakan objek dhemit sebagai satir terhadap permasalahan pembangunan.
Cerita pun berlanjut ke adegan para dhemit yang sedang berdiskusi terkait penggusuran tempat tinggal mereka, dengan pemimpinnya; Jin pohon preh. Di adegan itu, para dhemit menjelma menjadi dhemit yang revolusioner, dengan pemikiran-pemikiran kritis mlinthis khas mahasiswa.
Tapi ternyata, diskusi itu meninggalkan selisih. Gondoruwo, sang panglima dhemit dengan lancang langsung memerintah dhemit lain untuk menculik seorang wanita dari dunia manusia, tanpa sepengetahuan dari pemimpin dhemit. Konflik un semakin rumit. Mereka jadi saling tak mempercayai satu sama lain..
“Harkat kita diinjak-injak!” kata Gondoruwo.
Sementara itu Rajek, sang pemborong yang serakah masih mencari Suli, konsultannya yang hilang diculik dhemit. Ia bersama sesepuh desa menemui dhemit untuk memberikan sesuguh desa, sesepuh melakukan sesaji dihadapan putrinya dan Rajek. Ia membujuk para dhemit. Berniat berdamai saja demi nyawa konsultannya. Kesepakatan akhirnya muncul, Suli bisa dikembalikan ke dunia manusia.
Namun, dasar manusia, Rajek yang serakah itu melanggar kesepakatannya. Ia malah membawa dinamit untuk menghancurkan Pohon Preh keramat itu. Dinamit meledak: “Duuaaarrr……!!”
Akhirnya para dhemit dan tempat tinggalnya hancur. Pertunjukan selesai. Tak ada revolusi. Para dhemit kalah jahat.[]
Penyunting: Vera Safitri