Dalam dingin pelukan malam dan pendar cahaya yang bersembunyi— semerbak petrikor menyeruak. Tertinggal bersamaan dengan pijakan-pijakan yang memar dihajar air Tuhan. Detik berlalu— nyaring suara si makhluk malam mulai tergantikan. Pendar cahaya perlahan mulai menyapa. Satu…dua…tiga. Dimulailah pementasan sandiwara.
Berjalan beriringan mereka, menautkan tangan dan pundak membentuk barisan. Satu persatu dari mereka mulai mengolah tubuh mereka. Menampilkan pesan tersirat tentang sebuah roda kehidupan manusia yang tak lebih dari seorang ‘pengungsi’.
Adegan mulai berganti. Tokoh ‘seseorang’ hadir dalam pergulatan batinnya tentang kepergian sang ibu. Bermonolog ia dalam setiap pikiran yang tertuang dalam angannya. Tentang sebuah tanya yang berenang-renang di kepala— mengapa ibu tak mengajariku memasak ‘soto’ dan malah mengajariku menggoreng ‘tempe’ sehari sebelum kematiannya.
Adegan beralih pada hadirnya empat orang pramusaji yang membagikan tempe kepada para penonton. Dalam adegan pramusaji itu, Teater Tesa menyelundupkan pesan-pesan tentang betapa lekat kehidupan ini dengan ketimpangan yang seolah dihalalkan untuk bertumbuh. Entah dalam sebuah lakon sandiwara atau dalam banyak karya sastra. Kaum-kaum proletar seperti mereka selalu dikafani dengan kata ‘hanya’ yang terkesan rendah dan hina.
“Menjadi pramusaji bukanlah cita-citaku,” pekik seorang pramusaji bernama Ani.
Ani mulai bermonolog. Tentang dirinya yang dulu adalah seorang kasir di sebuah gudang kertas. Ia juga berbagi kisah tentang sosoknya dulu yang begitu kalkulatif, cerdas, dan cekatan. Namun, semenjak ayahnya meninggal dunia— yang juga menyebabkan sang ibu mengidap sakit— hidupnya juga kisah cintanya dengan Tono mulai menggariskan sebuah retak yang membuatnya sesak.
“Apa dikira aku menginginkan ini semua?!” Amarah Ani memuncak. Dalam adegan itu sang ibu hadir. Menanyakan keberadaan sang ayah yang tak terjamah oleh netranya. Berbalut rasa sabar, Ani mencoba membuat sang ibu mengerti. Namun, nihil adanya.
“Bu! Bapak iku sampun mati! (Bu! Bapak itu sudah mati!)” Gertak Ani menumpahkan amarahnya tepat di hadapan sang ibu.
“Qul a’uzu birabbin naas,” penyakit demensia sang ibu tak dapat bersembunyi. Jelas terlihat dalam raut wajah Ani yang dijejali rasa bersalah. Dahulu, ibunya adalah seorang guru ngaji di surau seberang rumah.
Ketegangan mulai mencair ketika Banu, pemilik rumah makan Balai Seroja tempat Ani bekerja hadir. Pembawaannya khas seperti bos-bos kapitalis yang hanya meringis tatkala pegawainya menangis. Namun, Ani tak mungkin menangis dibuatnya. Bahkan ia memperbolehkan Ani mengajak ibunya bekerja dan menyuruh Amir yang merupakan tukang parkir di tempatnya untuk menjaga ibu Ani. Dengan maksud terselubung tentunya.
Dalam adegan Banu, tokoh ‘seseorang’ hadir menjadi sosok yang pemikirannya begitu menentukan arah jalan Banu. Saat dengan keji ia membunuh ibunya pun— ‘seseorang’ menjadi yang pertama terlintas dalam pikiran Banu. Tokoh ‘seseorang’ bahkan harus beradu mulut dengan Amir karena keberpihakannya kepada Banu.
Ternyata, Amir si tukang parkir juga memendam rasa kepada Ani. Ia harus bergelut dengan perasaannya sendiri yang terkurung dalam sukmanya itu. Sayangnya pada suatu hari, ibu Ani hilang akibat keteledorannya.
Teater Tesa begitu apik mengemas pementasan kali ini dengan menghidupkan beberapa dialog bernafaskan kritik yang sarkastik. Tak hanya menyisipkan kritik, para pemain juga sesekali menampilkan adegan serta dialog yang menggelitik. Mengawinkan dialog bernuansa sastra, bahasa Jawa, bahasa trendi masa kini, serta kepiawaian masing-masing tokoh memerankan karakter mereka. Membumbungkan sorak tawa penonton lepas mengudara.
Adegan beralih pada tokoh Ica yang terus mengejar cintanya kepada Tono, teman sedari kecilnya. Mereka berada dalam latar belakang garis hidup yang sama. Namun, Tono tak dapat menerima cinta Ica meskipun sudah lama hubungan gelap mereka terjalin di belakang Ani.
“Kamu tau sengsara apa yang aku takutkan? Aku takut anakku akan sengsara seperti kita. Aku takut anakku kelak akan jadi sepertiku atau sepertimu yang hidupnya sengsara dan penuh kehinaan,” ucap Tono menjawab tanya di kepala Ica. Dalam keheningan itu, isak tangis Ica nyaring terdengar di telinga.
Tono berada dalam puncak amarahnya. Ditatapnya tubuh Ica yang rapuh. “Maka dari itu, Ca. Kita berdua tidak boleh beranak pinak dan mewariskan takdir laknat ini! Lakon macam ini jangan diterus-teruskan sampai anak cucu kita! Cukup selesai di masa muda kita saja!”
Dengan terisak Ica menjawab, “Tapi aku mencintaimu, Ton.”
Kita adalah sepasang merpati dari rahim kemiskinan/ Kita dibesarkan lingkungan yang penuh dengan bajingan/ Kita tak pernah bisa meminta, kita mesti selalu merebut/ Kita tak tahu indahnya berbagi, yang kita tahu adalah mencuri/
Penampilan musik yang menyulap kisah hidup mereka dalam sebuah ode berbalut melodi menambah kesan mendalam pada adegan tersebut.
Kita sepasang merpati dari rahim kemiskinan/ Yang semula tak punya apa-apa kini kita— punya cinta/
Adegan berlanjut pada nasib ibu Ani yang hilang. Nahas sang ibu harus diduga menjadi seorang penculik anak karena demensianya. Teater Tesa menggambarkan kematian ibu Ani dengan begitu dramatis. Dalam sayup-sayup suara jeritan ibu Ani, salah satu massa yang membawa obor mulai bernyanyi.
Padamu negeri kami berjanji/ Padamu negeri kami berbakti/ Maling hari ini harus dikasih mati/ Bakar sajian untuk ibu pertiwi/
Seluruh kerumunan kompak bersorak, “Bakar! Bakar! Bakar!” Ibu Ani tewas dibakar hidup-hidup. Tanpa memperdulikan soal kebenaran, dengan keji ia dibakar oleh massa. Teater Tesa menyampaikan pesan tersirat pada adegan sandiwara yang sejatinya tak hanya sekadar sandiwara ini. Lekat dan dekat. Terjadi dalam realita hidup yang nyata.
“Aku sudah tidak tahan lagi! Jalannya sandiwara— kian lancang dan ngawur!” Tokoh ‘seseorang’ kembali hadir. Berjibaku ia dengan perasaan tak tertahan tentang jalannya sandiwara yang ia lihat. Sayangnya, itu tak merubah apapun.
Kisah sandiwara berakhir dengan menikahnya Tono dan Ani, “Saya terima nikah dan kawinnya Ani binti Sudardi dengan maskawin seperangkat alat menggoreng ‘tempe’ dibayar tunai.”
“Sah!” Seru pemain lain mengakhiri pementasan.
Naskah “Sandiwara dalam Tanda Kutip” garapan Idham Ardi Nurcahyo ini berhasil membuat penonton kagum dan melayangkan tepuk tangan yang bergemuruh memenuhi gendang telinga. Para pemain juga memerankan karakter masing-masing dengan begitu luwes.
“Untuk tahun ini difokuskan setiap angkatan main. Soalnya kan setelah pandemi. Jadi pengen memulai dari nol. Pengen belajar bareng. Persiapannya awal Januari, ya, tiga bulan lah. Tiga bulan kotor persiapannya,” ungkap Erhan Al Farizi, ketua umum Teater Tesa saat diwawancarai pada Minggu (19/3).
Pentas produksi yang dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut itu digelar di sanggar Teater Tesa FIB UNS yang berselimutkan suara-suara rencana pemindahan dari pihak kampus.
“Rencana perpindahan sanggar ini masih sangat menakutkan bagi kita. Karena proses ini terlanjur nikmat, tapi di tengah jalan ada berita itu,” lanjutnya.
Ahmad Firdaus, yang merupakan pemeran tokoh Amir juga mengungkap bahwa rencananya pihak kampus akan memindahkan sanggar Teater Tesa di Kansas (Kantin Sastra).
“Dari pihak atas inginnya berbentuk public space bukan khusus untuk teater. Dulu rapat itu mereka bilangnya tahun 2024, tapi ternyata katanya mau dibangun Mei ini. Jadi ya agak sedih juga,” kata dia pada Minggu (19/3).
Melalui pementasan ini, berdetak pula suara mereka sebagai ‘pengungsi’. Pengungsi yang harus menerima apapun keputusan dari atasan— tanpa perlawanan.
“Kami ingin menyampaikan keluh kesah— di mana kami tetap harus mengungsi atas keadaan yang sudah terjadi ini. Terutama keputusan dari atasan dan kami tidak berdaya. Kami memang benar-benar pengungsi,” pungkasnya.
Penulis: Rohmah Tri Nosita
Editor: Diah Puspaningrum