Anak jalanan ialah mereka yang berusia dibawah 18 tahun dan hidup terpontang-panting di jalanan—ada yang bekerja, ada pula yang memang menggantungkan nasibnya di sana. Mayoritas dari mereka kurang mendapatkan akses kehidupan yang layak. Pun sering dipandang negatif dan dianggap “sampah masyarakat” karena banyak pihak yang merasa terganggu oleh kehadiran mereka yang berlalu lalang di setiap sudut kota, baik perempatan lampu merah, pasar tradisional, maupun terminal.
Anak jalanan sangat mudah ditemui di kota, termasuk Surakarta. Kota ini merupakan salah satu kota besar yang menjadi pusat perekonomian, sehingga membuat banyak masyarakat sekitar dan luar kota berdatangan untuk mencari nafkah. Sayangnya, ketidakmerataan lapangan pekerjaan yang tercipta, justru menyebabkan jumlah pengangguran meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Surakarta mencapai 4,58%. Para orang tua yang menjadi pengangguran dan tidak mampu menanggung kehidupan sehari-harinya inilah yang kemudian menjadi faktor utama anak-anak beradu nasib di jalanan untuk membiayai kebutuhan mereka sendiri—atau malah mereka memang ditelantarkan dan tidak memiliki pilihan selain menjadi anak jalanan.
Anak jalanan memerlukan perhatian yang lebih dari masyarakat juga pemerintah. Kerasnya kehidupan di jalan seharusnya membuat rasa khawatir sekaligus peduli kita meningkat. Mereka membutuhkan perlindungan, baik perlindungan hukum maupun psikologis. Masalah yang dialami oleh anak jalanan bukan sebatas perihal hidup di bawah tekanan dengan segala keterbatasan, tapi juga kerentanannya terhadap kejahatan, seperti pemerkosaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan anak-anak jalanan lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak-anak normal yang tinggal di rumah. Apabila mereka mengalami hal demikian, tentu itu berdampak langsung pada psikologis sang anak—lebih buruk lagi bisa menuntun mereka ke arah depresi.
Tidak hanya dari orang lain, terkadang anak jalanan justru mengalami kekerasan yang disebabkan oleh keluarga mereka sendiri, yakni eksploitasi. Banyak dari mereka yang dipaksa bekerja dan perolehan upahnya langsung dirampas begitu saja, tanpa sisa. Getir rasanya saat melihat anak jalanan dipandang sebagai “sampah masyarakat” oleh segelintir orang. Saya sering bertanya-tanya, “Bukankah anak jalanan berhak mendapat keadilan? Bukankah anak jalanan berhak mendapat perlindungan? Bukankah anak jalanan berhak mendapat pendidikan?”
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Akan tetapi, pada kenyataannya anak jalanan tidak lagi mendapat pendidikan formal dan informal. Padahal sudah menjadi tugas dari para orang tua untuk memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak tersebut.
Peranan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak seperti ini tentulah sangat penting. Meskipun sudah ada hukum yang mengatur tentang perlindungan anak, pemerintah seharusnya mampu bersikap lebih tegas terhadap para pelaku tindak kejahatan anak sekaligus memberinya sanksi setimpal. Tidak sampai di situ, pemerintah pun harus siap untuk menjadikan setiap anak di Indonesia memperoleh akses pendidikan yang layak, baik formal ataupun nonformal, agar setiap dari mereka dapat berkembang dan memiliki keterampilan. Dengan pendidikan, anak-anak bisa terhindar dari perilaku yang menyeleweng atau bertentangan dengan norma.
Penanaman pemahaman kepada masyarakat bahwa anak jalanan pun seorang warga negara yang memerlukan perlindungan dan keadilan harus terus digencarkan. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Masa depan suatu bangsa bergantung terhadap generasi muda. Maka, sudah seharusnya anak-anak ini mendapatkan hak yang layak dalam segala hal.
Annas Rohmanda Purbaningrum, mahasiswa Sastra Indonesia 2023
Editor: Jasmine Aura Arinda