Oleh: Satya Adhi
SI DAB yang sudah kurus kering, kempot pipi, rambut menipis, akhirnya lega. Duit hidup alias living cost Bidikmisi tak disangka-sangka cair minggu ini. Sebelum ini, selama dua bulan Si Dab sampai tiga kali sehari mengecek akun Facebook Komadiksi Smart. Dua hari sekali ia bahkan mengecek rekening Bidikmisinya. Sampai-sampai pakdhe-pakdhe yang biasa mengisi ulang duit di ATM mencurigai Dab sebagai sindikat jaringan penipuan ATM.
Di siang yang mendung manja itu, Si Dab berjalan dengan wajah sumringah dari indekosnya ke ATM BTN di dekat lembah teknik. Ya, walau sambil berharap-harap cemas agar ATM di sana enggak mati, offline, duitnya habis belum terisi, oglangan tiba-tiba, dan problematika lainnya yang sering hinggap di ATM keramat itu.
Sampai di sana, antrean ternyata sudah berjibun. Rupanya yang butuh duit buat beli tisu dan sabun tidak cuma Dab saja. Dari para pejalan kaki sampai mahasiswa bermobil yang parfum mobil sama parfum badan jadi satu, semua tumpah ruah di sana.
Saat mengantre, Dab mendengar kasak-kusuk obrolan dua orang di depannya. Si cewek serupa ukhti sejuk bersuara lembut. Sementara si cowok adalah mahasiswa blawus, gondrong, dengan celana jin robek tak mengenal setrika. Rupanya si mahasiswa blawus tengah mbribik si ukhti sejuk. “Dasar cowok enggak tahu diri!” Batin Dab setengah ketawa. Si Dab kemudian mendengar percakapan antara keduanya.
“Dek, kenapa sih kamu selalu nolak kalau aku ajak jalan berdua?” Tanya si cowok.
“Lah ini kita lagi jalan berdua.”
“Ini mah cuma ke ATM, dek. Enggak ngapa-ngapain.”
“Ngapa-ngapain gimana maksud, Mas?” Si Ukhti balik bertanya.
“Ehm…anu… maksud Mas, kita makan berdua, nonton berdua, jalan-jalan berduaan. Gitu loh, Dek.”
“Aku belum mau pacaran, Mas.”
Kalimat itu sontak membuat si mahasiswa terhenyak. Perutnya yang sakit menahan lapar, terasa makin parah akibat hatinya yang kini serasa dihujam menara SPAM.
“Apa lagi sih yang harus Mas lakukan buat kamu?”
“Mas tadi salat subuh enggak?”
Si Dab kini tertawa sambil misuh dalam hati.
“Ehm, emangnya kenapa, Dek?” Si mahasiswa tampak kebingungan.
“Mas tadi salat subuh enggak? Pertanyaanya gampang kan?”
“Kebetulan Mas kemarin begadang ngerjain laporan penelitian lapangan sampai pagi. Terus kesiangan dan enggak salat subuh deh. He-he.”
“Ooo.…” Si Ukhti hanya melengos ketus.
“Oke. Mungkin Mas bukan orang saleh yang pintar agama. Tapi Mas bukan berandalan, Dek. Mas enggak mabuk, enggak suka TA, sayang sama orang tua, terus, kebapakan lagi.” Si ukhti tampak luluh. Ia terdiam sejenak, lalu memalingkan wajahnya ke hadapan si mahasiswa.
Antrean makin maju. Tinggal tersisa dua orang itu di depan Dab. Air mata tawa Dab rasanya sudah ingin mbrojol mendengar percakapan dua sejoli di depannya.
“Mas…” ucap si ukhti lirih.
“Iya, Dek.”
“Aku sebenarnya sayang sama Mas.”
Eh, kok ndilalah momennya pas. Bunga-bunga angsana yang kuning-kemuning itu tiba-tiba gugur. Apalagi, selepas itu bus kuning UNS lewat di jalanan lembah teknik. Butir-butir angsana yang jatuh langsung terhempas manja ke udara.
“Terus apa lagi yang adek tunggu?”
“Aku belum mau pacaran, Mas. Aku cuma mau pacaran sekali seumur hidup. Yaitu tepat sebelum aku menikah. Aku ingin menjaga diriku sampai saat itu tiba.”
“Ya Tuhan… Lama sekali Mas harus menunggu, Dek! Masa adek tega menggantung Mas sampai Adek siap?”
“Sabarlah, Mas. Tunggu dua tahun lagi. Aku janji, pasti aku bakal menerima Mas sebagai kekasih terakhir sekaligus suamiku.”
Si Dab sudah tak bisa menahan diri. Kali ini batinnya sudah terpingkal-pingkal. Sambil memegang perut menahan tawa, Si Dab berteriak tanpa dosa.
“Ndeeeee!!!… Nunggu Bidikmisi dua bulan aja enggak betah. Sok-sokan mau nunggu yang-yangan dua tahun. Selak rekening atimu keblokir, Mbak, Mas!” (:v)
[author title=”Satya Adhi” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg”]Mahasiswa yang gemar berjalan kaki. Surel: adhii.satya@gmail.com.[/author]