Salam! Teruntuk kalian para pemimpin di luar sana, baik itu pemimpin suatu negara, provinsi, kota, kelurahan, RT, RW, paguyuban pedagang mie ayam, persatuan catur pos ronda terdekat, dan utamanya para pemimpin unit kegiatan mahasiswa (UKM) ataupun organisasi di kampus elit (katanya) yang fasilitasnya sulit. Tulisan ini malam-malam saya buat khusus loh untuk kalian, di bawah sinar redup lampu 10 watt ruang sekretariat LPM Kentingan yang entah sudah dari kapan tidak diganti, ditemani hembusan angin dari kipas tua yang sudah berdebu, dikelilingi buku-buku tua sumbangan alumni yang menggunung, serta dihantui oleh kecoa terbang yang menempel di plafon yang siap bermanuver kapanpun dia mau. Wah, pokoknya spesial sekali tulisan ini, tidak kalah spesial dengan nasi orak-arik bertoping komplit racikan Aa’ Burjo Kuningan.
Mungkin, dari judul tulisan ini sudah timbul sejumlah keraguan dan pertanyaan di benak kalian. Siapa sih orang ini? Berani mengajari kami yang lebih mengerti, berpengalaman, dan berkapasitas. Apakah dirinya sendiri sudah diakui sebagai seorang pemimpin yang baik? Atau mungkin hanya sok tau? Entahlah, mungkin hanya Tuhan dan Rektor Universitas Negeri Sengsara (jangan disingkat) yang tau. Namun, percayalah tulisan ini boleh jadi mewakilkan suara-suara orang yang kalian pimpin, yang bekerja dibawah kalian, yang bersedia mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kalian. Tetapi bukannya mendapat balasan air susu, malah kalian balas dengan air bekas cucian sempak, dosa sungguh berdosa kalau kata Tong Sam Cong. Maka dari itu, akan saya sarankan kepada kalian tata cara menjadi pemimpin yang ideal atau akan saya juluki ‘Si Paling Pemimpin’ versi saya.
Jadilah Sopir Angkot yang Pengertian
Ya, saya mengibaratkan organisasi yang kalian pimpin sebagai sebuah mobil angkutan kota (angkot), kalianlah sopirnya dan anggota lain adalah penumpangnya. Sebagai seorang sopir angkot, tentunya kalian tidak ingin penumpang kalian tidak puas dan malah bersumpah serapah akibat cara nyetir kalian yang bikin naik darah. Maka dari itu janganlah ugal-ugalan, sesuaikan kecepatan kerja kalian dengan kenyamanan para anggota. Sesekali bolehlah tancap gas. Namun, jangan terus-terusan, takutnya penumpang di belakang menjadi terlempar kesana kemari. Namun, di era Lionel Messi sudah menang 7 Ballon D’or seperti ini, masih ada saja sopir yang suka ugal-ugalan. Biasanya mereka ini adalah sosok yang terlalu ambisius, sampai-sampai melupakan aspek-aspek kemanusiaan.
Sesekali coba dengarkanlah lirik lagu dari Hindia yang berjudul “Untuk Apa”, “Cepat namun sendiri, untuk apa?”. Coba beri jawaban, untuk apa kalian seperti itu? Agar visi dan misi yang kalian sampaikan ketika kampanye bisa segera tercapai? Jika iya, maka segera buang pikiran macam itu ke selokan! Apa kalian lupa visi dan misi itu dibuat dan diwujudkan untuk siapa? Untuk seluruh insan organisasi. Maka idealnya, seluruh anggota harus dibuat nyaman dalam proses perwujudannya. Ibarat seorang penumpang angkot yang puas dengan pelayanan sang sopir, pasti mereka tidak akan ragu-ragu untuk menolak uang kembalian yang diberi sang sopir. Begitulah cara mereka memberi penghargaan pada kalian, sama saja tetapi dalam bentuk yang lain.
Hilangkan Sekat, Ini Bukan Warnet
Apakah semasa kecil kalian pernah diisi dengan main ke warung internet (warnet)? Jikalau iya, pasti kalian seringkali menemui model warnet yang antar komputernya dibatasi dengan sekat-sekat. Saya pun masih bertanya-tanya (baca pake nada Dilan Cepmek). Entah apa manfaatnya, untuk meredam suara? Sepertinya sia-sia. Ya, tapi yang pasti bukan agar orang di sebelah tidak tau kalau kalian sedang menonton film biru, serius bukan untuk itu. Lucunya konsep sekat ini masih sering diterapkan oleh pemimpin organisasi-organisasi masa kini. Namun, bedanya sekat yang mereka buat itu tak kasat mata meskipun kita dapat merasakannya. Waduh, udah kayak dedemit kuburan aja. Wah, berarti pemimpin yang masih melakukan hal seperti ini bisa disamakan dengan setan barangkali.
Seringkali kita mendapati sekat antara pemimpin dan anggotanya. Bahkan, terkadang ada diskusi-diskusi perihal masa depan organisasi yang hanya melibatkan orang-orang berjabatan saja. Sebenarnya hal macam ini wajar-wajar saja, yang gak wajar tuh kalau hasil diskusi kalian tau-tau besok sudah jadi program kerja (proker) yang wajib dilaksanakan. Ngerinya lagi, proker ciptaan kalian ini “fardu ain” dan bagi siapa yang menolak maka akan mendapat siksa berupa tatapan sinis dan pengucilan dari lingkaran orang-orang yang ‘paling aktif’ berorganisasi. Seram sekali kan? Kalian tentu tidak mau dong hal seperti itu terjadi dalam organisasi kalian. Kan, katanya yang namanya organisasi harus mampu mewujudkan sense of belonging bagi anggotanya. Yo makanya hasil diskusinya mbok kembalikan dulu ke anggota-anggotamu, mereka setuju atau tidak, jangan diburu-buru jadi laksana makanan cepat saji. Kalau hanya pemimpin yang berhak buat keputusan terus kami-kami yang kecil ini tugasnya cuma menjalankan, lantas apa bedanya anggotamu dengan budak? Ingat loh, semasa kampanye dulu sering jualan demokrasi kan? Nyatanya apa? Pembual sampah.
Respect is Earned, Not Given
Last but not least, anjay. Mungkin saran terakhir ini juga cocok bagi kalian yang sudah menginjak tahun kedua ataupun ketiga di organisasi. Pernah dengar kisah-kisah senioritas di dalam organisasi, kan? Pernah dong pasti. Tidak jarang orang-orang yang lahir setahun atau dua tahun lebih dulu dibanding juniornya berlagak layaknya orang paling berkuasa. Perundungan dalam bentuk fisik dan non-fisik pun menjadi tak terhindarkan. Yang bikin jijiknya lagi, perundungan itu kadang terjadi hanya karena hal-hal sepele. Salah satunya karena sang junior dinilai tidak punya adab dan tidak menghormati dikarenakan tidak memanggil seniornya dengan sebutan kak, mas, mba, kanda, dan sebagainya. Kalian gak percaya ada hal seperti ini? Cobalah sekali-sekali tanya mahasiswa di Indonesia bagian tengah, tepatnya di bagian selatan pulau yang bentuknya seperti huruf K. Amboi, kental sekali budaya kanda-kanda disana, sungguh primitif.
Buat kalian para pemimpin, jangan sampai yang seperti ini lestari di organisasi kalian ya. Jangan ikut-ikut pendahulu kalian yang berlindung dibalik kata budaya, tapi kalau budaya penjajah mungkin ada benarnya, sih. Panggilan Kak, Mas, Mba, Kanda, dan sebagainya memang seringkali dapat melambangkan rasa hormat kepada orang yang usianya beberapa tahun diatas kita, tetapi kalau sang junior menolak untuk memakainya lantas kenapa? Menurut saya pribadi, panggilan-panggilan seperti ini bukanlah satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa hormat. Masing-masing orang punya cara sendiri untuk menunjukkannya. Bahkan, orang yang kesannya sering bercanda dan mengolok-olok kalian dengan berlebihan boleh jadi adalah orang yang paling menghormati kalian jauh di lubuk hatinya, dan hal-hal seperti itu ia lakukan karena merasa sudah sangat nyaman dan diterima oleh kalian. Hanya karena dia seorang junior, seringkali ia dibatasi untuk berbuat hal-hal demikian. Coba saja senior kalian terdahulu yang melakukannya, boleh jadi dirasa biasa-biasa saja.
Respect can be shown in various ways, and remember, respect is earned not given. Hanya karena lebih tua atau punya jabatan tidak lantas menjadikan kalian mendapat respect dari semua orang. Jikalau kalian merasa belum mendapat itu dari junior maupun anggota kalian yang lain, silahkan berkaca dulu, sudahkah kalian memberi perlakuan yang pantas kepada mereka? Apa sudah berani mengakui dan meminta maaf ketika berbuat salah kepada mereka? Jika belum, jangankan menaruh hormat, melihat muka kalian saja mereka mungkin sudah ingin muntah.
Nah, berhubung kecoa di atas plafon kelihatannya sudah siap terbang lagi, mungkin itu saja yang bisa saya bantu sarankan kepada kalian yang pernah, sedang, dan akan menjadi pemimpin. Semoga bisa bermanfaat dan semoga kalian sukses menjadi ‘Si Paling Pemimpin’. Silakan simpan manisnya dan telan pahitnya, karena yang pahit biasanya mengobati. Oh iya bagi kalian yang pernah atau mungkin berniat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan saran saya di atas, tenang tidak apa-apa, namanya juga manusia yang bisa salah dan bodoh. Saya juga manusia bodoh seperti kalian kok, bedanya kalian bodohnya gak ngotak.
Penulis: Andi Muh. Ahsan Rizal
Editor: Diah Puspaningrum