“…dalam RUU TNI ini tidak ada kembalinya dwifungsi TNI,” ucap Dasco selaku Wakil Ketua DPR RI (20/3/2025).
Dalam rapat paripurna, DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Melalui revisi ini, terdapat beberapa perubahan besar, salah satunya adalah meluasnya peran TNI di luar urusan pertahanan. Beberapa pasal baru bahkan memberi wewenang kepada TNI untuk masuk ke ranah sipil, termasuk menduduki posisi strategis di lembaga pemerintahan.
Melalui Majalah Kentingan edisi 6 tahun 1998 dwifungsi ABRI awalnya dicetuskan oleh Nasution karena kondisi politik yang saat itu mengkhawatirkan. Kejatuhan kabinet Ali menyebabkan Presiden Soekarno memberlakukan perang darurat yang secara otomatis kekuasaan tertinggi panglima perang berada di tangan presiden. Nasution juga menyebutkan agar TNI diberikan kesempatan menggunakan kemampuan non militer untuk terlibat dalam politik negara khususnya kekuatan sosial politik.
Lebih lanjut disebutkan bahwa kalangan internal ABRI mencoba menanamkan pemahaman pada masyarakat mengenai dwifungsi ABRI diperlukan bagi stabilitas negara. Namun, kelompok kritis pro demokrasi yang menentang gagasan tersebut. Mereka berpendapat bahwa ABRI tidak seharusnya melangkah jauh di luar jalur hukum dan HAM, serta menganggap bahwa porsi yang dikerjakan ABRI merupakan wewenang orang sipil. Menurut mereka, Dwifungsi ABRI hanya diberlakukan saat masa-masa darurat saja bukan sebagai kebijakan permanen.
Kekhawatiran masyarakat mengenai munculnya kembali dwifungsi ABRI tidak serta merta tanpa alasan. Pada tahun 1998, salah satu pemicu gelombang reformasi adalah keterlibatan TNI dalam ranah sipil yang terlalu dominan, yang dianggap membuat cacat demokrasi dan memperburuk situasi politik saat itu. Kini, lebih dari dua dekade setelah reformasi, revisi Undang-Undang TNI yang baru disahkan DPR membuka jalan kembali bagi militer untuk terlibat dalam pemerintahan sipil dan memperluas wewenangnya di luar sektor pertahanan.
Situasi ini memunculkan kritik terkait prinsip supremasi sipil yang menjadi landasan reformasi mulai tergerus. Beberapa pasal dalam revisi UU TNI memungkinkan perwira aktif menduduki posisi di kementerian dan lembaga sipil tanpa pensiun terlebih dahulu. Jelas ini mengingatkan kembali terkait Dwifungsi ABRI pada zaman orde baru. Keterlibatan TNI pada penanganan siber dan perlindungan kepentingan nasional di luar negeri juga dapat melemahkan kontrol sipil terhadap militer.
Sikap pemerintah seharusnya bertindak tegas dan tidak gegabah dalam merevisi Undang-Undang TNI agar tidak membuka celah bagi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil. Jika terdapat kepentingan yang melibatkan TNI di luar sektor pertahanan, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat agar batas ranah sipil dan militer tetap jelas. Kurangnya keterlibatan publik dalam proses revisi UU TNI dan proses yang dilakukan secara diam-diam tanpa transparansi, semakin memperkuat anggapan bahwa perubahan UU TNI tidak dilakukan untuk kepentingan rakyat melainkan demi kepentingan segelintir pihak.
Penulis: Izzahtu Nuha Zahra’ni
Editor: Salma Fitriya Nur Hanifah