Oleh: Satya Adhi
SEBUAH PENGADILAN kolonial mewujud di atas panggung. Lampu-lampu bergantian menyorot tiga manusia yang berdiri di sana. Nyai Ontosoroh – metamorfosis akhir Sanikem – seorang gundik jenius Tuan Besar Melema; Minke, putra Bupati Bojonegoro yang emoh jadi budak feodalisme; dan Annelies Mellema, putri Nyai Ontosoroh, perempuan Indo malang yang terpaksa mati karena mencintai seorang Jawa.
Di atas panggung cuma ada tiga manusia itu. Hakim dan jaksanya adalah ratusan penonton yang hadir di Gedung Ketoprak Taman Balekambang, Solo, Jumat, 20 April 2018. Di hadapan para hakim itulah Nyai Ontosoroh mulai mengaduh.
“Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, kalian telah memulai membongkar keadaan rumah tangga saya. Saya Sanikem, gundik Tuan Besar Mellema. Sanikem memang hanya seorang gundik. Dari gundiknyalah lahir Annelies dan Robert Mellema. Perlu tuan ketahui, selama ini tak pernah ada yang menggugat hubungan saya dengan mendiang. Kenapa? Apakah karena Tuan Besar Eropa Totok. Mengapa hubungan anak saya kalian persoalkan? Mengapa? Hanya karena Minke Jawa?”
Hukum kolonial tidak mengizinkan Nyai Ontosoroh menggunakan bahasa Belanda yang dikuasainya. Ia harus bicara pakai bahasa Melayu pasar. Ia membela diri, bukan hanya untuk menyelamatkan harta benda yang terancam direbut Mauritz Melema, putra kandung Tuan Besar Melema dari istri pertamanya, tapi untuk menyelamatkan kehormatannya sebagai seorang perempuan-Jawa sekaligus.
“Siapa yang menjadikan saya gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai? Tuan-tuan, bangsa Eropa yang dipertuan! Mengapa kami ditertawakan dan dihinakan? Apakah tuang-tuan menghendaki anak saya juga jadi gundik? Kalianlah yang membuat saya menjadi Nyai, menjadi gundik!” Pembelaan Nyai Ontosoroh menggetarkan hakim dan jaksa di kursi penonton.
Babak penutup tersebut nyaris sempurna. Sayang, setelah monolog Minke tentang kekalahannya di ruang sidang yang terasa kurang bergairah, Wulan Rahmawati yang malam itu jadi satu dari tiga pemeran Nyai Ontosoroh, luput mengucapkan kalimat paling dahsyat dalam roman Bumi Manusia: Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.
Para hakim dan jaksa yang sudah malih lagi jadi penonton tetap bertepuk tangan riuh. Kebanyakan adalah pelajar SMA, guru-guru SMA, juga orang tua para pemain. Merayakan teman-teman, murid-murid, dan anak-anak mereka yang dianggap sukses menggelar pementasan.
Tapi ada satu hal yang paling layak dirayakan dari pementasan naskah Nyai Ontosoroh oleh Teater Citra Mandiri (Ciman) SMA Negeri 2 Surakarta, yaitu hadirnya adaptasi naskah Tetralogi Bumi manusia di kegiatan sekolah menengah. Soalnya, sudah jadi barang umum kalau pelajaran sastra di kalangan sekolah menengah – utamanya karya Pramoedya Ananta Toer – memang payah.
“Kalau saya baru tahu [kali] ini [Pramoedya Ananta Toer dan Tetralogi Bumi Manusia],” ujar Dwi Arti Mariyunani, guru matematika SMA Negeri 2 Surakarta yang sebelum pementasan memberi sambutan mewakili kepala sekolah.
“Belum, belum pernah baca [Tetralogi Bumi Manusia],” Angelo de Lorenzo, si pemeran Minke, juga mengaku kalau dia belum mengenal Pramoedya sebelumnya.
“Iya, pertama kali tahu [Pramoedya Ananta Toer]. Jadi sebelum pentas kami kayak baca dulu novelnya [Bumi Manusia], walaupun belum selesai,” kali ini Wulan dan Gladys Nabila yang memerankan Nyai Ontosoroh yang berkisah. Lumayan, sudah baca walau belum selesai.
Kenyataan semacam ini semakin meneguhkan kekesalan Max Lane, penerjemah Tetralogi Bumi Manusia ke bahasa Inggris. Pernah ia mengutarakan rasa kesalnya atas pembelajaran sastra di sekolah menengah yang tak kunjung membaik. “Dosar besar! Sastra Indonesia, pemikiran Indonesia sejak Kartini sampai [tahun] ’65 tidak diajarkan di sekolah-sekolah menengah. Apakah memang saat ini pun Indonesia masih tidak hadir?” katanya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 12 Agustus 2017 silam.
Dalam buku kumpulan esainya soal Pramoedya, Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia: Pramoedya, Sejarah, dan Politik (Djaman Baroe, 2017), Lane yang mengutip Jamie James dari The New Yorker juga menulis, “ketika saya akhirnya membacanya, saya jadi menyesal kenapa saya belum membacanya waktu umur saya lima belas tahun. Dengan fanatisme masa remaja waktu itu, saya pasti akan mengadopsi idealisme Minke yang penuh gairah menjadi idealisme saya sendiri.”
Semua pelajar SMA di gedung pertunjukan dan pelajar sekolah di bagian bumi lain di Indonesia terancam menyesal. Tapi para guru semisal Dwi Arti Mariyunani juga tidak bisa dipersalahkan. Mereka sangat bisa berkilah, “bagaimana kita mau mengajarkan? Orang di kurikulum pendidikan saja tidak ada.” Itulah kenapa, pementasan Nyai Ontosoroh malam itu patut diapresiasi.
Sang sutradara, Yogi Swara Manitis Aji, memilih mengalihkan fokus cerita. Kalau dalam roman aslinya Minke adalah tokoh utama yang hidup dan menghidup cerita, kali ini Yogi memilih Nyai Ontosoroh buat ditempatkan sebagai sosok sorotan. Selain itu, Yogi juga harus meringkas lebih dari 500 halaman Bumi Manusia dalam pertunjukan berdurasi sekira satu setengah jam yang terdiri dari lima babak.
Keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Dalam Tetralogi Bumi Manusia, Pramoedya menampilkan dua sosok Minke sekaligus yang bergerak dan berubah sejak roman pertama hingga keempat. Minke yang pertama adalah Minke dalam Bumi Manusia. Ia adalah Minke yang masih muda, cengeng, punya hasrat cinta yang kuat terhadap perempuan, juga belum berpengetahuan luas. Sementara sosok Minke yang kedua, menurut Max Lane, adalah Minke yang menulis “orang memanggilku Minke,” jelmaan T.A.S yang sudah tersadarkan akan tanggung jawab kebangsaannya.
Sementara itu, Nyai Ontosoroh memang bukan karakter yang terus hadir dalam empat roman Tetralogi Bumi Manusia. Tapi hal ini tidak jadi masalah. Toh, Nyai Ontosoroh adalah tokoh yang paling kuat – lebih kuat dari Minke, bahkan – dalam Bumi Manusia. Bisa dibilang, Nyai Ontosoroh adalah penulisan ulang Pramoedya atas Kartini yang diubah latar belakangnya dan ditambahkan rasa perjuangannya.
Rasa semacam ini yang sukses ditampilkan dalam adegan perkelahian mulut antara Nyai Ontosoroh dan Mauritz Mellema. Mauritz, Belanda totok anak istri pertama Tuan Besar Mellema, tak terima ayah kandungnya mengangkat seorang gundik Jawa.
“Apa kenyataannya sekarang? Tuanlah yang justru telah mengambil seorang perempuan Jawa sebagai teman tidur, tidak untuk sehari dua hari, bahkan sudah bertahun-tahun!! Siang dan malam. Tanpa perkawinan yang syah. Tuan sudah menyebabkan lahirnya dua anak haram jadah!” Mauritz mengumpat-umpat di rumah orang.
Nyai Ontosoroh tak terima dengan ucapan tersebut, menyuruh Mauritz keluar dari rumahnya saat itu juga. Tapi dasar bocah terlanjur gegabah. Ia justru kembali mengumpat-umpat. “Hemm…o…o…o…, ini tidak ada urusannya dengan kowe, Nyai. Tuan Mellema, biarpun tuan kawini Nyai, gundik ini, dengan perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir!”
“Sekerinya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrow Amellia Mellema Hamers, lebih busuk dari semua dari kebusukan yang pernah Tuan tuduhkan kepada Ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir Jawa berwarna! Dosamu tak terampuni, Tuan!”
Penonton yang sebelumnya sibuk berteriak histeris menyaksikan adegan mesra Minke dan Annelies (yang pemerannya adalah teman mereka sendiri), dipaksa terdiam. Kemudian makin bergetar ketika Nyai Ontosoroh mulai membalas penghinaan terhadap dirinya.
“Seperti itukah peradaban Eropa yang kau ajarkan pada saya?” ujar Nyai Ontosoroh pada tuan suaminya. “Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki rumah tangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatau kali bisa datang untuk kemudian memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa mencampuri urusan orang lain?”
Nyai Ontosoroh berusaha menyadarkan kalau peradaban dan ilmu pengetahuan tak punya guna tanpa moralitas. Harus diakui, untuk ukuran sebuah teater SMA, akting Wulan yang punyak babak paling banyak dalam memerankan Nyai Ontosoroh bisa dibilang tampil cukup memikat. Dengan air muka tegas ditambah kebaya hitam yang sakral, malam itu Wulan adalah visualisasi Nyai Ontosoroh yang memesona.
Bahaya Stigma Ras
Persoalan hadir ketika Tetralogi Pulau Buru ditampilkan dalam sebuah pementasan yang cenderung ringkas seperti ini. Penulis naskah dan sutradara terpaksa menghilangkan tokoh-tokoh semisal Jean Marais, seorang Perancis, mantan tentara yang berperang di Perang Aceh, sekaligus sahabat Minke; serta seorang perempuan Tionghoa pejuang yang nantinya menjadi istri Minke. Ketika tokoh-tokoh tadi hilang, karakter tokoh yang lain akan terkesan stigmatis terhadap ras tertentu, sebagaimana yang terlanjur diyakini orang-orang sampai sekarang.
Semua Jawa– kecuali Ayah Sanikem – adalah kaum yang tertindas. Semua Belanda totok adalah bangsa penindas. Orang-orang Tionghoa adalah kaum pedagang yang licik. Padahal, narasi utama Pramoedya dalam roman aslinya tidak menampilkan hal-hal semacam ini. Pramoedya menyoroti ketidakadilan hukum kolonial yang berlaku saat itu, bukan kebejatan orang perseorangan secara personal.
Selain itu, sungguh sangat disayangkan karena Yogi memilih bingkai feminisme naif di akhir cerita. Ini menodai penampilan pemeran Nyai Ontosoroh yang cukup memikat. Babak terakhir pementasan diakhiri dengan tampilan para perempuan di layar panggung yang dianggap telah mewakili ide emansipasi modern, perempuan-perempuan karir dan perempuan-perempuan yang dianggap punya pencapaian tinggi.
Bingkai emansipasi semacam ini cenderung klise dan justru sekadar menempatkan perempuan sebagai objek perayaan seremonial. Soalnya pentas diadakan satu hari sebelum 21 April.
Di samping semua itu, tentu di di alam lain sana Pramoedya berharap karya-karyanya bisa dibaca oleh para remaja “abg” Indonesia secara lebih luas, diajarkan oleh para pendidik dengan dukungan pemerintah. Jadi di lain kesempatan pementasan semacam ini bisa dinikmati dengan khidmat. Para guru juga akan lebih berbangga karena bisa berkata ke murid-muridnya, “saya sudah membaca Tetralogi Bumi Manusia. Ini buku paling ampuh kalau mau paham sejarah Indonesia. Kalian harus membacanya!”[]
[author title=”Satya Adhi” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/05/Satya-Adhi.jpg”]Pembeli buku diskonan, penonton film gratisan. Berpoligami dengan sastra, juga kajian media dan jurnalisme. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di pjalankaki.blogspot.com.[/author]