ARISTOTELES PERNAH BERKATA: primum vivere, deinde philosophari, ‘berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafat’. Selama orang masih kelaparan, untuk mempertahankan hidupnya maka ia bakal mencuri makanan, bukan malah mencuri buku, seperti yang dikisahkan film The Book Thief (2013) garapan Brian Percival. Film ini berkisah tentang Liesel Meminger, seorang anak perempuan keturunan komunis yang tak dapat membaca dan menulis. Gonjang-ganjing antikomunis dan antiyahudi yang mencuat di Barat pada masa Perang Dunia II, membuat Liesel harus melarikan diri dari tempat asalnya. Liesel dan adiknya, Werner, melakoni perjalanan jauh ke Jerman dengan kereta uap. Di Jerman, keduanya akan diasuh oleh keluarga Hans Hubermann. Sayang, di tengah perjalanan, Werner meninggal karena sakit. Kini, Liesel sebatang kara.
Di tempat tinggalnya yang baru, Liesel diolok-olok teman-temannya karena tak dapat membaca dan menulis. “Bodoh! Bodoh!” kata mereka. Liesel pulang dan menangis di kamar sambil memeluk buku. Ia kemudian belajar membaca pada ayah angkatnya, Hans. Buku pertama yang berhasil dituntaskannya adalah Pedoman Jadi Penggali Kubur, buku yang diambil Liesel saat pemakaman adiknya. “Jika nanti aku mati, kau harus memastikan bahwa aku telah dikubur dengan benar,” kata Hans pada Liesel sambil tertawa. Mulai saat itu, Liesel menjadi keranjingan membaca. Setiap menemukan kata-kata baru dalam buku, ia catat di dinding ruang bawah tanah rumahnya.
Adegan selanjutnya, dalam upacara pembakaran buku-buku oleh pasukan Nazi di Heaven Street, Jerman, Liesel dengan berani mencuri buku The Invisible Man karya H.G. Wells. Melihat buku, bagi Liesel seakan melihat kehidupan. Buku itu rampung dibacanya dengan cepat. Kebiasaan Liesel mencuri buku semakin terasah ketika ia butuh cerita-cerita dan buku baru untuk dibacakan kepada saudara barunya, Max Vandenberg yang tengah meregang nyawa. Liesel mencuri buku-buku itu dari rumah Bürgermeister ‘walikota’. Hingga suatu ketika Liesel dipergoki sahabatnya, Rudy, ketika mencuri di sana. “Kau gila? Kita kelaparan dan kau malah mencuri buku?” kata Rudy kepada Liesel, heran. Mencuri buku adalah tindakan ganjil bagi orang-orang miskin.
Imaji pencurian buku-buku membawa ingatan kita berlari dari Jerman ke Indonesia di sekitar tahun 1942-an. Arief Budiman (2007:33) mengenang Chairil Anwar: dia adalah pencuri, sehingga kalau dia masuk ke toko buku, dia sering dicurigai dan diawasi. Dia adalah penipu—banyak temannya yang menjadi kurbannya. Kalau Chairil tak dapat mencuri, ia akan menyobek halaman buku yang ia dambakan. Hal itu terpaksa dilakoninya karena masa-masa itu ia mengalami krisis finansial: kere, pasca-diputusnya aliran dana dari sang ayah yang telah menikah lagi. Untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli buku.
Lakon hidup Chairil sebagai maling buku telah diketahui luas oleh rekan-rekannya dan kalangan pedagang buku. Gilanya untuk menambah khazanah ilmu mencuri buku, pernah suatu kali Chairil mengundang Muhammad Yamin, yang juga seorang maling buku, datang ke rumahnya. Sebuah buku yang memang belum dimiliki Yamin sengaja dibiarkan Chairil tergeletak di atas meja. Chairil telah menduga jika buku itu akan dicuri Yamin. Ia hanya pura-pura tidak tahu agar dapat belajar bagaimana cara Yamin mencuri buku. “Karena itu tak apalah mengorbankan sebuah buku demi menimba ilmu,” begitulah bunyi kalimat terakhir artikel berjudul Chairil Anwar Berguru Nyolong Pada Muhammad Yamin yang ditulis A.S. Laksana di blog-nya. Artikel ini bersumber pada majalah Sarinah edisi Mei 1986. Sebuah kekonyolan memang—bahkan langkah yang dipilih Chairil tersebut berada di luar nalar maling pada umumnya—ketika seorang maling membiarkan rumahnya dimasuki maling yang lebih handal.
Kecintaan pada buku dan ilmu, beradu dengan situasi perekonomiannya yang sungguh kurang, memaksa tokoh-tokoh di atas nekad mencuri buku. Tindakan ini jelas menjadi bantahan kuat pada Aristoteles yang mengatakan kebutuhan manusia akan ilmu atau filsafat itu berada di urutan kedua setelah makanan. []
[author title=”Hanputro Widyono” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/07/Hanputro-Widyono.jpg”]Bergiat di Bilik Literasi, Solo. Penulis buku ‘Kampus Saja’ (2016. )Surel: hanputrowidyono@gmail.com. [/author]