Oleh: Satya Adhi
Kalau Setyaningsih pulang dan keponakan tiga tahunnya nggelendot minta digendong, Set tahu dia harus siap dengan pemintaan literer dari si bocah, “Mbak, lihat buku!” Si keponakan lalu digendong masuk kamar Set, dihadapkan pada ribuan buku yang tertumpuk bersampul debu.
Dari pengalamannya tersebut, Set menyimpulkan kalau anak sebenarnya punya minat baca yang luar biasa. “Yang rendah itu kayaknya minat baca orang tua, bukan anak,” kata penulis cerita anak ini pada diskusi Krisis Buku Cerita Anak Indonesia, di Green Library, Banjarsari, Solo, 2 Juni 2018 kemarin.
“Aku tidak bersepakat dengan judul acara ini. Bagiku, buku cerita anak tidak sedang dalam krisis,” ujarnya menambahkan. Di toko dan lapak buku, buku-buku cerita anak terbukti melimpah ruah. Dengan satu juta rupiah ‘saja,’ kata dia, sudah banyak buku anak yang bisa dibeli di lapak-lapak buku yang berdiri beberapa jengkal dari tempat diskusi.
Hal ini pula yang menjadi persoalan penulis cerita anak di Indonesia. “Permasalahan kebanyakan penulis anak adalah, mereka bukan pembaca buku anak,” kata penulis buku Wangi dari Rumah Mbah Surti (2017) ini.
Haerul Afandi, pendiri perpustakaan Ganesha di Baki, Sukoharjo, punya kisah serupa. “Saya pernah berbincang dengan seorang kawan yang tinggal di Australia. Di sana, tas siswa sudah diisi buku-buku oleh guru untuk dibacakan oleh orang tua.”
Indonesia sebenarnya punya Gerakan 15 Menit Membaca yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam gerakan tersebut, guru juga dituntut membacakan buku buat para siswa, bahkan memilihkan buku untuk anak didiknya. Hanya saja, kini gaung pencapaian program tersebut belum juga terdengar.
Buku Anak nan Melimpah
Melimpahnya buku anak di Indonesia bukan cerita baru. Pengadaan buku anak paling sukses mungkin terjadi di era Orde Baru. Sejak tahun 1970-an, waktu itu Soeharto berambisi menanamkan pesan pembangunan pada para bocah lewat buku-buku bercap Inpres. Tema transmigrasi, Keluarga Berencana, swasembada pangan, dan sejenisnya pun mendominasi buku-buku ini.
Set, dalam esai Cerita Anak Indonesia: Nasib dan Pertarungan, menjelaskan bahwa pemerintah terlalu ingin hadir dalam buku-buku tersebut. “Sejak dalam judul, pemerintah menampakkan kepatuhan. Anak Indonesia tidak boleh nakal (pada pemerintah), seperti bacaan-bacaan Anak yang Berani (Ny. R. Rosyadi, 1988), Anak yang Baik (Muliaman, 1993), Penyandang Gelar Puteri Teladan (Wid. Esteha, 1983), Hari-hari Bersama Teladan (A. Malik Thachir, 1985).”
Lain Soeharto, lain pula John Wood. Dia tak punya misi melanggengkan kekuasaan ketika mendirikan gerakan Room to Read – organisasi non-profit serupa Perpustakaan Ganesha yang telah menciptakan sekira 7500 perpustakaan dan 830 sekolah di Asia dan Afrika.
Gerakan itu bermula pada 1998. Saat itu, Wood tengah menjulang sebagai salah satu eksekutif di Microsoft. Ketika tengah berlibur di Nepal, ia melihat banyak anak-anak di negara itu kekurangan buku. Liburannya menjelma perjalanan spiritual. Wood kemudian keluar dari Microsoft dan menjalankan Room to Read hingga sekarang.
Gerakan semacam ini bukannya tanpa pengorbanan. Soal buku-buku yang terancam tidak kembali, misalnya. “Kami ada komitmen, setiap tahun satu persen buku tidak kembali tidak papa,” tukas Afandi. Dia sudah bahagia bisa melihat orang tua membacakan buku buat anaknya di perpustakaan Ganesha.[]