Building Bridges School: Menggugah Aksi, Meruntuhkan Sekat untuk Kesetaraan

8

“Di tengah dinamika kampus yang sibuk, sekelompok mahasiswa berkumpul dalam ruang kecil, terlibat dalam diskusi hangat. Mereka bukan hanya membicarakan perkuliahan, tetapi isu-isu yang menyentuh kehidupan kelompok marjinal—kelompok yang kerap terpinggirkan dari percakapan arus utama. Di bawah payung Building Bridges School (BBS), mereka bertekad menjadi agen perubahan, membangun jembatan kesetaraan bagi mereka yang sering kali dilupakan, dengan harapan menciptakan kampus dan masyarakat yang lebih inklusif.”

Kesetaraan bukan lagi sebatas perjuangan gender. Sejak dua tahun terakhir, BEM UNS melalui Kementerian Kesetaraan Bersama mengubah arah gerak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi lebih inklusif. Upaya yang dilakukan tidak hanya memperluas fokusnya pada kesetaraan gender, tetapi juga pada kaum rentan, minoritas, dan marjinal. Perubahan ini ditandai dengan lahirnya Building Bridges School (BBS), sebuah inisiatif untuk mencetak aktivis yang menyuarakan isu-isu ketidakadilan struktural di berbagai aspek kehidupan.

Menurut Salma Arezha, Wakil Menteri Kesetaraan Bersama, langkah transformasi kementerian ini terjadi karena kesadaran bahwa kesetaraan bukan hanya soal gender, “Kami mulai menyadari bahwa kesetaraan harus ada di semua lini kehidupan,” ujarnya (29/09). Dengan prinsip egaliter dan komitmen terhadap kemanusiaan, Kementerian Kesetaraan Bersama melalui Building Bridges School berupaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dengan memberi ruang bagi kelompok rentan dan terpinggirkan.

Building Bridges School memiliki visi untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan di lingkungan UNS serta menciptakan mahasiswa yang peduli dan siap menjadi agen perubahan. Misi utama Building Bridges School adalah mencetak mahasiswa yang peduli pada isu kaum rentan, penegak HAM, dan mampu membawa perubahan yang berdampak di masyarakat.

Salah satu program unggulan Building Bridges School adalah sekolah kaderisasi, yang terdiri dari kelas besar dan kecil. Kelas-kelas ini membahas isu-isu utama, yaitu marjinal, rentan, dan minoritas. Shakira Maharani Putri, Dirjen Pengetahuan dan Perluasan, menjelaskan bahwa Building Bridges School mengintegrasikan pelatihan soft skills dengan kesadaran akan kesetaraan melalui diskusi, studi kasus, dan aksi sosial yang dilaksanakan oleh siswa-siswi Building Bridges School. Salah satu kegiatan menonjol yang baru-baru ini digelar adalah kelas bahasa isyarat, yang sekaligus memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024. Menurut Shakira, kegiatan ini tidak hanya mengajarkan soft skills kepada mahasiswa, tetapi juga mengasah kepekaan sosial mereka. Para siswa Building Bridges School diharapkan dapat langsung berkontribusi dalam pemberdayaan kelompok marjinal melalui aksi sosial di lapangan.

 

Memberi Ruang untuk Kelompok Marjinal

Building Bridges School memandang kelompok marjinal sebagai individu atau komunitas yang mengalami diskriminasi atau ketidakadilan struktural, termasuk karena status ekonomi, disabilitas, etnis, atau orientasi seksual. Menurut Muhamad Rafli Anugrah, Dirjen Tata Olah, Building Bridges School bekerja sama dengan organisasi sosial dan komunitas marjinal untuk memastikan suara mereka didengar. Kelompok marjinal sering diundang sebagai pembicara dalam seminar dan forum diskusi Building Bridges School, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berinteraksi langsung dan memahami perspektif mereka. Building Bridges School juga mengajak mahasiswa terlibat dalam advokasi sosial dan aksi-aksi nyata yang berfokus pada pemberdayaan kelompok terpinggirkan. Dalam sebuah diskusi, misalnya, Building Bridges School membahas ketidakadilan yang dialami petani akibat penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran, yang pada akhirnya akan memberikan pemahaman lebih mendalam kepada mahasiswa tentang realitas yang dihadapi kelompok rentan.

Meskipun Building Bridges School memiliki visi besar, tantangan yang dihadapi tidak kecil. Shakira mengungkapkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat, termasuk mahasiswa terhadap isu-isu marjinal menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, Building Bridges School berupaya keras untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran sosial melalui berbagai programnya. Ke depannya, Building Bridges School berharap dapat terus membentuk mahasiswa yang tidak hanya memiliki keterampilan, tetapi juga kesadaran sosial yang tinggi. “Kami berharap mahasiswa Building Bridges School dapat menjadi pemimpin yang berempati, mampu membangun solidaritas dengan kelompok marjinal, dan berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif,” ungkap Rafli (29/09). Dengan adanya Building Bridges School, UNS tak hanya mencetak akademisi, tetapi juga aktivis yang siap menjadi agen perubahan, menjembatani kesetaraan di kampus dan masyarakat luas.

“Kesetaraan bukan hanya tentang mendengar, tetapi tentang memberi ruang bagi suara yang selama ini dibungkam.” 

 

Penulis : Rizky Azzahra Amallia

Editor : Aldini Pratiwi