Happy New Year! Kalimat yang hingga berapa kali pun diteriakkan takkan membuatku terbiasa. Bukan apa, waktu rasanya cepat sekali berlalu. Padahal sepertinya baru kemarin aku memulai tahun yang baru, membuat resolusi seakan dalam setahun mampu kuraih dengan gamblangnya. Namun nyatanya, aku sudah berdiri di penghujung tahun tanpa mencoretkan satu pun checklist di samping secarik resolusi yang pernah kubuat.
Mungkin mulai beberapa tahun yang lalu, aku sudah tidak begitu menanti detik-detik pergantian tahun. Yah, sudah kuanggap seperti perpindahan posisi tidur yang tidak banyak memancing perubahan. Lagipula, aku cukup mempersiapkan diri saja untuk berbagai kejutan-kejutan baru dalam satu tahun kedepan. Bisa jadi aku akan menemukan kebahagiaan yang hampir membuatku tak sadar, atau justru aku akan terjatuh sampai tak tahu lagi cara untuk dapat berdiri. Tak ada yang tahu! Yang paling penting, wish me luck!
Cukup sekian untuk basa-basinya, aku akan mulai bercerita. Sebenarnya mungkin bukan cerita yang menarik untuk dibaca, bagaimanapun isinya hanya celotehan-celotehan tahun baru yang ingin kutuangkan. Kalau diingat lagi, aku memang awalnya tidak memiliki rencana untuk beranjak dari rumah di akhir tahun. Apalagi pergi untuk berburu kembang api. Karena menurutku, kembang api sudah tak terlalu membuatku merasa kagum. Mungkin karena aku bukan lagi anak berusia 5 tahun yang tidak peduli dengan bahan pembuatan kembang api, pengaruhnya yang bisa terjadi, hingga distraksi yang mungkin ditimbulkan. Intinya, hanya keindahan yang ditawarkan yang kuberi perhatian. Namun tahun ini, entah mengapa aku menerima ajakan salah satu temanku setelah beberapa kali beralasan.
Malam itu, dengan mengendarai motor lawas, aku dan temanku menuju sepanjang jalan Car Free Night di Solo yang mulai dioperasikan pukul 10 malam. Saat kami sampai, jalanan sudah dipenuhi hiruk-pikuk lautan manusia. Kebisingan dari segala arah terdengar saat kami mulai bergabung di tengah-tengah keramaian. Banyak orang yang berlalu-lalang mencari makan, menonton pertunjukan musik, dan ada pula yang hanya duduk berbincang menunggu kembang api diluncurkan.
Karena saat itu kami pergi dengan perut kosong, berjalanlah kami menyusuri stan-stan makanan di sepanjang trotoar. Terdapat beberapa pedagang yang menaikkan harga dari yang biasa dijual di pasaran karena satu dan dua hal. Yah, saku keringku memang tidak akan berhenti menggerutu. Sebenarnya tidak masalah, tetapi jangankan memanjakan lidah, justru makanan yang kubeli entah kenapa tak cukup membuatku puas. Soto dengan kuah hambar, dan sop matahari favoritku yang kekurangan daging ayam giling. Namun tak apa, setidaknya crepes yang kami tunggu selama ‘setahun’ terasa sebagaimana mestinya.
Menjelang menit-menit terakhir sebelum 2023, kami kembali ke tengah jalan, menantikan puncak dari penantian. Kala kembang api mulai menunjukkan suara bisingnya yang khas, orang-orang beranjak untuk melihat keberadaannya lebih jelas. Kudengar banyak orang berdecak kagum melihat percikan api yang ditimbulkan, tak lupa merekamnya untuk update status di sosial media. Seakan kembali ke masa lalu, aku ikut terhanyut terhadap suasana yang tak kusangka mampu memutarkan rol film berisi momen-momen penuh nostalgia. Sesaat aku merasa kembang api yang sudah tak lagi terasa mengasyikkan ternyata mampu melemparkanku jauh kedalam memori seorang anak yang menjalani harinya dengan perasaan ringan. Mengejutkan, ternyata suasana tahun baru yang berlangsung singkat bisa bermakna bagi sebagian orang. Memang tak bisa dipungkiri, beberapa dari mereka hadir bersama orang-orang tersayang; keluarga, sahabat, pun pasangan.
Setelah tak terdengar lagi suara kembang api, orang-orang mulai berhamburan keluar dari keramaian. Tentu, beberapa masih ada yang tetap tinggal untuk sekedar memotret kenangan di ponsel mereka, beberapa ada yang menonton pertunjukan musik yang hampir selesai, dan ada yang masih berbincang sambil makan, seperti kami yang memulai tahun dengan crepes. Mungkin setelah pergantian tahun ini, orang-orang akan kembali pada rutinitas mereka di esok hari. Menjadi seorang ayah, ibu, anak, teman, dan siapapun itu, mereka kembali pada diri mereka sendiri.
Ingin rasanya tulisanku selesai disini. Penuh dengan warna-warni kembang api dan kebahagiaan sesaat lainnya. Namun apa daya, di akhir waktuku malam itu, ada hal yang sungguh mengganggu. Sampah-sampah yang berserakan. Benar, setelah lautan manusia, aku melihat lautan sampah yang memenuhi jalan. Bahkan beberapa orang terang-terangan tak mau membuang sampah di tempatnya. Plastik, makanan sisa atau bahkan masih utuh, botol minuman sekaligus isinya, dan masih banyak sampah-sampah lainnya. Aku tahu, semua orang pasti sadar dan merasa terganggu. Tidak mungkin hanya aku dan temanku saja yang merasa bahwa sampah-sampah tersebut tak seharusnya dibiarkan di jalanan begitu saja. Padahal tempat sampah sudah disediakan di beberapa titik. Malahan kulihat, tempat sampah yang sebenarnya bisa terisi penuh, justru tak mencapai setengahnya. Aneh memang budaya satu ini, orang-orang benar lupa akan apa yang menjadi tanggung jawabnya di akhir hari sebagai seorang insan yang hidup berdampingan dengan makhluk hidup lain.
Mungkin bukan sekolah masalahnya, tapi manusia itu sendiri yang tak mampu memaksa dirinya untuk berubah. Sampah-sampah tersebut memang benar akan tetap dibersihkan, tapi apa ini contoh manusia berakal? Meloloskan hati nuraninya setelah terpuaskan oleh kebahagiaan. Sepertinya slogan membuang sampah pada tempatnya yang terus digemborkan tak cukup kuat untuk mengubah kebiasaan dalam sekejap malam, apalagi secara nasional. Coba bayangkan, pemerintah sudah repot-repot menyediakan 60 tempat sampah supaya tak jauh dari pandangan ribuan manusia, eh ternyata sama saja, tak begitu berguna. Memang benar, dengan dibukanya CFN setelah dua tahun tidak diadakan karena pandemi, tentu euforia yang dihadirkan pun cukup tinggi. Namun apa sih gunanya beramai-ramai menonton kembang api yang hanya lewat beberapa saat selain merasakan suasananya yang khas? Setidaknya jangan merusak suasana menyenangkan itu hilang hanya karena sampah. Kalau begini terus, bukankah dua tahun tanpa CFN tampak lebih baik?
Menggeser sedikit dari cerita di malam tahun baru ini, aku jadi teringat, Indonesia memang susah mengubah kebiasaannya. Bencana yang diakibatkan olehnya pun tak kunjung usai. Banjir hingga tanah longsor. Salah satu penyebabnya? Tentu saja limbah yang sudah kadung mbludak, hingga melancarkan berbagai solusi pun butuh waktu 100 tahun lamanya. Yang begini saja masih banyak yang merasa keberatan untuk menggapai tempat sampah di dekatnya.
Belum lagi setelah pandemi, selain CFN, sudah banyak event ramai yang digelar. Lagi-lagi masalahnya tidak jauh-jauh dari sampah. Misalnya saja konser musik yang setelah selesai bersenandung bersama para idola, sampah ditinggalkan begitu saja. Kalau kalian tahu, beberapa waktu lalu saat konser Hit In The Clouds yang di tengah-tengah acaranya turun hujan, banyak jas hujan bekas pakai dibiarkan berserakan. Coba tengok kampus tercintamu, nggak cuma sampah yang belum terurai di tanah, tapi juga masih ada yang membiarkan sampahnya penuh berserakan di beberapa gedung, sebut saja Graha UKM. Terus nanti ujung-ujungnya digondol kucing atau tikus ke selokan. Akhirnya bikin mampet.
Indonesia, yang menurut data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menyumbangkan sampah hingga 70 juta ton di tahun 2022. Sungguh mulia sekali makhluk hidup satu ini. Tidak hanya sampai disitu, terdapat setidaknya 24 persen sampah yang tidak dikelola. Kewalahan sepertinya. Mau berhenti membuang sampah, yo pasti ndak mungkin. Mau sedikit berubah dengan membuang sampah di tempatnya, tapi uwong e do mangkelan. Yowes, mau bagaimana lagi. Jer basuki mawa beya, yen ora kerja keras yo ora bakal dadi!
Ceritaku tahun baru lucu ya, awalnya penuh dengan senyum merekah, berakhir merengut padahal tahun sudah berganti angka. Sampah CFN hari itu masih diperparah dengan keesokan harinya yang berlangsung pula Car Free Day dengan produksi sampah yang sama besarnya. Untuk menutup tulisan ini, aku tidak berharap apa-apa selain aku dan yang membaca semakin aware agar tidak melupakan sampah dan membuang di tempatnya. Bukan membuang sampah menunggu petugas yang membersihkan. Kalau kalian tidak tahu tempatnya, coba buka google dan search “tempat sampah”, mudah bukan?
Supaya tulisan ini kembali ke fitrahnya, aku kutip seruan temanku kepada bapak-bapak pemulung dan beberapa petugas kebersihan lainnya sebelum kami beranjak pulang. “Semangat ya, Pak!”. Sedikit kuubah agar pas untukku dan kalian, “Semangat berbenah diri ya!”.
Penulis: Alifia Nur Aziza
Editor: Revy Anestasia Sulistiyo