Program wajib belajar 12 tahun sepertinya cukup memberikan dampak yang positif terhadap pendidikan di Indonesia. Namun, program ini secara tidak langsung menunjukkan perguruan tinggi tidak masuk pada kategori pendidikan yang wajib untuk diemban. Terdengar eksklusif, tetapi nyatanya masih menggenang stigma di masyarakat bahwa tidak semua orang bisa mengakses pendidikan di perguruan tinggi, utamanya karena biayanya yang mahal.
Universitas Sebelas Maret (UNS) menjadi satu dari sekian banyak universitas yang kerap menerima kritik mahasiswa menyoal biaya pendidikannya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) atau uang pangkal yang dinilai semakin melejit. Bukan tanpa sebab jika menilik beberapa waktu kebelakang ada saja permasalahan biaya yang kerap menjadi perdebatan.
Sumbangan Wajib
SPI yang berlaku bagi mahasiswa jalur mandiri mulai ada pada tahun 2019 lalu. Menurut penuturan pihak rektorat saat itu, munculnya pengadaan SPI ini untuk membantu mengembangkan sarana prasarana, standarisasi ruang kelas, serta peningkatan kegiatan penalaran mahasiswa. Sesuai marwah kepanjangan dari SPI, pada tahun pertamanya memang menjadi kesukarelaan mahasiswa untuk menyumbang, sehingga terdapat pilihan untuk tidak menyumbangkan sama sekali. Namun ditahun selanjutnya yaitu 2020, kebijakan SPI Rp0 tak lagi nangkring sebagai opsi.
Kini sumbangan yang awalnya memang tanpa paksaan, berubah menjadi sebuah keharusan. Stigma bahwa ujian jalur mandiri hanyalah untuk mereka yang memiliki ekonomi tinggi muncul ke permukaan. Bukan tanpa alasan, memang kenyataannya biaya yang perlu dikeluarkan cukup tinggi. Maklum jika masih ada yang memilih untuk menyerah dan tak melirik jalur mandiri sebagai sebuah kesempatan.
Mari kita intip golongan SPI yang ditawarkan UNS bagi para calon mahasiswanya. Golongan ini terbagi menjadi empat, tetapi jumlah biaya masing-masing program studi masih berbeda-beda. Misalnya saja, pada golongan I untuk program studi kedokteran dibanderol sebesar 25 juta rupiah, sedangkan program studi arsitektur sebesar 5 juta rupiah. Secara keseluruhan, uang pangkal milik program studi yang ada di fakultas kedokteran rata-rata cenderung lebih tinggi daripada fakultas lainnya.
Rinciannya, golongan I ada pada range 5.000.000-25.000.000 rupiah; golongan II sekitar 7.500.000-75.000.000 rupiah; golongan III antara 10.000.000-100.000.000 rupiah; golongan IV rata-rata lebih dari belasan juta rupiah; sedangkan kelas internasional sebesar 40.000.000 rupiah. Tak adil rasanya jika tak mencoba berkaca dengan universitas tetangga. Sebutlah banyak PTN yang kurang lebih memberlakukan SPI dengan jumlah yang kurang lebih sama. Namun, melihat Universitas Gadjah Mada dengan Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) patut dipertimbangkan kembali. Meskipun sama-sama berlaku bagi mahasiswa jalur mandiri, tetapi sumbangan ini berfokus pada bantuan untuk mahasiswa lain yang lebih membutuhkan melalui beasiswa. Selain memang tak diwajibkan, mahasiswa yang kurang mampu pun dapat memilih SPI Rp0.
Uang Kuliahku Tinggi
Bagi sebagian mahasiswa, masa menjelang semester baru menjadi masa yang lebih menegangkan dibandingkan ketika masa ujian. Kebisingan kerap terjadi karena mahasiswa kelimpungan untuk membayar UKT. Tilik saja salah satu forum mahasiswa berupa base di aplikasi X yaitu @unsfess, pasti di masa-masa krusial tersebut akan ramai mahasiswa yang membahas seputar UKT mereka. Ada yang curhat atau meminta pendapat masalah pengajuan keringanan UKT, pencairan UKT semester akhir, hingga meminta informasi pinjol, entah hanya sebagai gurauan atau memang serius.
“Sebenernya kalo permasalahan UKT nggak sesering itu, lebih ke pembayaran mereka pas pembayaran, itu juga gak banyak sih, maksimal 10 lah,” ucap Novita, Dirjen Adkesma (Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa) FISIP saat kami wawancarai pada 27 Oktober lalu. Menurut penuturannya, meskipun sudah diberikan keringanan UKT, beberapa mahasiswa masih ada yang kesusahan membayar, sehingga adkesma menindaklanjuti kembali dengan memberikan bantuan pembayaran melalui program kerja Bankesma. Kenyataannya, saat masa pandemi kampus dapat memberikan keringanan UKT hingga 50%, tetapi pasca-pandemi turun menjadi hanya 30% saja.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) memang sudah selayaknya menjadi penghubung antara mahasiswa dengan pihak kampus. Dari sinilah peran kementerian adkesma yang bergerak di bidang pengadvokasian mahasiswa. “Jadi kalo ada informasi dari (pihak) universitas akan disalurkan ke adkesma BEM-U terus baru disalurkan ke adkesma fakultas-fakultas. Nah, adkesma fakultas nyalurin informasi itu ke mahasiswa-mahasiswa,” jelas Novita.
Adkesma FISIP menjadi salah satu fakultas yang diberikan tanggung jawab untuk mengurus keringanan UKT. Dari sini adkesma berperan menjadi penyalur informasi dari mahasiswa hingga ke universitas. “Itu mulai dari kita pendaftarannya, terus sampai kasih rekomendasi berapa potongan yang didapat mahasiswanya.”
Serba-serbi Miliki Biaya Pendidikan Tinggi
Kesulitan yang sering muncul adalah keterbatasan kampus dalam bantuan dana. Walaupun begitu, jika memang mahasiswa merasa biaya pendidikan yang mereka dapat di awal semester tidak sesuai, mereka dapat mengajukan sanggahan. Selain itu, jika di tengah-tengah semester terdapat kondisi khusus yang membuat mahasiswa kesulitan membayar, dapat diajukan keringanan atau penundaan. Namun tetap saja ruang yang diberikan oleh kampus tak selalu mulus.
“Dulu pernah mengajukan keringanan, nah itu hasil (nominal) berapa keringanannya terlalu mepet sama deadline pembayaran UKT, jadinya ya deg-degan gitu. Sebenarnya gak masalah gitu ya, tapi nggak tahu dihari itu, semisal ini hari jumat, nah maksimal pembayaran hari sabtu,” cerita Putri, salah satu mahasiswa FKIP saat ditanya hambatan ketika mengalami permasalahan UKT.
Lebih lanjut, Putri juga menyinggung ketidakmerataan keputusan golongan UKT atau SPI masing-masing mahasiswa. Pasalnya, ia merasa pihak kampus kurang memperhatikan faktor-faktor selain penghasilan orang tua, seperti tanggungan atau beban lainnya. “Kadang aku melihat teman-temanku yang lain, yang keadaan ekonomi yang lebih baik dari aku, itu dapat UKT yang dibawah aku, jadi aku merasa aneh (janggal) karena itu,” imbuhnya.
Lia yang merupakan salah satu mahasiswa penerima beasiswa KIP-K, pernah mengalami pencairan dana yang terlalu lama. Saat mengetahui dirinya menerima beasiswa KIP-K, uang SPI dan UKT yang telah ia bayarkan akhirnya diajukan pengembalian. Namun bukannya turun, Lia harus menelan pahit menunggu SPI miliknya yang tak kunjung cair.
“Cuma waktu pengembalian SPI itu sempat beredar jarkoman katanya harus datang ke Mawa buat ngumpulin dokumen fisik. Waktu itu sudah ngumpulin dokumen fisik nggak ketemu sama bapak yang dituju, nggak ada juga yang beliau menghubungi kita. Nah, itu berjalan lumayan lama hampir setengah tahun, satu semester. Baru ada isu rektor, ngajuin lagi baru bisa cair,” terang Lia.
Golongan UKT di UNS sendiri terbagi menjadi delapan kelompok yang jumlahnya kurang lebih sama dengan beberapa universitas tetangga. Pada golongan I dan II masing-masing sejumlah 475.500 rupiah dan 975.500 rupiah untuk setiap program studi; golongan III mulai dari 2 hingga 6 juta; golongan IV sekitar tiga hingga sembilan juta; golongan V dari empat hingga 12 juta; kelompok VI mulai dari 5 hingga 13 juta; kelompok VII sejumlah 6 hingga 15 juta; kelompok VII dari 6 hingga 19 juta: serta kelompok VIII dari 6 hingga 20 juta. Berbeda dengan UNS, UGM memilih untuk membagi UKT menjadi dua yaitu UKT pendidikan unggul dan UKT pendidikan bersubsidi. UKT pendidikan bersubsidi ini mulai dari potongan 25% hingga 100% sehingga terbuka bagi siapapun untuk kuliah tanpa mengkhawatirkan biaya.
Fasilitas Tak Seperti yang Digaungkan
Beberapa mahasiswa yang kami wawancarai mengaku sudah mendapatkan golongan biaya pendidikan yang sesuai. Namun bukan berarti seluruh mahasiswa merasakan hal yang serupa. Terlebih mencuat pula kekecewaan mahasiswa atas fasilitas yang dinilai kurang dan tidak sepadan dengan yang telah dibayarkan.
“Kalo dipikir secara yang aku (biaya) keluarkan dan (fasilitas) yang aku dapatkan sih, sepertinya cukup kurang. Karena ada beberapa fasilitas yang aku dapetin tidak mencukupi, sedangkan untuk yang memakai itu banyak. Contohnya ruang kelas, parkiran, dan ada beberapa hal yang perlu diperbaiki tapi penangannya cukup lambat,” ujar Rahma, salah satu mahasiswa.
Hal ini juga bukan tanpa sebab jika pada 2019 lalu diberlakukan SPI yang diharapkan dapat membantu peningkatan sarana prasarana, tetapi hingga kini keluhan yang sama masih banyak diperbincangkan. Sebutlah FKIP yang pernah mengalami jendela jatuh hingga atap roboh di ruang kelas. Bangunan-bangunan dan fasilitas yang sudah tua membuat mahasiswa semakin dirundung kekhawatiran.
“Ada kendala-kendala kayak atapnya roboh. Padahal ini kan baru saja diperbaiki kan, seharusnya dari pihak kampus memperhatikan kualitas dari ruang belajarnya ya. Karena ini kan bersangkutan sama banyak mahasiswa, kalo ada sesuatu kan bisa berbahaya buat kita semua,” terang Lia.
Sebenarnya, UNS telah memberikan beberapa kemudahan bagi mahasiswanya ketika memang merasa biaya yang diterima tidak sesuai. Namun, apa daya jika transparansi keputusan penggolongan sering dipertanyakan, administratif yang rumit, hingga fasilitas yang berhenti di situ-situ saja. Perlu dilakukan evaluasi untuk meminimalisir penggolongan yang tidak tepat sasaran, serta biaya pendidikan yang lebih universal agar dapat ditempuh oleh semua kalangan.
Penulis: Alifia Nur Aziza
Editor: Wahyu Lusi Lestari