Bersyukur dan Ikhlas

Cahaya mentari menerpa separuh bagian bumi hingga terang benderang tak ada satupun penghalang. Namun berbeda dengan sisa belahan, gelap gulita yang terjadi, memperlihatkan gugusan-gugusan bintang untuk ilmu pengetahuan.

Perbedaan yang saling berseberangan sama-sama diciptakan dan menciptakan keindahan, untuk makhluk seluruh alam agar mendapat kebahagiaan. Meskipun bukan untuk keabadian, tetapi cukup penuhi kebutuhan dari perasaan.

Udara segar menyeruak ke dalam kamar, ketika ku buka jendela meskipun  tak begitu lebar. Meski sang surya belum menampakan diri namun kedatangannya sudah bisa terdeteksi, melalui lukisan warna  pada  langit indah di pagi ini.

###

Layaknya hari-hari sebelumnya, sebagai seorang mahasiswa maka kewajiban utama ku adalah kuliah, belajar dengan baik. Ya memang itu yang seharusnya dan sepantasnya terjadi. Namun kenyataan berkata lain. Jika dikatakan tak belajar, menurutku tidak benar. Aku selalu belajar, tetapi apakah belajar di sini selalu harus sesuai dengan disiplin ilmu yang sedang ku anuti? ku jawab sesui logika sendiri ‘tentu tidak’. Aku perlu ilmu-ilmu yang lain yang tak kan kupelajari dan kudapatkan di disiplin ilmu yang sekarang ku jalani.

“Setelah lulus dari universitas ini, kalian akan hidup di kehidupan yang sesungguhnya”. Begitulah kata-kata dari sang dosen yang sering kali ku dengar. Aku pun tak keberatan degan pernyataan  itu. Hingga akupun mulai ikut dalam organisasi-organisasi internal kampus. Ku pikir-pikir, aku pun normal sebagai mahasiswa baru aku pun penasaran dengan hal-hal baru. Jadi ku ikuti beberapa organisasi yang ada di kampus. Kupikir-pikir lumayan tuk tambah pengalaman.

Namun seiring waktu bejalan, kurasakan ada kejanggalan dalam diriku. Bukan dalam hal pemikiran. ini menyangkut keadaan fisik yang ku butuhkan.

###

Seperti biasa di sore hari ku menyusuri jalan tuk pulang ke tempat  peristirahatan, tentu saja dengan tiga temanku yang kurasa bisa menjadi penyemangat tuk kulalui kehidupan. Kami berjalan bersama, smabil berbagi cerita mengenai perkuliahan yang baru saja kami ikuti.

“Eh tadi aku ngantuk banget pas pak Ranto mbacain slide-slide ‘bejibun rarampung-rampung’. Kata Sizy dengan logat kedaerahannya.

“Panci pada, malah sama aku tak sambi sms-an. Hihihi”. Sambung Siska yang sok lucu, tapi memang imut.

“ Hayo sms-an ma sapa …?”, timpal Syas yang paling rajin nyatet dan setia sama perkuliahan. Dan menurutku memang dia yang paling dewasa dan bisa berfikir rasional.

“Hayo hayo hayo…ketahuan”, kataku turut serta dalam perbincangan yang tak bermutu tapi mengasyikan.

Tetapi sore tu aku tak banyak bicara , nafasku terasa berat, dadaku terasa sesak , dan benda-benda pun nampaknya berkelebat. Namun kuterus menahan karena hal ini sering saya rasakan. Jadai mungkin inilah efek kelelahan. Lelah atas segala aktivitas yang kujalani. Dari mengerjakan tugas-tugas kuliah, samapai amanah-amanah organisasi. Ah, sungguh melelahkan, tapi menyenangkan.

###

Pagipun kembali menyapa, kuliahku hari ini dimulai jam tujuh. Jadi kuharus siap-siap lebih dini. Usai shalat subuh ku langsung mandi. Meski dimulai sangat pagi, tapi ku semangat menjalani karena ku suka mata kuliah yang satu ini—Elektronika Dasar. Meskipun agak takut dengan praktikumnya tapi aku suka teorinya. Mempelajari komponen-komponen alat-alat  elektronik yang ku gunakan sehari-hari. Seperti Hp, televisi, radio sampai mesin cuci.menyenangkan, menganggap mereka hidup dan bisa menjadi teman.

Tapi hari ini benar-benar lain rasanya, nafasku kembali terasa berat, lebih berat dari yang sebelum-sebelumnya. Jadi kuputuskan untuk pergi ke RS Muwardi.

Disana ku bertemu dokter, seperti pada umumnya, dia memakai seragam putih kedokterannya. Sebagai seorang gadis yang normal, tak ku pungkiri dokternya rupawan juga. Tapi dibalik ketampanannya,  ada gurat kecerdasan dan pengetahuan. Dokter Yoga namanya, masih muda, dengar-dengar belum menikah juga. “Sempurna” terbesit pemikiran nakal dalam benaku. Kutegaskan kembali pada diriku, ‘sekarang belum waktunya’.

Diruang khusus pemeriksaan, ku duduk berhadapan berkonsultasi tentang apa yang kurasakan.

“ Gimana mba ?” dia memulai pembicaraan.

“ Begini dok, belakangan ini dada saya sering sakit” belum selesai apa yang ingin seluruhnya kuucapkan, dia menyela “ sebelah mana ?”

“Sebelah sini dok “ jawabku sambil menunjuk derah dada sebelah kiri.

“Terus ?” tanya dokter kembali.

“ Kalau buat ambil nafas berat dan sakit, terus dari leher sampai sini, kadang kaya habis di pukuli orang.” Begitulah penuturanku.

“ Diyan Rahayu “ dia menyebut nama lengkapku.” Umurnya sekarang berapa?”

“19 tahun “ jawabku singkat.

” Aduh..!!!” kata dokter lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya ada nada terkejut dan khawatir. “ Mungkin ini ada gejala-gejala yang kurang sehat dengan jantung Dik Diyan” lanjutnya.

Ya aku bisa menangkap rasa prihatin dan kasihan dari suaranya dan air mukanya yang berbeda dari sebelumnya.

“Gejala seperti apa dok ?” tanyaku sangat sangat penasaran.

“Angina pectoris”, jawabnya singkat.

“Angin apa dok ?” tanyaku kembali, benar-benar terasa asing di telingaku. Belum pernah mendengarnya, penyakit macam apa itu.

“Angina pectoris.” ulangnya.

“Angina pectoris ?” kutanyakan lagi untuk meyakinkan bahwa kata-kata itu  tak salah. “Apa itu bahaya ? bisa sembuh kan dok ?”

“ Ya segala hal sudah ada yang mengatur dik,,, saya atau dokter –dokter yang lain  dan obat-obatan hanya sebagai perantara saja dari-Nya. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, ada solusinya.” Ceramah singkat sang dokter terdengar lebih menenangkan syaraf-syaraf dalam tubuhku, sekaligus membuatku semakin ingin tahu. Mengapa dokter tidak memberikan jawaban eksekusi.

“ Oh iya dok, kadang kalau lihat orang yang banyak jadi pusing, lemas, pengin tidur tapi ngga bisa. Itu kenapa ya dok ? apa ada hubungannya sama ini tadi ?”

“ iya memang ada., kalau lihat yang ramai-ramai, bawaannya kaya gitu.” Kata dokter. “ Tapi misal mau lebih yakin, dari hasil pemeriksaan Dik. Tapi harus di lepas semuanya.” Ada nada sungkan dari suaranya. Ku terdiam, mungkin terlihat berfikir.

“Ya terserah dik Diyan sendiri gimana ? mau diperiksa sekarang sama saya atau langsung ke dokter spesialis jantung ?” tanyanya memberi pilihan. “silahkan dipikirkan dulu!”

Aku terus berfikir.”gimana ini ???” kata-kata ini terus terulang-ulang dalam benaku. Lalu setelah kupikir-pikir dan menimbang-nimbang dari segala aspek, ku pun putuskan.

“ Langsung ke dokter spesialis saja dok.” jawabku.

“ ya sudah, ini saya kasih resep untuk sementara.” Dia berkata padaku.

“oh ya tadi tensinya berapa ?”, tanyanya pada seorang suster.

“90/60 dok.” Nadanya seperti memelas. Kuakui aku memang berkulit agak terang karena keturunan, tapi mungkin karena pucat. Entahlah…

“Dik Diyan untuk sementara ini jangan minum teh atau kopi dulu ya ? perbanyak air putih saja dan jangan lupa makan sate kambing.”anjuranya.

“Memang kenapa dok dengan itu-itu semua ?” tanyaku kembali.

“ Teh dan sate untuk darah, kopi untuk degup jantung”, jelasnya. Mudah ditangkap tapi belum bisa kupahami hubungannya secara menyeluruh.

Sebenarnya kuanggap agak susah, soalnya tiap pagi minum teh, malemnya minum kopi buat lembur tugas. ‘ih ribet banget’.

“Iini cuma buat sementara, sesegera mungkin ke dokter spesialis loh ya ?!” kata dokter sambil menyodorkan kertas resep. “ ini diminum sebelum makan, yang ini dan ini diminum setelah makan, kalau yang ini jangan diminum, tapi di taruh di bawah lidah.”

“ Iya dok.” jawabku tak niat.” Terima kasih”. Ucapku mengakhiri pertemuan itu.

Ku pergi dari ruangan yang seperti freezer tadi, dan tak lupa mengambil obat sesuai resep. Masih diliputi rasa penasaran yang amat sangat besar, aku pun memutuskan mencari referensi yang sebanyak-banyaknya mengenai itu. Mulai dari mengelilingi perpustakaan, surfing di internet, sampai mengemis info dari teman-teman yang masih belajar di fakultas kedokteran.

Ya hasilnya lumayan mengerikan, tak seperti yang ku harapkan. ‘Bisa saja meninggal dalam keadaan apapun, saat berdiri, duduk atau pun berbaring’. Satu kalimat yang terus terbayang di satu situs web yang sedang ku buka. Aku termenung dan memikirkan kemungkinan terburuk untuk hal-hal yang mungkin menimpaku. Sehingga aku pun memutuskan tuk pergi ke dokter spesialis keesokan harinya. Harus tetap bersyukur dan ikhlas, tuk lalui kehidupan yang kujalani saat ini dan entah berapa tahun lagi ke depan.

Untuk jiwaku yang masih muda

Untuk hidupku agar lebih bermakna

Meski kecewa dan nestapa yang kujumpa

Tak kan kubiarkan surut s’mangat yang ku punya

Terus cari makna kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.

(Suryani)