Berbukukah Mahasiswa Kita?

Oleh: Tim Riset LPM Kentingan

KOMPETENSI membaca kita selama ini masih terbilang cukup jauh dari kata membanggakan. Hal ini dapat kita refleksikan berdasarkan hasil survei dan studi yang telah beberapa kali dilakukan. Studi Program for Internasional Student Assessment (PISA) tahun 2012 silam, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi. Mereka menggunakan indikator penguasaan matematika, ilmu pengetahuan, dan kemampuan membaca. Dalam hal kemampuan membaca, kita tercatat memiliki skor 396. Cukup jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura (545) dan peringkat pertama Tiongkok (570). PISA sendiri merupakan salah satu bagian dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Sedangkan data terbaru, yang dirilis berdasarkan studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University di New Britain, pada Maret 2016 lalu, mendudukan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Studi tersebut mempertimbangkan lima kategori variabel, yakni: perpustakaan, koran, sistem pendidikan (input), sistem pendidikan (output), dan ketersediaan komputer sesuai dengan jumlah populasi.

Menjadi penting bagi kita – mahasiswa – untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa dalam hal membaca buku. Sebab, perguruan tinggi menjadi sebuah ruang dimana ajang pertarungan pemikiran dalam mencapai (setidaknya mendekati) kebenaran melalui metodologi ilmiah harus selalu dilakukan di dalamnya. Mahasiswa mesti terlibat. Hal tersebut tentu tidak akan terjadi jika mahasiswa tidak mampu untuk mengakses dan membaca buku-buku. Kegiatan berliterasi pada mahasiswa tak bisa ditawar. Dari berbagai hasil riset ihwal kompetensi dan minat membaca tersebut, agaknya timbul pertanyaan di benak kita. Lantas, Bagaimana kompetensi dan minat membaca buku pada mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS)?[]

Riset