BERBICARA LEWAT BUSANA

Pada abad kedelepan belas, sutra merah muda dianggap pakaian yang cocok bagi seorang laki-laki maskulin. Menginjak tahun 1920-an, pandangan itu luruh, berganti asosiasi warna merah muda sebagai bentuk femininitas dan biru dengan maskulinitas. Seorang ibu yang kuno dan tidak mengenal mode pun tidak akan keliru membelikan bayi perempuannya sepatu merah muda, daripada warna lain. Itu merupakan kesepakatan antar-subjektif yang sudah dibangun dengan ketat oleh masyarakat umum, bukan sesuatu yang alami atau ajek. Warna sendiri sama sekali tidak berhubungan dengan jenis kelamin, tetapi digunakan untuk menandakan atau mewakili sesuatu atau jenis kelamin. Tepat seperti begitulah fashion sebagai salah satu fungsi komunikasi artifaktual.

Berbicara tentang fashion sesungguhnya berbicara tentang diri kita. Tak heran, kalau dalam kata-kata Thomas Carlyle, pakaian menjadi “perlambang jiwa”. Pakaian menunjukkan siapa pemakaianya. Orang membuat kesimpulan tentang siapa Anda dengan menilik sebagian dari penampilan Anda. Apakah kesimpulan itu benar atau tidak, tak ayal kesan pertama akan mempengaruhi pikiran orang terhadap Anda dan bagaimana mereka bersikap terhadap Anda. Jaket almamater dan kaos partai menunjukkan bahwa seseorang menjadi bagian dari identitas kolektif tertentu. Pria berambut gondrong atau wanita berambut plontos akan dinilai urakan dan kurang konservatif dibandingkan pria berambut pendek atau wanita berambut panjang.

Perlawanan terhadap identitas yang melekat pada fashion untuk membuat identitas baru, menurut Malcolmbernard ada dua bentuk dasar, yaitu dengan “penolakan” dan “pembalikan”. “Penolakan” adalah usaha untuk melangkah keluar dari struktur yang salah dan “pembalikan” berusaha untuk membalikkan posisi kekuasaan dan hak istimewa yang beroperasi pada struktur itu. Maraknya pakaian uniseks atau “netral gender” di pasaran adalah salah satu bentuk penolakan terhadap fashion maskulin dan feminin, sedangkan tren rambut gondrong, selain upaya perlawanan pada konservatisme, juga sebagai bentuk pembalikan yang menunjukkan bahwa kesan maskulin bukan hanya terbatas untuk pria berambut cepak dan begitu juga sebaliknya, rambut panjang bukan hanya milik perempuan yang identik dengan femininitas.