Ilustrasi: Nurul Dyah Anggar Lestari/LPM Kentingan

Bebas dari Ekspektasi: Meraih Kemerdekaan sebagai Perempuan

6

Perempuan seringkali dihadapkan pada pilihan menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja, seolah-olah tidak mungkin bagi mereka untuk menjalani kedua peran tersebut secara bersamaan. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan gender yang disebabkan perempuan sering kali dibatasi dalam memilih jalur hidup mereka. Pertanyaan ini juga sering memicu perselisihan di antara sesama perempuan. Ibu yang bekerja sering merasa bahwa mereka lebih berdaya, mandiri, dan tidak bergantung pada laki-laki, pun mereka tidak jarang merendahkan ibu rumah tangga dengan menganggap mereka kurang berdaya dan terlalu bergantung pada suami. Sebaliknya, ibu rumah tangga kerap merasa bahwa mereka yang paling berkorban dan berdedikasi untuk keluarga serta paling mengerti cara mendidik anak. Mereka juga kadang mengkritik ibu yang bekerja dengan memberi label bahwa mereka mengabaikan keluarga dan hanya fokus pada karir serta kesejahteraan pribadi.

Perempuan sebagai sebuah identitas

Banyak dari seorang perempuan yang telah meninggalkan profesi di ruang publik untuk mengurus rumah sepenuh waktu, sehingga perempuan akan rentan kehilangan identitas pribadi. Di lingkungan sekitarnya, dia dikenal sebagai nama yang merujuk pada nama suami ataupun anak pertamanya. Sesekali, orang memanggilnya Mbak, tetapi nama pribadinya jarang disebut saat orang lain menyapa. Menyebut dirinya dengan nama suami atau anak memang bukanlah hal yang salah, apalagi dosa. Beberapa perempuan bahkan merasa bangga dan bahagia dengan status tersebut. Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyindir atau mengkritik perempuan yang memilih menyebut dirinya sebagai istri atau ibu dari seseorang di media sosial atau ruang publik. Namun, dia sendiri pernah mengalami krisis saat mengambil peran istri dan ibu sebagai identitas pribadinya. Salah satu krisis terbesar yang dialaminya adalah terkikisnya kebahagiaan dan jati diri seorang perempuan.

“Melahirkan dan merawat keluarga kan udah jadi kodratnya, makanya kalau mau jadi perempuan yang baik, suami dan anak juga harus diurus dengan baik.”

Masyarakat seringkali membentuk pandangan tentang kebahagiaan keluarga dengan standardisasi: ayah bekerja, ibu mengurus rumah tangga, serta anak-anak harus selalu patuh dan ceria. Pola pikir ini sering kali dipromosikan melalui berbagai media dengan program-program yang menggambarkan sosok Ibu dengan citra Super Mom-nya. Potret seperti ini terus dianggap luar biasa karena Ibu diekspresikan sebagai orang yang tidak mengenal lelah dalam menjalankan tugas domestik, merawat keluarga, dan mungkin juga bekerja.

Bahkan, setelah melahirkan, perempuan sering kali ditempatkan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas pekerjaan merawat anak, mengurus rumah, suami, sekaligus keluarga. Terlebih lagi dalam hal menghadapi tuntutan baru dan rasa takut untuk kembali cantik dengan tubuh yang ideal—sesegera mungkin. Hal ini kerap diperparah dengan pandangan dari masyarakat bahwa tubuh setelah melahirkan bisa terlihat kurang menarik dan hal tersebut dapat mendorong suami untuk mencari kepuasan pada wanita lain yang dinilai lebih cantik.

Perempuan itu merdeka, apapun statusnya

Setiap individu memiliki pengalaman dan standar kebahagiaannya masing-masing yang mampu membuat mereka unik, begitu pun di dalam diri perempuan. Cara individu satu dengan yang lain dalam mencapai kemerdekaan dan kebahagiaan juga tidak bisa dibandingkan. Jadi, jika merasa jati diri dan kebahagiaan mulai memudar, penting bagi kita untuk mempertimbangkan aspek identitas sebagai bagian dari proses itu. Intinya, jangan membanding-bandingkan karena setiap orang memiliki jalan dan keunikan masing-masing dalam mencapai kemerdekaan sebagai perempuan.

Apabila seorang perempuan tetap berjuang dalam mempertahankan identitas pribadinya, maka begitulah caranya untuk merasa merdeka sebagai individu. Namun, perlu diketahui bahwa beberapa perempuan mungkin memilih untuk menggunakan identitas mereka sebagai istri atau ibu di ruang publik. Hal itu pun sah-sah saja, sebab kunci utama dalam mencapai kemerdekaan adalah berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Mari kita mendukung satu sama lain daripada saling mengkritik. Mari kita meningkatkan kesadaran bahwa setiap perempuan memiliki potensi dan hak untuk membuat pilihan mereka sendiri tanpa harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh orang lain.

 

Penulis: Khafsoh

Editor: Jasmine Aura Arinda