Aksi simbolik yang dilakukan oleh Aliansi Revolusi Pendidikan untuk menolak PEMIRA UNS (26/11)-Dokumentasi Aliansi Revolusi Pendidikan

Balada PEMIRA yang Menjadi Perkara

Saluransebelas- Sekitar 8-10 orang terlihat melakukan aksi teatrikal dan simbolik di depan Gedung Porsima UNS (26/11). Aksi tersebut, hampir bertepatan dengan PEMIRA atau Pemilu Raya UNS yang dinilai serba kontroversial. Seperti yang dilansir dari akun instagram @Padamuuns, pada postingan press release mereka tanggal 12 November 2020, terdapat partai politik yang memutuskan walk out pada Sidang Paripurna dengan pokok bahasan RUU Pemilu UNS 2020.

Sementara itu, aksi yang diadakan oleh beberapa mahasiswa di depan Gedung Porsima UNS dinilai merupakan puncak akumulasi emosi terkait dengan kinerja BEM dan DEMA dalam Pelaksanaan Pemilu tahun ini. Mereka menilai dalam pelaksanaannya cenderung tergesa-gesa dan mengandung kecacatan di berbagai sisi. Peserta aksi mengaku sebagai bagian dari Aliansi Revolusi Pendidikan, disebut dengan ASIKAN UNS. Aliansi ini terdiri dari 14 lembaga yaitu, BEM FISIP, BEM FH, DEMA FMIPA, DEMA FISIP, DEMA FP, DEMA FEB, DEMA FT, DEMA FIB, DEMA SV, LPM FOLIA FP, FMN UNS, PMII Abdurahman Wahid, HMI FP, dan HMI FISIP.

Ketika LPM Kentingan menghubungi salah satu perwakilan Aliansi Revolusi Pendidikan UNS terkait aksi yang mereka lakukan, Nopeng (21)* menjelaskan kepada kami melalui rekaman suara whatsapp, Sabtu (27/12).

“Aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan Aliansi Revolusi Pendidikan UNS di depan Gedung Porsima merupakan aksi simbolik bahwa kita melayangkan mosi tidak percaya kepada BEM dan DEMA UNS. Alasan kita melakukan aksi tersebut karena melihat banyaknya permasalahan yang ada di kampus kita sendiri, dan yang disayangkan adalah BEM dan DEMA sebagai lembaga yang memiliki wewenang atau kekuasaan yang tinggi di sistem KBM di UNS tidak merespon terkait dengan situasi itu sendiri. Beberapa hal isu-isu yang terkait dengan PTN-BH, MWA UM, dan kemudian yang terbaru mengenai Pemilu. Pihak BEM dan DEMA malah bersikap untuk diam dan tutup telinga, hal itu sangat kita sesalkan karena sebagai mahasiswa kita harus bergerak untuk membenahi dulu dalam kampus kita sendiri. Artinya, saya mengatakan bahwa omong kosong ketika berbicara tentang Negara, menolak omnibus law, menolak RUU KUHP tetapi dalam kampus kita malah diam-diam aja, dan aksi kemarin itu kita tergerak secara bersama-sama dari masing-masing indvidu untuk melakukan aksi tersebut” terangnya.

Sementara itu, Aliansi Revolusi Pendidikan UNS memiliki 6 tuntutan utama seperti yang dilansir dalam akun instagram @asikan_uns (26/11), yaitu:

  1. Mencabut UU KBM UNS Nomor 1 Tahun 2020 dan Boikot Pemilu
  2. Batalkan keputusan musyawarah MWA UM dan diadakannya kembali musyawarah pemilihan MWA UM
  3. Menolak PTN BH sebagai bentuk liberasi pendidikan
  4. Menolak militerisme dalam kampus
  5. Wujudkan student government yang baik dalam mahasiswa UNS
  6. Wujudkan demokratisasi dalam kampus

Kemudian Nopeng lebih lanjut lagi mengatakan, “Mekanisme penetapan UU KBM UNS Nomor 1 Tahun 2020 menurut kami dari Aliansi mengalami beberapa kecacatan. Pembahasan RUU tersebut mengandung cacat formil, dimana RUU melanggar UU Nomor 02 tahun 2018 pasal 43 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Keluarga Besar Universitas Sebelas Maret. Intinya bahwa penetapan itu diawal pembahasan tingkat 1 (bersama partai politik mahasiswa) belum menemukan titik terang antara semua partai. Tetapi DEMA dengan sesumbar dan tampak tergesa-gesa langsung melaksanakan sidang paripurna. Hal ini juga berlaku ketika pembahasan tingkat 1 yang harusnya dalam ranah undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 02 tahun 2018 itu harus melalui Rapat Dengar Pendapat dengan DEMA Fakultas se-UNS. Lalu apa yang dilakukan DEMA Univ? mereka malah melakukan uji publik dengan hanya sekedar melalui google form, nah ini yang menjadi masalah. Uji Publik tapi melalui google form menurut kita juga sebuah kecacatan. Karena yang namanya uji publik harus ada pihak yang mengujikan.”

Nopeng juga menambahkan, “Jadi sebenarnya harus ada interaksi 2 arah antara DEMA Universitas dan mahasiswa. Tapi kenyataannya dalam google form kita hanya bisa memberikan masukan tanpa adanya feedback, nah itu yang membuat kita (Aliansi Revolusi Pendidikan UNS) menuntut untuk mencabut UU KBM UNS Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Pemilihan Umum Mahasiswa. Kemudian secara substantive pencabutan fungsional partai politik mahasiswa yang terdapat dalam undang-undang tidak memiliki alasan urgensi yang jelas. Masalahnya adalah, DEMA tidak memberikan solusi lain atau mekanisme pengganti penjaringan anggota legislatif, presiden atau wakil presiden ketika tidak melalui partai mahasiswa. Ini masih menjadi PR yah tentunya bagi kita, karena bisa kita lihat sendiri para calon masih gencar untuk mencari KARMAS untuk memenuhi syarat administratif sampai kemarin aku kalau gasalah liat ya di akun ig (instagram) Pemilu UNS ada perpanjangan sampai tanggal 28. Terakit perpanjanganpun terdapat kecacatan timeline. Timeline nya begitu tergesa gesa”

“Awal dari kita memasukkan poin tuntutan itu (mencabut UU KBM) adalah RUU Pemilu itu belum disahkan dan uji publik masih berlaku. Tapi, pada saat itu KPU sudah melakukan sosialisasi mengenai mekanisme pemilu. Nah, artinya apa? Ketika KPU melakukan sosialisasi seharusnya undang-undang yang dipakai adalah UU tahun lalu, secara nilai hukum seperti itu. Ketika undang-undang yang baru belum disahkan maka acuannya adalah undang-undang yang lama, ketika KPU melakukan sosialisasi jelas ini salah karena melanggar proses pemilu.”

Sementara itu merespon pernyataan dari Nopeng dalam pemeberitaan ini yang sebelumnya telah dimuat pada 3 Desember 2020, pihak DEMA memberikan klarifikasi. “Dalam UU No. 02 Tahun 2018 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan Pasal 43 tentang Penjaringan Aspirasi, tidak ada diktum yang menjelaskan dan mengharuskan adanya pembahasan tingkat 1 melalui rapat dengar pendapat dengan partai mahasiswa dalam pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan. Kami memandang bahwasanya dalam mengamandemen RUU Pemilu UNS, tidak terdapat perubahan yang menyangkut legislatif fakultas. Sehingga tidak perlu melakukan rapat khusus dengar pendapat dengan lembaga legislatif fakultas. Dalam Pasal 43 KBM UNS No. 02 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga dijelaskan bahwa penjaringan aspirasi boleh melalui jejak pendapat (google form). “

Mengenai sistem pencalonan independen pihak DEMA menjelaskan, “Dalam UU KBM UNS No. 01 Tahun 2020 tentang Pemilihan Umum Mahasiswa, Pasal 5 tentang Pencalonan Anggota Legislatif DEMA UNS, Presiden dan Wakil Presiden BEM UNS ayat 1 dan 2 menjelaskan mengenai mekanisme penggnti pencalonan legislatif melalui sistem distrik. Untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEM UNS melalui jalur independen sudah diatur dalam UU Pemilu Mahasiswa sebelumnya. Kemudian ditegaskan kembali di UU KBM UNS No. 01 Tahun 2020 Pasal 6.”

Kemudian terkait RUU pemilu yang belum disahkan yang mengakibatkan pihak ASIKAN menuntut untuk mencabut UU KBM, DEMA memberikan keterngan, “Secara de jure, pengesahan UU Pemilu pada 12November 2020 dan KPU melkukan sosialisasi juklak juknis tanggal 20 November 2020. Sehingga tdak ada tumpang tidih disana.”

Kemudian guna menanggapi aksi Mosi Tidak Percaya BEM dan DEMA UNS, BEM UNS mengeluarkan Pernyataan Publik pada Minggu, 29 November 2020, yaitu:

“Sebagaimana yang diatur dalam Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Pasal 6 Undang Undang KBM UNS Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, sama sekali tidak mencantumkan adanya kewenangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) oleh Presiden BEM UNS. Sehingga apabila terdapat pihak yang mendesak Presiden BEM UNS 2020 untuk mengeluarkan Perpu terkait pencabutan Undang Undang Pemilu 2020, maka hal ini tidak dapat dibenarkan karena BEM UNS tidak mempunyai wewenang dalam hal tersebut. Selanjutnya, pengaturan perihal JR (judical review) hanya dapat dilakukan oleh Panitia Kerja Mahkamah Mahasiswa yang diatur melalui Peraturan DEMA dan/atau musyawarah DEMA UNS sebagaimana yang diatur pada Pasal 8 UU KBM UNS Nomor 2 Tahun 2020. Maka, apabila ingin mengajukan JR silahkan salurkan aspirasi melalui alur tersebut.”

Kemudian Muhammad Zainal Arifin, selaku ketua BEM mengatakan, “Pasca mubes kemarin itu beberapa kali diadakan konsolidasi terbuka. Merajut kembali dan menggagas bersama-sama terkait beberapa isu. Kalau terkait duduk bersama (dengan seluruh elemen mahasiswa), bisa dikomunikasikan. Tetapi memang terkait musyawarah besar bukan kewenangan BEM melainkan DEMA. BEM UNS juga telah menghimbau DEMA UNS untuk mempersiapkan dalam rilis publiknya. Karena DEMA UNS punya wadah dalam pembahasan student goverment di Sidang Umum 1, membahas AD/ART, membahas GBHO, dan lain-lain”.

Sementara itu, Haryanto Adi Saputra (22) selaku Ketua DEMA UNS menyayangkan adanya aksi tersebut. Sebenarnya dari DEMA sendiri tidak melarang penyampaian aspirasi lewat aksi itu sendiri. Namun, sangat disayangkat ada beberapa disinformasi”, terang Haryanto ketika dihubungi Kentingan melalui sambungan telefon (30/11).

Haryanto juga menanggapi tentang press release dari Partai Daun Muda, Kami sebenarnya menghormati pernyataan sikap dari salah satu Partai itu (Partai Daun Muda). Pada saat Sidang Paripurna pun pembahasan belum selesai, Partai Daun Muda sudah walk out. Kami menyayangkan press release mereka yang sebelumnya tidak menjalani komunikasi dengan kami bahkan sampai menimbulkan disinformasi, terutama dalam hal pencabutan fungsional partai. Dalam UU tersebut kami sama sekali tidak mencamtumkan atau bahkan membahas pencabutan fungsional partai politik sama sekali. Bahkan kami mengajak untuk seluruh mahasiswa berpartisipasi. Apalagi kami juga membuka peluang bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam Partai Politik untuk mendaftarkan dirinya ke badan legislatif.”

Dalam kritikan yang dilayangan oleh Aliansi Revolusi Pendidikan, menyebutkan bahwa PEMIRA kali ini terkesan terburu-buru atau bahkan kejar tayang. Haryanto menaggapi, “Kalau masalah jadwal kan yang membuat KPU, dan kami mengira dengan kondisi saat ini sangat berbeda dengan tahun-tahun lalu terutama kami mengadakan PEMIRA melalui via daring maka waktu yang dibutuhkan hanya sedikit”

Pihak DEMA UNS juga menjelaskan tentang disinformasi terkait AD/ART, “Nggak ada yang namanya AD/ART DEMA UNS, yang ada AD/ART KBM UNS i sebagai tingkat hirearki yang paling tinggi. Jika diumpamakan AD/ART KBM UNS seperti UUD 1945. Tidak harus ada amandemen setiap tahun-nya, tidak ada amandemen selama tidak ada urgensi”.

Lebih lanjut lagi Haryanto menambahakan, “Kami membuka kesempatan untuk setiap elemen mahasiswa untuk mengikuti Sidang Umum 1, boleh menyampaikan saran ataupun kritik disana. Apalagi dalam Sidang Umum 1 nanti membahas tentang AD/ART KBM UNS”. Harapannya pada dalam Sidang Umum 1 yang akan dilaksanakan, lebih banyak mahasiswa yang hadir dan menyampaikan aspirasi.

Sampai saat ini (ketika tulisan ini terbit), belum ada titik terang antara 3 pihak yang saling bersinggungan. Semuanya masih berpegang teguh dengan pernyataan publiknya masing-masing. Semoga dalam beberapa hari ke depan ataupun pada saat Sidang Umum 1 mendatang, semua pihak bisa menyelesaikan apa yang selama ini dipermasalahkan.

*Identitas disembunyikan demi sekuritas (security culture) pelaku aksi

 

Penulis dan Reporter: Muchammad Achmad Afifudin/LPM Kentingan