Awul-awul

 

MINGGU PAGI Tomblok diajak Bendil, teman sekampunya, belanja ke pasar Klitikan Notoharjo. Bendil mendakwa diri sebagai anak muda kekinian. Walau uang sedang pas-pasan, ia tetap tak ingin kalah hits dengan teman-temannya. Alhasil, berburu pakaian branded yang terkenal dengan harga miring jadi solusi. Tak apa bila bukan barang baru. Bagi Bendil, istilah ‘barang secondsudah cukup keren sejak dalam pikiran.

 

Sekira pukul enam pagi, mereka buru-buru berangkat menuju pasar. Maklum, para penjualnya – yang kebanyakan berjualan di emperan kios – akan segera membubarkan diri saat para pemilik kios resmi membuka terali toko pukul delapan pagi. Semangat Bendil sudah meletup-letup. Semua demi mendapat barang yang ia inginkan: “jaket parka, merek Supreme,” ujarnya penuh semangat.

 

Sesampainya di Klitikan, ternyata suasana sudah ramai. Segera motor Astrea miliki Bendil diparkirkan di pinggir jalan. Mereka kemudian segera bergegas menjelajah gelaran baju-baju bekas atau yang lebih dikenal dengan istilah: awul-awul.

 

“Gimana lur, awakmu jadi nyari parka?” cecar Tomblok sambil membuntuti Bendil.

 

Yo, jadi, tho, Mblok,”

 

“Kamu itu aneh. Cari barang apik, apalagi branded kok di awul-awul?”

 

“Weh! Awakmu ki ndagel opo tenanan ra mudeng?”

 

Lho, emang pie?

 

“Anak muda sekarang, kalok lagi pengen belanja sandangan kekinian tapi ora duwe dhuwit, ya, larinya bakal ke awul-awul, Mblok.”

 

Tomblok diam sejenak, memikirkan ulang penjelasan dari Bendil. “Kekinian gimana maksudmu?”

 

“Ya kekinian! Istilah kerennya: hits. Di awul-awul, kalau lagi mujur kita bisa dapat barang branded yang kualitasnya bagus. Tapi tenang, Mblok. Harga tetep aman di kantong. Makanya awakmu tak ajak kesini biar ngerti.” Jelasnya lagi sembari menyelinap di tengah antusiasme pengunjung.

 

Owalah begitu.”

 

 

Gelaran dagangan pedagang awul-awul sudah menggunung. Agar memikat mata, tiap gelaran mencantelkan dengan rapi barang-barang yang mereknya mentereng. Juga tidak lupa teriakan-teriakan pedangang yang menjajakan barang sembari sesekali merapikan awulan.

 

“Ada parka Supreme nggak, bos?” Tanya Bendil dengan sok kenal.

 

“Aduh! Lagi kosong, mas.”

 

Waduh!

 

“Coba dicek yang sebelah situ, mas. Banyak kaos apik-apik. Nike ada, Adidas banyak, Vans mesti enek. Hurley kui malah macem-macem,” beber si penjual sembari menunjuk-nunjuk dagangannya.

 

“Komplit, ya. Dapat barang darimana aja itu, om?” Tanya Tomblok yang mulai penasaran.

 

Macem-macem, mas. Biasanya, saya ambil dari temen. Barangnya juga kebanyakan impor.”

 

“Barang impor?” Tomblok jadi kagum bukan main.

 

“Iya, ini sebagian besar barang impor. Dijamin dari pabrik luar negeri. Coba dicek aja, mas.” sembari merentangkan kaos bermerek-merek terkenal.

 

“Sebagiannya lagi dari mana, om?”

 

“Sebagian memang produk lokal, mas. Tapi paling banyak, yo, produk luar negeri iku.”

 

 

Makin lama, pasar jadi kian ramai. Tak Cuma Tomblok dan Bendil, beberapa pemuda tanggung bergerilya dari satu gelaran ke gelaran lain. Mereka tampak serius dan asik memilah-milah awulan.

 

“Mblok, Mblok. Iki piye menurutmu? Keren, tho?” tanya Bendil sembari menunjuk tulisan ‘Vans’ di kaos pilihannya.

 

Nek nggo koe ora, lur. Ora patut. Hehe.”

 

Awakmu iku piye, to. Iki kaos merek apik, lho.”

 

“Apik piye?”

 

“Apik no! Aseli gawean Amerika

 

Lha terus?”

 

“Yo, ora terus-terus. Aku seneng wae. Fix! Aku tuku iki.”

 

 

Akhirnya, pencarian Bendil selama berjam-jam membuahkan hasil sebuah kaos bermerek mentereng. Karena Tomblok memang lebih suka membeli baju baru walaupun bermerek seadanya, ia memilih pulang dengan tangan hampa. Dalam perjalanan pulang – yang sudah dinanti-nanti. Sembari memijat-mijat kaki, ia bertanya keheranan pada Bendil.

 

“Ndil, Bendil!” panggilnya kalem.

 

Piye, Mblok,” gubris Bendil sambil membuka kaca helm cakilnya.

 

“Misal kaosmu iku mambu atau kotor, yo, tetep mbok beli?”

 

Yo, tetep tak beli, Mblok. Lha wong aku suka sama model dan mereknya,”

 

“Tapi…” Belum sampai menyelesaikan kalimat, omongan Tomblok sudah dihalau Bendil.

 

“Tenang! Nanti sampai rumah kaosnya tak rendam air panas biar higienis, Mblok. Hehe”

 

“Tapi iku bekas orang, lho, Mblok. Kalau ada tempelan kudis gitu, piye?”

 

“Mblok..” Bendil yang tadinya mencak-mencak, suaranya berubah kalem.

 

“Namanya jodoh, mati, sehat, atau kudisan itu sudah diatur sama Gusti. Kalau jatahnya kudisan, ya, kudisan. Kalau enggak, ya, enggak.” Lanjut Bendil menjelaskan.

 

“Oh. Paham, paham. Penting mbois, kekinian nan gaul abis, yo, Ndil?”

 

“Yo-i, bro. Hidup iku lak mung perkara madep-mantep, to. Hehe” pungkas Bendil sambil menutup kembali helm cakilnya. []

 

Muhammad Ilham. Sosiologi 2014. Surel: muhilham1996@gmail.com.