Ilustrasi: Adhy Nugroho/LPM Kentingan

Apa Yang Layak Disebut Prestasi

Hafiz Al-Quran kembali diberi peluang untuk masuk UNS. Syaratnya, mereka wajib terdaftar sebagai peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan memiliki kemampuan menghafal Al-Quran setidaknya 15 Juz. Peluang yang diberikan adalah pemberian nilai tambahan, bersanding dengan nilai akademik (rapor). Peserta wajib menyertakan sertifikat hafiz dari lembaga terpercaya saat mendaftar, selain itu juga wajib bersedia untuk dites hafalannya.

 

Sejak 2012, UNS telah memberi peluang semacam ini. UNS menganggap bahwa hafiz Al-Quran merupakan sebuah prestasi setingkat olimpiade. (lebih lanjut: Apresiasi UNS untuk Mahasiswa Hafiz)

 

Beberapa orang setuju dengan keadaan ini, lainnya tidak. Beberapa kampus turut memberlakukan peraturan senada, ada pula yang menolak. Kampus memang berhak untuk membuat peraturan termasuk proses penerimaan mahasiswa baru. Selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (i.e. Peraturan Menteri atau bahkan UUD 1945 dan Pancasila) maka peraturan tersebut sah.

 

Yang menjadi perbincangan adalah bentuk kesesuaian prestasi dengan ruang akademis, dan tentu saja, definisi prestasi itu sendiri.

 

Bidang studi kesenian tentu saja membutuhkan portofolio kemampuan berkesenian. Begitu pula keolahragaan dengan portofolio kemampuan dalam bidang olahraga. Kesesuaian bidang studi yang akan ditempuh dengan jenis prestasi dalam hal ini sudah jelas. Di sisi lain, bidang studi lain bisa saja menerima jenis prestasi dalam bidang akademis/non-akademis.

 

Hal ini lah yang menjadi persoalan mengenai legitimasi sebuah prestasi. Olimpiade Sains Nasional (OSN), Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), maupun Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) adalah contoh perlombaan yang mana bentuk juaranya dapat diakui sebagai bentuk prestasi. Di sisi lain, penyelenggara kompetisi lain dengan bidang senada juga sudah dapat diakui oleh masyarakat umum.

 

Pengakuan akan sebuah prestasi hanyalah soal waktu untuk menunggu kesadaran. Kita bisa menyebut Juggling Shuttlecock masal atau pencetakan buku nan sangat tebal sebagai sebuah prestasi. Legitimasi ada di tangan Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) dan masyarakat, melalui kesadarannya, mengakui keberadaannya. Setiap lembaga punya instrumennya masing-masing, MURI punya, Nielsen punya, begitu pula UNS.

 

UNS menganggap bahwa kemampuan menghafal Al-Quran adalah sebuah prestasi (setingkat olimpiade), dan boleh disertakan sebagai lampiran pendaftaraan mahasiswa baru. Sayangnya, legitimasi hafiz Al-Quran sebagai sebuah prestasi, sekaligus yang dapat digunakan sebagai penambah nilai layaknya jenis-jenis prestasi lain tersebut sebelumnya, belum dapat diterima oleh masyarakat umum, juga seluruh penyelenggara pendidikan tinggi.

 

Maka sejujurnya, ini hanyalah soal waktu, kesadaran, dan pengesahan peraturan. Jika kita sadar bahwa jenis instrumen semacam milik MURI dapat menciptakan prestasi, dan selanjutnya dapat dijadikan landasan pengesahan untuk membuat peraturan, kita bisa saja mengajukan. Bisa jadi, akan ada berita UNS Apresiasi Pemegang Rekor Dunia: Pemakan Ayam Geprek dengan Cabai Terbanyak Sedunia Mendapat Nilai Tambahan. Tidak semua orang bisa punya prestasi semacam itu.

 

Coba saja usulkan, siapa tahu ditolak. [*]