Ini adalah sebuah kisah nyata seorang penderita Tourette Syndrome yang bernama Brad Cohen. Tourette syndrome merupakan suatu gangguan neurologis dimana otak mengirimkan sinyal untuk tubuh.
Penyakit ini ditandai dengan bersin tak terhankan, suara-suara, dan berkedut. Sejak kecil Cohen harus menerima caci maki dari teman-teman sekolahnya yang merasa asing dengan penyakit yang diderita Cohen. Gurunya pun sering mengusir Cohen dari kelas karena kebiasaannnya yang selalu bersendawa itu sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas. Cohen pun merasa sedih dan terasing dengan keadaan tersebut. Yang lebih memilukan lagi, ayah kandungnya sendiri masih belum menerima kekurangan Cohen. Ayah Cohen selalu merendahkan Cohen dan merasa malu memiliki anak seperti Cohen. Hanya ibunya yang senantiasa menguatkan Cohen dikala orang-orang merendahkan Cohen karena penyakitnya.
Sebagai seorang ibu yang tidak tega melihat anaknya diasingkan oleh masyarakat, ibu Cohen membawanya ke tempat komunitas Tourette Syndrom itu berkumpul. Ibunya beranggapan jika Cohen berkumpul dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya maka dia akan merasa lebih dianggap dan tidak merasa diasingkan lagi. Namun keadaannya berbeda, bocah berusia enam tahun ini semakin sedih dan merasa dirinya tidak lebih dari sekadar ‘sampah’. Ia sempat berfikir kalau ibunya pun malu dengan kondisinya saat itu.
Beberapa tahun kemudian Cohen lulus dan kembali melanjutkan sekolahnya. Tidak jauh berbeda dengan sekolahnya yang lama, di sekolah barunya pun Cohen tetap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dari teman dan gurunya. Suatu hari, sindrom itu muncul dan membuat gaduh seisi kelas. Tentu saja suara itu membuat teman-temannya merasa terganggu. Guru yang sedang mengajar di kelas itu pun merasa kesal, lantas menyuruh Cohen untuk menghadap kepala sekolah. Ia pun memberanikan diri menghadap kepala sekolah, setelah bercakap cukup lama ia disuruh hadir dalam acara orkestra sekolah. Cohen pun menolak dengan alasan sindrom yang ia derita, namun kepala sekolah memaksanya untuk hadir apapun keadaannya.
Hari yang menakutkan itu pun datang. Sesuai prediksi Cohen, sepanjang orkestra itu berlangsung, ia mengeluarkan suara aneh tanpa kesadarannya. Berbagai reaksi muncul dari penonton. Mulai memandanginya dengan sinis, berteriak meminta ia diam hingga ada yang meminta ia untuk keluar aula. Setelah acara selesai, kepala sekolah naik ke podium dan menjelaskan penyebab Cohen sering sekali mengeluarkan suara aneh. Ia membela Cohen dengan mengatakan bahwa orang-orang seperti Cohen seharusnya disayangi bukan dicacimaki. Mulai saat itu, Cohen terpicu untuk menjadi seorang guru.
Cohen kecil beranjak dewasa. Dia berhasil lulus dari universitas dan langsung membuat proposal untuk mendapat pekerjaan yang ia impikan, menjadi seorang guru. Sayangnya, sekolah yang ia lamar menjadikan tourette syndrome sebagai alasan untuk tidak menerimanya, meskipun prestasi Cohen tergolong memuaskan. Sembari menunggu panggilan kerja, Cohen bekerja sebagai buruh di proyek tempat ayahnya bekerja.
Setelah sekian lama menanti panggilan pekerjaan, akhirnya ia mendapat panggilan wawancara di sebuah Sekolah Dasar. Cohen menjalani wawancara di hadapan Kepala Sekolah dan para pengajar dengan yakin dan penuh semangat. Mereka pun antusias dan yakin dengan jawaban-jawaban Cohen. Setelah Kepala Sekolah dan staf pengajar melakukan diskusi panjang, mereka memutuskan untuk menerima Cohen sebagai staf pengajar. Dengan penuh semangat Cohen menjalani hari-harinya sebagai seorang guru. Pada awalnya, murid-muridnya pun mengejek keanehan guru barunya. Namun, dengan kegigihan dan kesabarannya, ia pun memberikan pengertian tentang tourette syndrome sehingga ia mampu mengubah cara pandang murid-muridnya. Metode-metode pembelajaran yang unik pun dilakukan Cohen untuk memikat hati murid-muridnya. Hingga pada akhirnya, Cohen pun mendapatkan penghargaan sebagai guru terbaik di kawasan tersebut.
Kebahagiaan Cohen tidak berhenti sampai di situ saja. Ia menemukan seorang wanita yang mau menerima apa adanya sebagai pendamping hidup. Mereka pun menikah dan hidup bahagia. Setelah berkeluarga, Cohen pun merintis usaha di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu dan memiliki kebutuhan khusus.
Film yang dibintangi aktor tampan Jimmy Wolk ini disampaikan dengan gaya yang ringan, gampang dicerna, dan tidak rumit. Penikmat film disuguhi adegan-adegan yang sangat menyentuh hati. Bagi penggemar film, kisah ini layak ditonton karena banyak pelajaran yang dapat diambil. Salah satunya untuk tidak menjadikan kekurangan sebagai suatu hal yang dapat menghentikan impian. Film ini dapat menginspirasi para pendidik pada khususnya, di mana seorang pengajar mampu menjadikan kekurangan menjadi suatu kelebihan.
(Almar’atul Awalia)
Judul film : Front Of the Class
Jenis Film : Drama
Sutradara : Cristhoper Morgan
Pemain : Jimmy Wolk, Treat Williams, Patricia Heaton
Produksi : Hallmark Hall Of Fame Production, Inc
Tahun : 2008
Durasi : 1 jam 30 menit