Foto: Ayu Meliana S /LPM Kentingan

ANAK MUDA DAN SEKSUALITAS: TAK SEHARUSNYA TABU

Minggu (21/08), Center for Indonesian Medical Students (CIMSA) UNS membuka forum diskusi dan edukasi yang mengangkat tema pendidikan seksual. Forum yang bertajuk Interprofessional Education to Broaden Sexual Education itu diselenggarakan melalui media virtual Zoom Meeting. Acara tersebut diadakan dalam rangka memperingati Hari Kolaborasi Kesehatan.

CIMSA UNS menggaet Alvin Theodorus,Co-Executive Director @tabu.id sebagai pembicara. Di awal acara, Alvin mengatakan bahwa seksualitas masih terlalu tabu dibicarakan di ruang publik, terutama di lingkungan Indonesia yang sampai saat ini cenderung menolak dan menghindari pembicaraan seksual. Kurangnya edukasi mendalam terkait seksualitas, menjadikan peluang kekerasan seksual dan infeksi menular seksual terbuka lebar. Pendidikan seks yang diajarkan kepada anak di bangku sekolah, sebatas mencakup sisi biologis saja. Seperti pubertas, pembuahan, dan proses kehamilan tanpa menyinggung konsekuensi psikologis dari kegitan seks itu sendiri. Isu-isu lain seperti kontrasepsi, persetujuan, kekerasan seksual, serta akses layanan kesehatan reproduksi seringkali tidak diperhatikan dan luput dari percakapan.

“Pendidikan seksual seperti perempuan mestruasi dan laki-laki mimpi basah dalam masa pubertasnya dikenalkan, tapi mengenai topik-topik yang lebih dalam seperti kemampuan produksi dan kontrol produksi maupun alat kontrasepsi justru terkesan ditutupi,”tambah Alvin.

Tidak adanya edukasi mengenai kontrasepsi dan perilaku seksual yang sehat dalam pendidikan seks di Indonesia inilah yang menurut Alvin patut menjadi hal yang mengkhawatirkan. Pasalnya, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2020 menunjukkan sebanyak 4% responden perempuan sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun. Selain itu, sepertiga responden berusia 17 tahun yang belum menikah telah melakukan hubungan seksual setidaknya satu kali.

Menurut Alvin, pendidikan seksual seharusnya dimulai sedini mungkin di lingkungan keluarga. Tentunya dengan materi yang sesuai dengan usia dan tahap tumbuh kembang anak. Anak yang sudah paham nama anggota tubuh kemudian mulai diajarkan mengenai area-area privat di tubuh mereka. Selain keluarga, sekolah sebagai lembaga pendidikan juga berkewajiban memberikan pendidikan komprehensif terhadap siswanya.

“Pendidikan seksual komprehensif lebih ideal dimasukan dalam kurikulum pembelajaran,”ujar Alvin.

Apabila merujuk pada buku Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas yang Komprehensif, diadaptasi dari International Technical Guidance on Sexuality Education. Anak muda setingkat SMA dan perkuliahan seharusnya mendapat edukasi tentang hubungan seksual yang sehat, pentingnya persetujuan, hak seksual dan reproduksi, kesetaraaan gender, pelecehan dan kekerasan seksual, serta kontrasepsi.

Alvin menambahkan bahwa anak muda juga perlu diberi pengetahuan mengenai relasi yang sehat, nilai-nilai pribadi, hingga pengaruh hubungan seksual terhadap fisik dan mental seseorang. Pengetahuan ini yang nantinya akan membantu anak muda dalam mengambil keputusan baik terkait hubungan romantis maupun seksual mereka.

“Dengan adanya pendidikan seksual secara komprehensif, menjadikan anak muda lebih terarah dan percaya diri. Mereka seperti memiliki sekuriti dan kemampuan untuk membuat pilihan atas tubuh mereka yang menjadikan mereka lebih percaya diri,” jelasnya.

Senada dengan Alvin, Ginaung Sasti Megantari sebagai Local Officer dari SCORA salah satu Standing Committee CIMSA, berpendapat bahwa pendidikan seksual dan reproduksi di Indonesia masih terbilang kurang optimal karena keterbatasan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, Sasti menggagas projek ENOLA sebagai penyebaran informasi terkait seksualitas.

Berbagai cara kreatif dalam memperkenalkan pendidikan seksual juga sudah dapat ditemukan di platform digital, mulai dari situs web, akun media sosial, hingga film. Di Indonesia, terdapat beberapa akun Instagram yang fokus memberikan pendidikan seks dan isu seksualitas, seperti @tabu.id, @perkumpulan.samsara, dan psikolog seperti akun @inezkristanti.

Alvin juga mengatakan isu seksual sendiri mulai banyak muncul diperbincangkan di dalam media arus utama. Berbagai film, serial, maupun lagu yang muncul beberapa tahun terakhir mulai menormalisasi pembicaraan tentang seksualitas di ranah publik. Sebagai contoh, film Dua Garis Biru (2019) dengan konflik utama mengangkat isu kehamilan pada remaja, sukses menarik perhatian dan minat generasi Z Indonesia. Serial Sex Education yang tayang di Netflix juga membawakan pendidikan seksual dalam kisah coming of age yang apik. Dengan menyisipkan edukasi seksual ke dalam media arus utama membuat pendidikan seksual terasa ringan. Pesan-pesan di dalam film, serial, hingga lirik lagu umumnya lebih mudah diterima dan meninggalkan kesan.

Dengan akses informasi yang semakin mudah, Alvin berpesan agar anak muda dapat lebih membuka diri terhadap informasi mengenai seksualitas. Tak perlu langsung membahas hal-hal besar seperti pelecehan seksual dan parafilia (ketertarikan terhadap hal yang kurang biasa atau tabu) bila dirasa masih kurang nyaman.

“Awalilah dengan hal-hal kecil terlebih dahulu seperti mengakui seksualitas sebagai bagian dari diri, mengenali organ-organ, dan hak-hak seksual serta kesehatan reproduksi yang seharusnya. Mulai dari yang membuat kita nyaman, baru mencoba mencari konten yang lebih dalam,” tuturnya.

Sesuatu yang diharapan Sasti dari acara ENOLA, yakni dapat memberikan impact yang bermanfaat dan menyebarkan kebaikan kepada masyarakat. Terlebih pada ranah kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif. Di samping itu, juga dibarengi dengan kolaborasi mahasiswa rumpun kesehatan.

Penulis: Alisya Zahna Fadila dan Andriana Sulistyowati
Editor: M. Wildan Fathurrohman