Awalnya, almet atau almamater hanya sebatas pakaian yang melekat di badan. Pakaian yang tidak terlalu penting bagi saya dan beberapa orang lain. Pakaian yang hanya dipakai untuk seremonial kampus belaka, tak lebih dari itu. Namun, belakangan ini, terutama semenjak aksi besar tanggal 11 April kemarin, almet menjadi sebuah barang mati yang begitu “suci” di mata para pendaku intelektual masa kini. Kritik dan cemoohan perkara penggunaan almet dalam aksi atas nama “rakyat” ini sudah lama dilakukan. Terutama pada aksi besar-besaran tahun 2019, tetapi kukira teman-teman yang mendaku aktivis dan intelektual ini masih memegang kuat pendirian ini. Perlu dipahami pula pemakaian almet justru membahayakan peserta aksi itu sendiri, terlebih perkara sekuritas. Kenyataannya sama saja hal ini begitu diabaikan, begitupula apa yang terjadi di Bundaran Gladak tanggal 14 April sore kemarin.
Sebagaimana apa yang saya lihat di lapangan, massa didominasi oleh para manusia yang “bertopeng” almet. Senada dengan aksi yang telah terjadi beberapa hari belakangan, almet seolah-olah menjadi simbol eksklusivitas gerakan. Hal ini bisa ditunjukkan dengan pamflet aksi yang disebar oleh aliansi BEM SI. Begitu pula BEM Solo Raya yang mewajibkan penggunaan almet dalam aksi saat akan digelar. Namun, ada yang menanggapi eksklusivitas yang disimbolkan dengan keharusan membawa almet adalah sebuah hal yang berlebihan. Adapula yang menganggap bahwa ini merupakan hal yang tidak penting, tetapi tunggu dulu. Eksklusivitas ini sangat nyata dan hampir terjadi di setiap aksi. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Eksklusivitas dalam Selembar Pakaian
Eksklusif, kata ini bisa dipahami sebagai sebuah kegiatan yang memang hanya diikuti oleh orang-orang yang memiliki kriteria atau ketentuan tertentu. Ya, hal ini kentara dalam aksi yang diinisiasi oleh BEM. Kewajiban menggunakan almet dan menyingkirkan kawan-kawan yang tidak menggunakan almet untuk keselamatan dirinya merupakan hal yang diskriminatif, bahkan bertolak belakang dengan narasi yang dibawa dalam sebuah aksi. Diskriminatif karena menganggap bahwa orang yang tidak menggunakan almet adalah penyusup, perusuh, perusak gerakan, dan berbagai macam sentimen buruk lainnya.
Bertolak belakang dengan narasi yang dibawa ketika aksi, hal ini begitu jelas terpampang di depan mata. “Hidup rakyat Indonesia!”, “Kita berjuang untuk rakyat Indonesia!” salah dua teriakan paling munafik yang saya dengar dalam sebuah pagelaran aksi. Bagaimana tidak? Massa hanya dipenuhi para manusia beralmet dan terdapat beberapa orang yang menghubungi narahubung dan ingin ikut serta dalam aksi, tetapi tidak menggunakan almet karena bukan dari kalangan mahasiswa justru ditolak dengan kalimat, “Maaf mas, besok aksinya khusus untuk mahasiswa”. Adapula, di Jakarta kemarin beberapa individu yang tidak menggunakan almet justru diusir keluar barisan aksi. Mereka dianggap (melampui curiga), bahwa mereka adalah penyusup dan perusuh. Hingga ada sebuah kasus ketika teman-teman kolektif lain yang dicurigai sebagai penyusup dan dilaporkan ke aparat untuk ditangkap hanya gara-gara tidak menggunakan almet.
Padahal, dalam praktiknya penggunaan almet dalam aksi merupakan sebuah kesalahan. Almet justru membunuh para peserta aksi sendiri. Hal ini karena, identitas para peserta sangat terlihat dan begitu terbuka. Membuka kans bagi para aparat untuk langsung menyeret peserta dan mem-bogem-nya secara cuma-cuma. Jangan kaget wahai para mahasiswa yang selalu mengagung-agungkan dirinya sendiri. Metode penggunaan almet sudahlah usang, lupakan romantisme ‘98. Sekarang lihatlah bagaimana demonstran luar negeri yang begitu melindungi sekuritasnya dengan menggunakan pakaian bebas dengan safety culture-nya dan melebur dari umur tua hingga muda dalam sebuah aksi. Ah tapi, kukira juga percuma para mahasiswa itu memakai almet juga butuh yang namanya portofolio atau mungkin panggung untuk eksistensi diri, baik dalam lingkungannya ataupun media sosial.
Pertanyaan demi pertanyaan pun lalu muncul dalam otak. Lalu apa tujuan aksi yang ini? Lalu apa tujuan mas-mas dan mbak-mbak yang mendaku aktivis dan mengatasnamakan rakyat, tetapi malah mengusir atau melarang salah satu elemen rakyat untuk menyuarakan apa yang mereka resahkan? Apakah hal-hal seperti ini hanya mahasiswa atau orang yang bertopeng almet-kah yang pantas menyuarakan di jalanan?
Pembelaan yang Sudah Usang
Pembelaan yang akan kita sering dengar ketika kewajiban membawa almet untuk aksi adalah agar terhindarnya dari penyusup dan provokator serta mempermudah ekskalasi gerak. Sebuah alasan yang sebetulnya tidak cukup masuk akal sebagai orang yang mendaku memiliki intelektualitas yang tinggi. Pasalnya, penyusup atau perusak gerakan sendiri merupakan seorang aparat yang menyamar. Tentu jika para teman-teman mahasiswa yang paling mulia ini belajar akan bagaimana sejarah bekerja dan pola yang sudah terjadi, perawakan dari para aparat yang menyamar dengan para elemen masyarakat lain yang bergabung bisa dibedakan secara jelas. Kukira, hal ini hanya sebuah alasan, sebuah alasan untuk melegitimasi sebuah aksi “cari panggung” belaka. Hal ini pun dibuktikan dengan aksi yang diadakan oleh BEM Solo Raya yang sama sekali tidak jelas substansi tuntutannya hingga poin-poin tuntutan yang terlihat begitu prematur. Begitu pula dalam hal pemilihan tempat, mengapa harus di Gladak? Teman-teman yang beralmet ini mau menuntut siapa? Apakah teman-teman yang beralmet ini ingin menuntut ke patung yang hanya diam dan tak bersalah itu? Atau bagaimana?.
Memang, aspirasimu akan didengar. Akan didengar oleh patung yang tidak bisa merespons orasi-orasi dan puisi yang penuh metafora romantisme reformasi yang telah usang. Orasi dan puisimu akan didengar oleh para aparat sebagai omong kosong. Orasi dan puisimu akan didengar sebagai pengganggu arus lalu lintas saja atau penghalang pulang ke rumah bagi para pekerja yang ingin segera pulang untuk berbuka bersama sanak dan keluarga. Eksklusivitas gerakan semacam ini memang harus dihilangkan. Selain hanya sebagai ajang eksistensi atau cari panggung, bahkan bisa memunculkan golongan penindas baru, yaitu mahasiswa itu sendiri. Maka di akhir kata akan kupinjam kutipan dari Ted Kaczynski.
“Intelektual-intelektual universitas.. mengira dirinya adalah pemikir-pemikir independen, para intelektual… adalah grup yang paling oversocialized (terlalu banyak bersosialisasi), konformis, penurut, dan jinak, yang paling dimanjakan, ketergantungan serta rapuh… mereka tidak sanggup berpikir merdeka, pemberontakan yang sebenarnya menjadi mustahil untuk mereka”
Penulis: Muhammad Achmad Afifudin
Editor: Rizky Fadilah