Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu menjadi sejarah kelam negeri ini. Melalui Aksi Kamisan, keluarga korban menuntut pertanggungjawaban dari negara atas hilang atau terbunuhnya keluarga mereka. Setiap Kamis sore, entah terik atau hujan mereka menjenguk Istana Negara dengan pakaian dan atribut serba hitam sambil membawa tulisan juga foto korban. Entah setiap datang apakah suara mereka terdengar hingga dalam istana yang ketat dijaga dan menjulang tembok kokohnya. Aksi Kamisan membuka mata kita bahwa setiap nyawa itu berharga. Mereka yang menjadi korban dari berbagai pelanggaran HAM adalah anak dari seorang ibu, ayah atau ibu dari seorang anak, serta suami dari seorang istri. Tentu saja duka dan luka yang ditinggalkan begitu dalam.
Kamis, 18 Januari 2024 Aksi Kamisan genap berusia tujuh belas tahun dengan 801 Kamis sudah dilalui. Jika diibaratkan manusia, maka usia ini adalah usia remaja dengan banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diri. Begitu pula Aksi Kamisan, sejak aksi pertamanya pada Kamis, 18 Januari 2007 telah terjadi banyak sekali perubahan mulai dari pergantian pemimpin negara hingga berbagai peraturan serta regulasi. Hal ini serupa dengan semangat peringatan tujuh belas tahun Aksi Kamisan yang mengangkat tema “Orang Silih Berganti, Aksi Kamisan Tetap Berdiri”. Tak peduli dengan berbagai perubahan yang terjadi, selama pelanggar HAM belum diadili maka Aksi Kamisan akan tetap berdiri. Aksi Kamisan akan selalu menjadi pengingat bagi negara agar tidak main-main dengan hak asasi manusia bagi warganya.
Awal Mula Aksi Kamisan
Aksi Kamisan pertama kali diprakarsai oleh 3 orang, yakni Maria Katarina Sumarsih, ibu dari Bernadus Realino Norma Irawan, salah satu mahasiswa yang tewas dalam Peristiwa Semanggi I; Suciwati, istri dari Munir Said Thalib, aktivis HAM yang tewas diracun di pesawat dalam perjalanannya menuju Belanda; serta Bedjo Untung, perwakilan keluarga korban tragedi 1965-1966. Ketiganya bergabung dalam Kelompok Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).
Aksi Kamisan terinspirasi dari gerakan Madres de Plaza de Mayo yang dilakukan oleh para ibu dan nenek di Argentina sejak tahun 1977. Setiap hari Kamis dengan kerudung putih serta membawa tulisan dan foto, para ibu dan nenek ini berdiri di Alun-Alun Plaza de Mayo di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada Argentina menuntut keadilan bagi anak-anaknya yang hilang dan dibunuh oleh Junta Militer Argentina yang berkuasa saat itu. Pada periode 1976-1983 diperkirakan 30.000 orang hilang di bawah kekuasaan militer Jorge Rafael Videla. Aksi Madres de Plaza de Mayo berlangsung selama 30 tahun, hingga pada 2006 pemerintah Argentina dibawah kepemimpinan Presiden Nestor Kirchner menghapus aturan hukum yang digunakan pemerintah untuk membungkam warga kritis. Perjuangan ibu dan nenek Plaza de Mayo membuahkan hasil dengan pemerintah yang mulai menghukum rezim otoriter di masa lalu.
Aksi Kamisan menyerukan pengusutan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seperti Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Tragedi Talangsari 1989, Tragedi Rumah Geudong 1989, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Tragedi Wasior 2001-2002, Tragedi Wamena 2003. Seiring berjalannya waktu, Aksi Kamisan diikuti oleh banyak keluarga korban pelanggaran HAM, para aktivis, hingga masyarakat sipil. Tidak hanya pelanggaran HAM berat masa lalu, tetapi juga pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga saat ini seperti kekerasan aparat terhadap warga sipil hingga konflik penggusuran lahan. Melalui Aksi Kamisan mereka akan terus menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.
Melawan Impunitas
Impunitas atau pembebasan dari hukuman adalah hal yang dilakukan pemerintah Indonesia sejauh ini dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengakui adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut dan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Penyelesaian secara non yudisial ini berfokus pada pemulihan hak para korban dan keluarganya. Melalui Keppres ini, pelaku pelanggaran HAM tidak akan diadili dalam pengadilan. Mereka akan dengan leluasa dan tetap merasa aman duduk manis di kursi kekuasaan.
Penyelesaian non yudisial tidak memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran HAM. Langkah ini tidak memberikan keadilan bagi korban dan keluarga korban serta membuka peluang bagi terjadinya kejahatan-kejahatan berikutnya. Sudah sepantasnya pelaku kejahatan berat menerima hukuman yang berat pula, bukannya tidak diadili sama sekali.
Pelaksanaan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc seharusnya menjadi jawaban dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Belum terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc menunjukkan bahwa pemerintah belum serius dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Tak heran, keluarga korban akan terus menuntut keadilan dan Aksi Kamisan akan berlangsung entah hingga kapan.
Bukan Aksi Lima Tahunan
Tujuh belas tahun Aksi Kamisan bertepatan dengan tahun politik 2024. Aksi Kamisan pun dicap sebagai isu yang muncul setiap lima tahun sekali menjelang pemilu. Padahal ia hadir setiap minggunya di depan Istana Negara menagih hutang penyelesaiaan masalah HAM yang selalu dijanjikan. Sekali lagi, aksi ini bukan digelar setiap menjelang pemilu, ia sudah hadir lebih dari 800 kali. Penyelesaian masalah HAM menjadi tanggung jawab negara dan melalui Aksi Kamisan inilah persoalan HAM setiap minggunya tak pernah absen diingatkan untuk pemerintah juga masyarakat.
Aksi Kamisan sudah melewati tiga kali pemilu dan tahun ini adalah kali keempat. Sejak rezim Susilo Bambang Yudhoyono hingga rezim Joko Widodo, penyelesaiaan pelanggaran HAM yang digaungkan selalu nihil solusi. Janji-janji penyelesaian kasus HAM dalam setiap pemilihan presiden misalnya hanya memberi harapan palsu bagi keluarga korban. Apalagi orang yang diduga pelaku pelanggaran HAM selalu menjadi peserta pemilu hingga tahun ini.
Akan Tetap Ada dan Berlipat Ganda
Aksi Kamisan membuka mata berbagai pihak untuk ikut serta menegakkan keadilan terutama terkait masalah HAM di negeri ini. Tidak berhenti dengan Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Aksi Kamisan menyebar di seluruh penjuru Indonesia. Sejalan dengan terus langgengnya pelanggaran HAM di berbagai daerah, Aksi Kamisan hadir di berbagai kota seperti Yogyakarta, Semarang, Kediri, Surabaya, hingga Medan. Hal ini dapat dilihat melalui media sosial instagram mereka. Melalui aksi yang dilakukan di masing-masing kota kemudian menyebarkannya di media sosial, membuat suara-suara tentang HAM ini semakin terdengar.
Banyak aksi massa di berbagai daerah yang mengikuti Aksi Kamisan. Rasa kemanusiaan dan solidaritas menjadi semangat dalam berjalannya aksi ini. Banyak juga organisasi yang membantu dalam Aksi Kamisan seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH), Amnesty International, Imparsial, hingga Greenpeace. Pengikut Aksi Kamisan yang mayoritas generasi muda, juga menunjukkan bahwa generasi muda masih peduli tentang keadilan. Hal ini sekaligus membawa harapan untuk terus memperjuangkan penegakan HAM yang berkelanjutan.
Seperti dalam lirik lagu “Kebenaran Akan Terus Hidup” oleh Merah Bercerita :
Aku akan tetap ada dan berlipat ganda,
Siapkan barisan dan siap ‘tuk melawan
Aku akan tetap ada dan berlipat ganda
Akan terus memburumu seperti kutukan!
Perjuangan menuntut keadilan dalam Aksi Kamisan akan terus menyala dan berlipat ganda untuk melawan kesewenang-wenangan. Ia juga menjadi kutukan bagi pelaku kejahatan yang tak pernah mendapatkan hukuman.
Aji Nugroho. Mahasiswa yang hobinya main, baca novel, dan pengen hidup bebas apa adanya kemana aja.
Editor: Dhiazwara Yusuf Dirga A.