Presiden BEM UNS 2018 terpilih, Gilang RIidho Ananda, tengah berorasi di bulevar UNS, Senin (23/10/2017) malam, berkaitan dengan tindakan represif aparat dalam demonstrasi mahasiswa di Jakarta yang berujung kepada penetapan Presiden BEM UNS, Wildan Wahyu Nugroho sebagai tersangka. Wildan ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal perusakan fasilitas umum oleh Polda Metro Jaya, Minggu (22/10/2017). (Foto: Nabila/LPM Kentingan)

Aksi di Depan Tuhan

 

Oleh: Vera Safitri dan Eka Indrayani

 

17.23 WIB

 

Salma membuka pintu kamar. Memandangi sinar senja yang mulai samar. Sambil memegang handuk, dia terduduk mengantri giliran mandi. Bersiap mendatangi Bulevar UNS selepas magrib.

 

Seluruh penghuni indekos Salma tahu, itu hari Senin, 23 Oktober 2017. Tapi tak semuanya tahu kemana Salma bakal pergi sore itu. Dia masih ingat riuhnya grup perpesanan Whatsapp kelasnya pagi tadi. Ramai-ramai temannya bergunjing soal Presiden BEM UNS yang ditangkap polisi. “Kasihan,” katanya sambil berjalan menuju kamar mandi.

 

17.20 WIB

 

Di depan gedung Porsima, sudah lebih dari empat puluhan mahasiswa berbaju hitam berdiri. Gilang Ridho Ananda, Presiden BEM UNS 2018 terpilih namun urung dilantik akhirnya memulai cerita tentang Wildan Wahyu Nugroho, Presiden BEM UNS yang disurati polisi dan diberi status tersangka. Pada malam sebelumnya, polisi sudah resmi menyangka Wildan telah jahat terhadap ketertiban umum, perusakan bersama-sama, serta kejahatan terhadap kekuasaan umum.

 

Gilang yang baru pulang dari Ibukota itu juga menjabarkan langkah-langkah apa saja yang akan mereka tempuh demi melepaskan Wildan dari prasangka polisi. “Besok kita akan mengadakan konferensi pers di rektorat.”

 

Aldhi Aldiansyah, Mahasiswa Hukum UNS, yang juga mantan rival Gilang pada pemilu UNS dua minggu lalu ikut berembug. “Saya dan kawan-kawan [Fakultas] Hukum sudah berdiskusi dengan dosen, guru besar di UNS. Mereka mau membantu misal pihak BEM Seluruh Indonesia (SI) ada penjelasan lebih lanjut.”

 

 

17.40 WIB

 

Tik-tok…tik-tok…tik-tok. Suara pedagang Bakso Malang lalu lalang. Salma Hanifah Prameswari sudah siap membungkus badannya dengan rok dan kerudung sehitam arang. Di batas tengah semester satu, mahasiswi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS itu malah tak terlalu memusingkan Ujian Tengah Semester (UTS) yang bakal dihadapinya esok dan tetap niat jadi salah satu peserta Solidarity Night, sebuah aksi doa bersama buat Wildan Wahyu Nugroho, si Presiden BEM UNS yang  sampai kini masih harus di Jakarta.

 

 

17.40 WIB

 

Azan sudah dari tadi. Puluhan orang yang tadinya berada di depan Gedung BEM UNS itu perlahan membubarkan diri. “Habis sholat langsung ke sana, ya!”.

 

 

18.00 WIB

 

Sehabis lanskap mengerjap, Salma mangkat ke lokasi hajat.  Tak berbekal apa-apa. Tas kecilnya pun melompomg tak ada isinya. Gawai milikknya cuma bersarang di telapak tangan. “Enggak apa-apalah. Kan cuma mau menghadap Tuhan, bukan mau jajan-jajan,” ia bilang begitu sambil berjalan.

 

Salma sampai ke halaman gedung BEM UNS pukul enam lewat sembilan. Sudah telat dari yang seharusnya dijadwalkan. Tapi nyatanya aksi dimulai satu jam kemudian.

 

Baca: “Presiden BEM UNS Resmi Tersangka”

 

19.01 WIB

 

Usai Addin Hanifa, mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS tamat bercerita tentang kronologi temannya yang ditangkap polisi, giliran Doni Bangkit, Pesiden BEM FKIP UNS urun orasi. “Apa yang dilakukan aparat itu keparat!”

 

Seratusan jemaah aksi doa di depannya mendengarkan dengan khidmat. Tapi tetap ada saja yang mendengarnya sambil berswafoto dengan kawan atau sambil bersiaran langsung lewat akun Instagram kesayangan.

 

Tapi Salma bernasib tragis. “Duh kuota abis. Padahal pengen update biar kelihatan hits.”

 

“Cuma doa yang bisa menggerakkan hati penguasa,” pekik Doni.

 

“Kapan doanya, nih?” ujar Indah Saraswati, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UNS, yang saat itu berdiri dua meter dari Salma.

 

“Sudah, lupakan saja apa yang teman-teman BEM SI bawa kemarin. Tuntutan-tuntutan segala macam. Lupakan saja! Mari kita bersama-sama mendoakan teman kita, Wildan Wahyu Nugroho,” kata Aldhi yang malam itu ikut berorasi.

 

“Wildan tidak ada, bintang tidak ada,” ratusan orang yang hadir kompak mendongak, juga Salma. “Oh, iya enggak ada,” katanya. “Ini karena sedang direnggut kebebasannya dalam bergerak. Karena kriminalisasi yang dilakukan pada mahasiswa.” Beberapa perempuan di depan Salma cekikikan. “Halah, opo to mas?” sahut salah satunya.

 

 

20.10 WIB

 

Indekos berjam malam terlalu seram buat dibantah sebagian mahasiswi yang kebacut ikut acara ini. Jadi sebelum gelaran benar-benar usai. Kerumunan aksi bagian perempuan sudah keduluan burai.

 

Tapi Salma masih di sana, mengikuti instruksi Gilang yang memimpin para hadirin untuk mengucap dua tuntutan secara kompak di depan kamera. “Satu, menolak represivitas terhadap semua elemen masyarakat. Diingat-ingat ya temen-temen.”

 

“Oke,” kata beberapa hadirin.

 

“Piye mau?”

 

Catet wae!”

 

“Dua, menuntut untuk dibebaskan semua mahasiswa yang diberi status tersangka,” Gilang melanjutkan.

 

Saat diulangi, para hadirin mengucapkan dua tuntutan itu dengan kacau. Ada yang memutus kalimat karena beberapa kata tiba-tiba menghilang dari ingatan, ada yang membongkar pasang struktur kata seenaknya, serta banyak yang memilih diam karena lupa apa yang diucapkan Gilang tadi. Dan, adegan kacau itu terulang empat kali.

 

Salma sudah kehabisan waktu. “Ada agenda lain” katanya. “Aku langsung pulang, deh. Kelamaan.”[]

 

Baca: “Sang Kapten dan Pak Presiden”