“MAS PKI YA?” anak tambun berkulit gelap menanyai (mengatai?)ku. Oleh gurunya kelak aku diberitahu kalau anak itu: mulutnya bisa dikucir. Betapa kalau nyerocos deras sekali, sekiranya begitu. Demi masa depannya, tak usah ku terangkan di mana letak itu SD, juga nama anak itu. Yang jelas, di sekitar SD itu aku menemukan spanduk yang bertitahkan kalimat quoteable buat kamu-kamu sekalian kaum death price rapal: waspadai bangkitnya PKI.
“Masa depan seperti apa yang perlu ditakutkan?” tanyamu tiba-tiba.
Bahkan tak perlu menunggu masa depan, sebenarnya. Takutku, anak yang juga doyan ke warung internet untuk main Point Blank itu tetiba membuka laman pers mahasiswa terbaik 2017 ini, dan dua kemungkinan nampaknya bakal terjadi: (1) dia girang tak kepalang karena disebut di laman pers mahasiswa terbaik 2017 ini. Dan (2) dia dirundung pertanyaan bernada takut, “apa aku salah kalau bilang PKI ya?” hingga akhirnya depresi.
Kemungkinan pertama dampaknya kurang ajar. Dia akan menyebut semua orang PKI, dan bakal merasa bagian dari yang terhormat di death price itu. Kemungkinan kedua jelas mengerikan. Umurnya paling baru 10 tahun. Masa depannya masih panjang. Aku tak mau mempertaruhkannya. “Anak ibu kenapa?” tanya psikiater. “Dia depresi,” kata ibu anak tambun itu, “akibat mengatai PKI pada seorang brengsek.”
Percakapan macam itu jelas tidak keren.
“Ya, aku anggota PKI,” aku menjawab dengan sunggingan senyum seperti telah menaruh kulit pisang di depan pintu kamar seorang kawan, seingatku, di film, adegan semacam itu berhasil membuat tokoh lain terpleset, dan kita ngakak.
“Beneran, mas?” tanya anak lain berkulit putih.
Aku merasa seperti nabi yang ditunggu ucapannya, dan bakal dipercaya. Maka ku bilang saja kalau PKI sudah dilarang, itu ada peraturannya. Setahuku begitu. Tapi, jujur saja, aku lupa pastinya kenapa si anak tambun itu mengataiku PKI. Agaknya setelah dia menanyakan “F-nya apa, mas?” F itu adalah bagian namaku yang disingkat dalam badge.
“Fantastik,” jawabku, dengan mimik macam melihat kawan membuka pintu kamarnya setelah kulit pisang kita kasih sudah di depan pintunya—ya, biarpun jawaban itu terlontar sebelum aku menjawab bahwa aku anggota PKI, tapi ini hanya “seperti”, soal urutan santai sajalah.
Dia bilang tidak mungkin. Bahkan reaksinya seperti merasa ternista atas jawabanku atas namaku. Aku menikmati mimiknya, percampuran antara kaget dantidak terima danpenasaran dan dengannya dia mantap mengatakan: mas-nya PKI ya?
Jadi kusimpan untuk nanti itu jawaban. Ku alihkan dia.
“Emang PKI apa?”
“Partai kom…kom,” dia menoleh ke teman di sekitarnya, seperti meminta persetujuan, mukanya seperti mengatakan: maafkan aku mengeluarkan kata-kata saru ini.
“Apa?” aku mengejar.
“Partai Komunikasi Indonesia.” Dia mantap, dari dadanya seolah aku mendengar gemuruh teriakan death price berulang-ulang.
Dan kawan kita yang baru keluar kamar itu rupanya benar-benar terpeleset kulit pisang.
*****
Kalau kamu tak percaya kejadian yang baru saja terjadi pada 12 Oktober ini, ya silakan saja! Tapi kalau kamu tak percaya pada kulit pisang yang bisa bikin orang lain terpeleset dan kita ngakak, apa perlu ku wajibkan film yang ada adegan macam itu diputar di mana-mana?
Irfan Sholeh F
Bergiat di Akar Sungai, Komunitas Sastra “indie” Kampus IV UNS.