Oleh: Ririn Setyowati
Judul film : Irrational Man
Tahun rilis : 2015
Genre : Misteri/ Drama
Sutradara : Woody Allen
Pemeran : Joaquin Phoenix, Emma Stone, Parker Posey
TERBIASA jadi anomali, begitulah keadaan manusia kini. Tak perlu berkaca pada latar belakang, status pribadi, keluarga, atau pendidikan. Semua bisa jadi apa-apa yang diinginkan. Baik atau buruk, apa adanya atau bertopeng, bahkan pejabat atau pengemis sekalipun. Semua bisa. Namun, jadi yang “baik-baik” kadang sulit. Tapi jadi anomali sepertinya lebih mudah dan semakin mudah. Itulah kini.
Begitulah yang disampaikan Woody Allen dalam karyanya. Sarat akan intelektualitas drama yang dibalut dengan konflik pribadi. Dipadukan dengan filsafat tempo dulu khas Immanuel Kant dan kawan-kawan, ditambah romansa antara Profesor Abe dan muridnya, Jill. Serta tak lupa intrik licik pembalasan dendam tak terduga. Cerdas! Tapi mungkin tak cocok untuk diputar di layar Indonesia. Dua jam terlalu lama untuk menebak alur dan berfilsuf ria, berbeda dengan kisah Tapsha atau Iccicha yang lebih alam dan murni “drama.” Kadang, orang-orang kita justru lebih betah. Heran.
Mungkin ada bahayanya juga bila Irrational Man ini disajikan di Indonesia. Pasalnya, inilah realitas anomali yang semakin mengakar. Bagaimana kejahatan tak terduga memang ada dan kerap merantai, makan-memakan dan semakin dianggap biasa bahkan ditradisikan. Berkedok kopiah, rakyat, dan keluarga. Ironi.
Dalam film ini, karir sebagai profesor filsafat telah menjadi bagian hidup Abe. Berkutat dengan teori, berandai akan duniawi dan rasional, harusnya. Tapi sayang, tragedi perselingkuhan istrinya dan kematian di depan mata akan kawan dekatnya di Irak membuatnya linglung dan hilang alasan hidup. Hingga suatu kebetulan membawanya pada rencana pembunuhan irasional dengan alasan pembalasan moral yang membuat gairah hidupnya bangkit kembali.
Abe kepincut membunuh hakim yang tidak mengadili suatu keluarga dengan semestinya. Dengan alih menolong untuk membalaskan dendam, pembunuhan pun dihalalkan. Orang lain hanya berandai seseorang mati, sementara ia menganggap “everything about hopping is bullshit.”
Benar saja, orang-orang kita yang kerap berandai kini telah sadar realita. Sesak dan susahnya hidup mengajak orang untuk jadi semakin realistis. Maka, tak heran bila kekesalan kan berujung maut. Toh, sudah ada mahasiswa realis yang membunuh dosennya sendiri. Pejabat juga malah makin realis, semakin kesini yang dikorupsi makin besar, modusnya semakin rapi. Mungkin mereka makin sadar kalau hidup semakin susah kalau tak nyolong-nyolong kesempatan. Kurang realis apa?
Pelaku layar juga tak mau kalah realis. Entah aktor, aktris, penyanyi, bahkan komedian turun tangan ke dunia yang lebih realistis. Nyatanya, banyak dari mereka yang “njabat.” Maklum, semakin tua semakin sulit untuk ngetop, dana dari atasan lama-lama juga akan di-stop. Kalau sudah “njabat,” ya setidaknya dapat tunjangan. Singkatnya, mengicar keterjaminan. Ya, tho?
Abe jelas-jelas salah menghukum orang dengan membunuh. Walau – katanya – berniat baik dan beralasan untuk memberikan pembalasan yang setimpal. Tapi memang benar apa yang dikatan Jill, “satu pembunuhan merupakan jalan untuk menciptakan pembunuhan selanjutnya.” Anomali yang dimaklumi ialah candu. Ialah adiksi pribadi yang menimbulkan kepuasan tersendiri. Penyimpangan akan mengobati keresahan yang tak bisa diatasi dengan akal sehat lagi.
Sayangnya, tak semua yang tahu bertindak seperti Jill dalam perannya di Irrational Man. Kecintaan yang semula begitu membabi buta pada Abe, seketika terhenti ketika Jill berhasil menguak pembunuhan tak masuk akal (walau dengan dalih rasionalitas) oleh Abe. Jika berkaca pada afiliasi atau kedekatan, jarang orang-orang kita kan begitu saja menjauh. Lha, yang (sebenarnya) didepak dari kursi ketua DPR masih dapat duduk jadi ketua partai jas kuning.
Jill sukses berperan sebagai pengontrol sosial bagi kekejian Abe, membuat Abe tertekan dan menyusun rencana kembali tuk menyingkirkan Jill. Konflik cinta yang semula menggebu di satu jam awal, menjadi perang kebencian yang berkaca pada realita ideologi yang berbeda. Woody Allen sukses menjadikan film ini realis tanpa perlu didramatisir berlebihan. Itulah yang hilang dan sedang dibangun kembali oleh orang-orang kini. Kekuatan kontrol sosial dari orang terdekat.
Namun, utopis bila kita berharap akhir cerita Irrational Man ini benar-benar ada dan nyata terjadi. Abe yang berusaha menyingkirkan Jill karena telah mengetahui kejahatannya, justru malah terbunuh dalam perangkap buatannya sendiri. Namun setidaknya, kekejian Abe terungkap dan tak jadi menimbulkan anomali yang baru. Hukum alam seperti berjalan dengan nyata dalam film ini, membiarkan yang jahat kan kalah, dan yang baik kan menang. Yang keji pada akhirnya kan tersingkir oleh kebijakan alam, termasuk Abe. Namun entah kapan kebijakan alam itu kan hadir untuk membersihkan bangsa ini. Tampaknya, keadilan merupakan suatu keniscayaan, dan itulah yang juga diungkapkan Woody Allen dalam karyanya yang lebih lalu, Match Point (2005).
Berbeda dengan Abe, Chris dalam Match Point justru lolos dari amukan orang sekitar. Tak sengaja bersua keberuntungan dan meninggalkan akhir cerita yang menarik sekaligus mengecewakan. Mendobrak dramatisme kisah-kisah film, bahwa realitanya, yang membunuh tak selamanya diceritakan terungkap. Tapi, kesalahan dan dosa pribadi tetap menggentayangi pribadi yang melakukan. Hanya saja, hukuman itu tak konkret. Masyarakat cenderung tak ikhlas bila hukuman penjahat hanya berbatas pada hukuman pribadi.
Inilah wajah yang harus diputar di layar orang-orang kita. Bahwa anomali yang diciptakan Abe atas dasar gerakan moral dan mengatasnamakan kebajikan memang kerap dengan mudah diampuni, dibiarkan, dan semakin membawa bibit baru lagi. Tujuannya, agar simbol-simbol kebajikan tak sebegitu mudahnya diperalat oleh kaum kepentingan. Agar kesucian tetap suci pada tempatnya, bukannya untuk bernaung supaya dikatakan benar dan jadi khalifah. Beruntung bila sang penyumpah atas nama kesucian berakhir mulus seperti Chris, paling-paling hanya stres sendiri. Tapi bila mengikuti jejak Abe, bisa saja terpeleset di bui dan kejahatannya diketahui.
Akhir bisa saja beda, namun awal kan tetap sama. Selama ada satu manusia, manusia lain dan kepentingan beragam, maka akan tetap ada anomali di setiap gerak-gerik kehidupan, kelicikan, serta kemunafikan di sekitar kita. Pertanyaannya kini tak lagi tentang siapa yang berbuat. Tapi apakah kita siap digempur zaman yang sesak akan anomali dan kemunafikan.[]
(Foto: Irrational Man/Sony Pictures Classics)
Ririn Setyowati. Seorang mahasiswi pembelajar pesan. Sering dikatakan terlalu belia dan belum pantas. Namun, menepis stempel dini bukan merupakan hal yang salah. Mencoba mengimplikasikan ‘manusia bermoral’ seperti apa yang diharapkan Moctar Lubis dalam pahamnya. Surel: ririnsetya198@gmail.com.