photo credit: uns.ac.id

Budaya Berarsip: Gerak Pemajuan Kampus

Oleh: Muhammad Satya

Saya mengucapkan selamat kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kearsipan Universitas Sebelas Maret (UNS) atas prestasinya yang membanggakan. Bagaimana tidak? UPT yang baru diresmikan Juni tahun lalu ini, menyabet penghargaan sebagai terbaik kedua kategori Lomba Kearsipan Perguruan Tinggi (LKPT) yang dihelat Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) 17 Agustus 2015.

Di laman uns.ac.id, di mana saya menemukan berita ini, disebutkan bahwa UNS hanya kalah dengan Universitas Gajah Mada (UGM) dan mengungguli Universitas Udayana di tempat ketiga. Di sana juga disebutkan bahwa UPT Kearsipan UNS memiliki keunggulan pada khazanah kearsipannya. UPT Kearsipan UNS menyimpan dan mengelola foto-foto dokumentasi sejak UNS berdiri, dokumen-dokumen penting bahkan rancang bangun yang ada di UNS. Sungguh, saya sangat bahagia membaca kabar ini. Sudah terbayang betapa mudahnya nanti ketika saya mengerjakan suatu penelitian. Data-data yang tersimpan di UPT Kearsipan bisa saya gunakan. Sekali lagi, selamat!

Namun, rasa bangga mendadak hilang ketika saya membuka laman arsip.uns.ac.id. Kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat, mirip euforia malam tahun baru 2016. Ada dua jenis arsip, tekstual dan non-tekstual. Non-tekstual ini meliputi rekaman suara, kearsitekturan, video, dan foto. Namun arsip di laman tersebut sungguh terbatas. Hanya ada 15 arsip foto, 64 arsip tekstual, dan 2 arsip kearsitekturan. Hanya sebegitu saja jumlah arsip untuk satu kampus yang sudah bakal berusia 40 tahun? Ucapan selamat kepada UPT Kearsipan saya tarik kembali!

 

Kesadaran Kearsipan

Sesungguhnya pengarsipan adalah kegiatan yang bernafaskan ketuhanan dan bernilai ibadah. Lebih dari dua milennium yang lalu, Tuhan telah mencontohkan kegiatan ini pada umat manusia. Yesus diturunkan sebagai logos, firman Tuhan dalam bentuk manusia. Kaumnya tak ingin memori tentang Tuhan hilang begitu saja. Maka mereka menuliskannya menjadi kitab yang kemudian bernama Injil.

Beberapa ratus tahun kemudian, seorang lelaki Quraisy mendapat kehormatan untuk menerima firman-firman Tuhan. Muhammad, nama lelaki itu, kemudian mengajarkan firman-firman itu kepada kaumnya. Tak cukup mengajarkan, Ia tak mau firman-firman yang diturunkan padanya lenyap begitu saja. Maka beberapa sahabatnya diajak untuk menghafal firman-Nya. Menyalin apa yang ada di pikiran Muhammad ke sistem memori mereka. Hingga saat ini, para penghafal (hafidz atau hufadz) inilah yang menjadi basis data firman Tuhan terlengkap dan terpercaya. Dalam perkembangannya, umat Islam kemudian sadar bahwa pengarsipan dalam bentuk ingatan sangat riskan. Maka, memulailah mereka menulis berbagai buku, membangun perpustakaan terbaik pada masanya, dan mengundang manusia-manusia pengagung ilmu untuk membaca, menulis, dan menyumbangan pengetahuan untuk umat manusia.

Saat obor ilmu-pengetahuan dalam kebudayaan Islam memudar, Eropa perlahan mengambil kesempatan untuk menjadi pengumpul arsip. Khususnya dari peradaban Yunani Klasik, membaca, dan mengembangkannya. Perkembangan arsip-mengarsip lalu berpusat di tanah Eropa. Meski demikian, medium cetak ilmu pengetahuan masih sangat bersifat privat dan elitis. Hanya beberapa kalangan yang benar bisa memahami tulisan dengan baik. Johannes Gutenberg (1398-1468) mendobrak sekat ini berkat penemuan mesin cetak pada abad 15. Berubahlah secara total budaya manusia Eropa, dari budaya lisan (oral culture) ke budaya cetak (printed culture).

Inilah perubahan budaya terbesar dalam sejarah umat manusia, yang pertama kali melanda Eropa secara massal (Elizabeth, 1979). Terjadilah demokratisasi pengetahuan berkat mesin pengganda Gutenberg. Pemikiran para cendekiawan dan ilmuwan yang tertuang dalam tulisan, lalu bisa diakses oleh lebih banyak orang, dengan cara yang sungguh berbeda: lebih individual (seperti saat membaca buku), lebih analitis terhadap segala hal, lebih menghendaki logika yang tersusun rapi, dan akhirnya menghendaki semangat empirisme sainstifik. Dan jadilah Eropa, kemudian Amerika Serikat, sebagai benua yang memiliki perpustakaan terbesar di jagat raya manusia.

Lantas medium audio, visual, dan audiovisual hadir berturut-turut. Semua medium ini lebih bersifat komunal. Arsip tak hanya berupa tulisan saja, tapi menjelma dalam bentuk rekaman suara, foto, dan rekaman video. Kehadiran medium-medium ini turut membangun industri hiburan, industri paling abadi di muka bumi.

Ruang untuk menyimpan arsip semakin terbatas, sementara peradaban terus berkembang. Maka diperlukan suatu ruang penyimpanan khusus yang efisien dan efektif. Dari sinilah, penyimpanan melalui perangkat keras komputer mulai berkembang tahun 1900-an. Amerika Serikat bisa dibilang menjadi pelopor dalam pengembangan pengarsipan semacam ini. Dahulu hanya memiliki kapasitas memori 360 kilobyte (KB), kini perangkat keras penyimpan data telah memiliki kapasitas memori melebihi satu terabyte (TB). Bahkan penyimpanan di ruang siber menjadi alternatif yang biasa digunakan.

Dari mesin cetak hingga perangkat keras penyimpan data, semuanya berkembang di kebudayaan Eropa-Amerika. Bukan dalam kebudayaan akademik Asia, misal, seperti Indonesia. Mereka sadar betul akan urgensi arsip bagi perkembangan peradaban: yang tak memiliki arsip masa lalu pasti terpatok pada masa kini, tanpa memiliki kejelasan gerak ke masa depan dengan bayang-bayang masa lalu untuk diperbaiki. Data-data yang ada dalam arsip akan menentukan kerangka persepsi dan berpikir seseorang. Ketika sedang mengakes data, membaca misalnya, secara tidak langsung kita akan berdialog dengan si penulis. Dialog inilah yang menjadikan membaca disebut proses apropriasi, “yaitu suatu proses menjadikan apa yang Anda baca itu sebagai milik pribadi. Ide dalam buku itu akan menjadi ide yang hidup dalam benak Anda” (Bertens, 2005). Sungguh tak perlu heran, perpustakaan-perpustakaan di Eropa kebanyakan megah dan memiliki arsip-arsip melimpah sebagai koleksi yang paling utama dan penting (bukan buku). Inilah salah satu fondasi perkembangan dan pengembangan keilmuan di Eropa dan Amerika. Tanpa arsip, pikiran tak bisa bergerak jauh ke masa lalu, dan bergerak cepat ke masa depan. Pengarsipan itu adalah budaya akademik yang sudah dilaksanakan sebagai tradisi sejak berabad-abad lalu di Eropa dan Amerika Serikat.

 

Kearsipan Akademis

Sebesar 90 persen lebih mahasiswa UNS bisa kita pastikan memiliki flashdisk¸meski kita tidak melakukan survey empiris. Dan dari flashdisk-flashdisk itu, pasti tidak ada yang berukuran satu atau dua gigabyte (gb), paling tidak empat gb. Dan saya yakin, arsip-arsip yang ada di flashdisk mereka, 90 persennya pasti hiburan. Entah foto, film, musik, drama seri, video musik, atau hiburan lain. Hanya sekitar sepuluh persen dari kapasitas memori flashdisk yang berisi arsip akademis untuk memajukan perkembangan keilmuan mereka di kampus. Ini fakta mustahil terbantah.

Padahal kesadaran untuk mengarsip dokumen-dokumen keilmuan memiliki beberapa tujuan dan manfaat. Pertama, arsip akan memudahkan kita untuk merekonstruksi masa lampau. Misalnya dalam kasus Socrates. Filsuf yang satu itu begitu angkuhnya sehingga tak pernah sekalipun mau menulis. Untung saja ada sang murid, Platon, yang memiliki kesadaran arsip terhadap pemikiran-pemikiran gurunya. Berbekal dialog-dialog sokratik yang ditulis Platon inilah, kita bisa merekonstruksi pemikiran dan gaya hidup Yunani zaman itu. Secara ironis, Socrates yang memusuhi pengarsipan, abadi dalam arsip itu sendiri.

Kedua, sebagai langkah antisipasi terhadap masa mendatang. Ini bisa kita lihat dalam visi kearsipan yang dikerjakan Koninklijk Instituut Voor Taal-Land, En Volkenkunde (KITLV). Lembaga studi dan arsip tentang Karibia dan Asia Tenggara terlengkap di dunia. “KITLV researchers explore (dis)continuities between the (pre)colonial and postcolonial period, and articulate their research agendas empirically and theoretically in order to advance wider debates on the meandering paths of globalization” (kitlv.nl). Mereka merasa butuh data-data masa lampau, yang kemudian diolah melalui studi empiris dan teoretis, sebagai pijakan untuk membangun peradaban di masa mendatang. Kesungguhan KITLV bisa dilihat, salah satunya karena perwakilan mereka selalu berkunjung ke sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa di seluruh Indonesia untuk mendapatkan terbitan-terbitan awak media kampus di seluruh Indonesia. Sebuah arsip yang belum tentu dimiliki ANRI—herankah kita juga Belanda yang kecil banget itu menjajah Indonesia, melalui politik ilmu pengetahuan?

Ketiga, data-data ini sangat bernilai dalam kerja penelitian. Penelitian paling sederhana adalah kajian pustaka, di mana peneliti tidak harus mencari atau membuat data di lapangan. Kalau data di lembaga kearsipan tidak lengkap, apa jadinya penelitian kita? Praktis lebih banyak mandek di tempat, sering sok mau mengatakan sesuatu yang “baru” padahal sudah pernah bahkan sangat banyak di masa lalu, tapi berkat kearsipan yang gagal, pikirannya tak bisa menjangkau masa lalu untuk bergerak ke masa depan. Dan tanyakanlah pada para mahasiswa tingkat akhir yang selalu saja dan selalu saja dibuat kelimpungan panik saat harus mencari data-arsip untuk skripsi!

Apalagi, dokumen-dokumen e-prints yang disediakan UNS jauh dari kata lengkap. Jurnal, tesis, atau skripsi, acapkali tak tersedia bab pembahasannya. Saya juga pernah mendengar curahan hati dari seorang dosen, yang hasil penelitiannya dibuang begitu saja setelah lima tahun tanpa diarsipasi terlebih dulu. Jangankan hasil penelitian, hasil makalah mahasiswa untuk ujian saja, hanya menjadi tumpukan kertas yang siap diloakkan. Padahal makalah-makalah mahasiswa sudah selaiknya diarsip oleh UPT Perpustakaan atau kearsipan tiap fakultas. “Lho, makalah-makalah mahasiswa kan banyak yang plagiasi dan hasilnya jelek, Mas? Ngapain diarsip?” Justru itu!

Adakanlah penelitian rutin tiap semester mengenai tingkat plagiarisme di kalangan mahasiswa. Lalu buat pemetaan, program studi mana yang rentan tindak plagiarisme. Situs-situs mana yang sering dijadikan referensi copas mahasiswa. Dan terutama, lihat juga perkembangan kualitas makalah yang dihasilkan mahasiswa. Jadi bisa ditentukan tindakan yang tepat untuk memberantas plagiarisme dan meningkatkan kualitas keilmuan mahasiswa. Bukankah ini suatu gerak budaya yang mengantarkan Eropa dan Amerika menjadi pemangku ilmu pengetahuan? Bukankah ini suatu budaya akademik yang sudah pasti bisa memajukan kampus UNS?

Setidaknya, optimisme saya terbangun karena Desember tahun lalu, UNS kedatangan tamu istimewa. 23.000 naskah kuno datang dari Universitas Leiden, Belanda—tentu saja, tidak mungkin dari kearsipan kerajaan atau perguruan tinggi di Indonesia! Naskah-naskah tersebut akan digunakan untuk melengkapi pusat studi Javanologi di UNS. Saya juga berharap gedung perpustkaan UNS yang baru akan memiliki koleksi yang jauh lebih lengkap dari sekarang, khususnya yang bersifat data arsip, bukan dan sekali lagi bukan hanya buku. Ingat, sesungguhnya pengarsipan adalah kegiatan yang bernafaskan ketuhanan dan bernilai ibadah. Apalagi siapa yang merawat lupa dalam gerak ilmu pengetahuan, ia bakal ditinggalkan masa depan. Kampus yang masa lalunya selalu saja dibuat pendek, ia pasti bergerak ke depan dengan sangat pelan. Budaya arsip itu sudah sewajibnya jadi satu penggerak utama budaya akademik! Tidak bisa tidak!

Dan ingat: sekarang, selain tentu saja Jepang, negara-negara Asia mulai membangkitkan pendidikannya sebagai pusat penggerak kemajuan ekonomi-politik. Silakan mengukur diri dari sekarang dengan satu variabel sederhana: arsip akademik.