30 Detik

Oleh: Citra A. P. A

Tiba-tiba aku terbangun. Mataku terbuka. Namun, badanku telah tegak berdiri. Ya, aku berdiri, tak merebahkan diri, tak berbaring. Apakah aku terbangun dari igauan malamku sehari-hari? Apakah aku sedang bermimpi? Ataukah, ini bukan aku?

Aku memandang sekeliling. Luas. Tempat yang kupijak begitu luas, hingga terasa hambar. Hampa. Kosong. Kurang berenergi. Aku sadar, tempat ini tidak bisa disebut ruang kosong. Bahkan, tempat ini bukanlah ruang. Tempat ini tak berbatas. Sejauh mata memandang, tak ada yang bisa disebut sudut ruangan, pojok ruangan, atau ujung tempat keluar dari sebuah ruangan. Tak ada pintu.

Aku memandang ke atas, ke bawah. Aku ternganga. Ternyata, aku berdiri di sebuah lapisan, atau zat seperti labirin. Labirin yang tidak saling bertumpukan. Labirin yang saling merenggangkan diri. Labirin yang begitu bening, transparan. Aku bisa melihat dengan jelas pemandangan apapun yang ada di atas maupun di bawah. Sayangnya, itu membuatku terperangah kembali. Kedua dimensi menunjukkan pemandangan yang sama, semua tampak nyata. Ya, nyata. Di atasku dan di bawahku, awan memanjang menyelimuti kehampaan di sekitarnya. Aku serasa berada di sebuah ruang kaca yang dikeroyok oleh mega-mega lembut nan konstan irama geraknya. Hawanya begitu sejuk. Tidak panas, tidak dingin. Benar-benar sejuk melebihi pendingin ruangan keluaran terbaru. Tidak, apakah aku sedang bermimpi? Ya, ini pasti mimpi. Aku mencoba menjambak rambut, mencubit pipi dan tangan, menampar-nampar muka sekeras-kerasnya. Namun, yang keluar hanyalah raunganku, teriakan singkatku, ke-aduh­-anku atas sakit yang kurasakan akibat penyiksaan sepihakku. Ternyata, ini benar-benar nyata. Semua terasa nyata.

Sentuhan lembut nan dingin tiba-tiba mencengkeram pundakku dari belakang. Aku terkesiap. Aku menoleh. Sesosok, bukan, tiga sosok perempuan berwajah polos dan berpakaian serba putih tersenyum bersamaan kepadaku. Dua diantaranya memiliki wajah remaja yang sangat mirip, sedangkan yang satunya, yang masih belum mau melepaskan cengkeramannya dari pundakku, lebih bermuka keibuan. Mungkinkah itu ibu mereka berdua?

“Akhirnya kamu sampai disini juga, Amora Andaresta,” ucap perempuan keibuan itu sambil melepaskan cengkeramannya. Mungkin ia sudah membaca isi hatiku. Dan, bagaimana dia tahu namaku?

“Sss..siapa kamu?” sahutku ragu-ragu. Perempuan itu segera tersenyum.

“Peraturan pertama, disini tidak boleh bertanya. Tapi, kamu yang akan menjawabnya.” Salah satu cewek remaja kembar itu menjawab dengan tiba-tiba. Aku semakin bingung.

“Peraturan apa? Ini tempat apa sih?  Kenapa saya nggak boleh tanya? Maksudnya apa, saya yang harus menjawabnya?”

“Peraturan kedua, jawablah dengan singkat, padat, dan jelas. Jangan mengatakan sesuatu yang membuat pertanyaan baru atas pertanyaan yang tidak seharusnya kamu pertanyakan.”

What? Aku semakin sinting dibuatnya. Perempuan keibuan itu masih terdiam, tetapi tetap saja menampakkan senyumnya.

“Saya tahu kamu pasti butuh jawaban. Maka, izinkan saya untuk bertanya agar kamu mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu sendiri.”

Aku curiga, dia bisa membaca pikiranku. Tetapi, kalimat perdana yang ‘ibu murah senyum’ itu katakan tidak melegakan hatiku, malah justru menciptakan energi baru yang mendesak untuk mendobrak katup jantungku.

“Mari, ikut saya.”

Aku pasrah. Kedua remaja kembar itu menuntunku ke suatu tempat, dipimpin oleh ibu murah senyum, menapaki jalan kecil menyerupai setapak, tetapi transparan. Aku dibawa mereka menuju cabang jalan yang kecil lagi, tetapi tetap transparan. Jalan baru yang aku tempuh tampak seperti lorong, walaupun batas antar cabang jalan tidak terlihat.

Tiba-tiba, kami semua berhenti. Aku disuruh ibu murah senyum untuk memandang sisi kiri.

“Lihatlah.”

Aku menoleh. Seketika, aku melotot tak percaya. Ini benar-benar diluar dugaan. Aku melihat gambaran diriku, sebuah rekaman harianku, yang kurasa baru terjadi beberapa jam yang lalu. Tetapi, kenapa aku berdarah-darah? Sepertinya ibu murah senyum lihai membaca pikiran seseorang.

“Amora, saya akan menjelaskan, tetapi kamulah yang berhak menjawab semua pertanyaan itu. Saya, hanyalah perantara jawabanmu.” Ibu murah senyum itu menghela napas sejenak. “Hidup kamu sudah terekam disini, sejak kamu lahir, sejak kamu bayi hingga beberapa saat lalu, semua gambaran itu ada dan direkam di tempat ini. Enam jam yang lalu, kamu mengalami kecelakaan parah. Sekarang kamu dalam keadaan koma di rumah sakit.”

“Kk..ko..koma?” sahutku melotot tak percaya.

“Akan ada tiga puluh menit waktumu untuk mencerna maksud dari semua yang akan kami tampilkan. Lalu ada waktu tiga puluh detik di setiap peristiwa yang kamu anggap sepele ternyata begitu bermakna dan berharga untuk disaksikan. Maka dari itu, pahamilah.”

Ibu murah senyum itu menampilkan peristiwa kecelakaanku enam jam yang lalu selama tiga puluh detik. Kondisiku yang berdarah-darah dan tak sadarkan diri di dalam mobil yang ringsek membuat dadaku sakit. Speechless. Tak ada satu pun kata yang mampu kukeluarkan. Hanya bibir yang membentuk huruf O dan bulir air mata yang tiba-tiba menetes.

“Apa.. apa sebenarnya ini? Apakah ini surga? Apakah aku sudah mati?”

“Belum.” Ia melanjutkan. “Tetapi, semua akan gelap dan mati bila kamu menyia-nyiakan tiga puluh detik rekaman terakhir nanti. Dan saat itulah, kamu harus menjawab semua pertanyaan yang ada di hatimu, dan cukup jawab di dalam hatimu saja. Mari, kita lanjutkan.”

Kami berjalan kembali. Bagaikan pemutaran film pendek, rekaman demi rekaman terus berlanjut dari sisi ke sisi. Alur berubah menjadi flashback. Kembali dimana aku dilahirkan oleh seorang ibu dan digendong oleh ayah, dibesarkan menjadi balita yang lucu nan gemuk, lalu tumbuh menjadi seorang gadis remaja kekinian. Kembali dimana saat-saat kejayaan kudapat, menjadi seorang eksekutif muda berusia 23 tahun yang dengan suksesnya meraup uang kesana kemari. Aku merasa, tak ada yang kurang dalam hidupku. Kronologi hidupku tak lelah kucermati, berbagai rentetan peristiwa berdurasi tiga puluh detik terasa begitu membahagiakan. Hingga saatnya peristiwa itu tiba, tiga puluh detik yang singkat dimana orangtua yang amat diberkahi Tuhan itu satu persatu meninggalkan permata tunggalnya sendiri, hidup sebatang kara, dekat dengan kekosongan, meskipun hanya sementara. Bulir air mata kembali menetes di pipi. Kini aku baru merasa, aku sangat kehilangan mereka.

“Tidak ingatkah kamu semua peluh yang membasahi tubuh ayah dan ibumu demi memanjakan dan menggendongmu tinggi-tinggi, Amora? Lihatlah, ingat kembali dengan saksama, masa dimana mereka harus selalu mengalah untuk dapat melihatmu bahagia. Ingatlah juga, saat kamu menghindari ibumu setelah ayahmu meninggal, disaat beliau justru butuh uluran tanganmu.”

Aku terdiam.

“Dimana kamu saat ibumu sakit, Amora? Seharusnya, tanyakan kepada dirimu sendiri, dimana beliau saat kamu masih terlalu kecil untuk mengurus diri sendiri. Akankah kamu akan melakukan hal yang sama ketika beliau sakit? Memeras handuk kecil yang dingin untuk mengompres dahimu, menyelipkan termometer di ketiakmu, meminumkan obat di setiap kamu sakit dan tak tahu apalagi gerakan yang bisa kamu lakukan. Tak ingatkah kamu?”

Aku semakin menunduk, bahkan terlalu menunduk seperti orang yang ingin mengucap permisi. Aku menangis diam-diam.

“Tidak usah menahan tangis, Amora. Semua mengerti. Semua sudah tahu, tanpa harus kamu ucapkan.” Ia melanjutkan. “Amora, biarkan saya bertanya.”

Aku mendongak lemas. Pipiku basah.

“Apa yang selama ini kamu lakukan, Amora? Sudahkah kamu puas dengan kesuksesan duniawimu?” tanya ibu murah senyum tanpa melepaskan senyum. Ia begitu tenang, seolah tidak merasa bahwa aku merasa dihakimi olehnya.

“Apakah kamu sudah bahagia, Amora? Membayar jasa ibumu yang tiada batas dengan membayar perawatan panti jompo dan biaya pemakamannya?” lagi-lagi ia menghakimiku.

Ibu murah senyum berhenti memandangiku dengan senyuman ‘anti-pegalnya’, lalu kembali memalingkan wajahnya kepada samping kanan tubuhnya, yang menjadi samping kiri tubuhku. Tembok labirin tiada batas dan tak menampakkan muka. Namun, ia kembali bernyawa, menampilkan rentetan perjalanan hidupku. Kini ia kembali ke alur maju, tiba pada peristiwa yang beberapa bulan lalu aku alami. Ya, aku ingat kala itu.

Seakan sudah di remote control oleh ibu murah senyum, sang labirin tiada batas segera memutar film pendek yang seakan sudah di set on sebelumnya. Tiba-tiba, tertampil wajah yang sudah tak asing lagi bagiku. Bayang gambar sesosok perempuan nyaris paruh baya tepat jelas memantul di bola mataku, sosok yang sudah dua tahun ini merawat dan menggantikan posisi ibuku dari beliau sakit hingga tiada. Sosok keluarga lain yang bersinergi penuh dalam menunjang karir maupun finansialku. Sosok dari adik ayahku yang sempurna.

Namun, tiga puluh detik yang akan ditayangkan, jelas mengubah pencitraannya pada pandanganku selama ini.

“Apa ini? Kenapa tante Misea ditayangkan?”

Ibu murah senyum terdiam, dengan tetap menampilkan senyumnya. Ia menoleh sejenak kepadaku, memandang seakan memberi isyarat ‘dengar dan lihatlah’. Aku menghela napas sejenak, dan menaati makna dari tatapan matanya. Serasa menjadi pakar mikro ekspresi saja, pikirku.

Satu detik dimulai. Tak memiliki arti apa-apa. Tante Misea sedang duduk di sofa merah muda dalam sebuah ruangan bercat hitam dengan meja kayu panjang dihadapannya. Gerak-gerik dan arah tatapannya terlihat seperti sedang gelisah. Tiga detik berselang, seorang lelaki yang kuprediksi berusia 60 tahunan duduk di sofa seberang tanteku. Ia membanting dengan keras sesuatu seperti kertas, bukan, seperti sebuah map panjang yang mungkin terdapat dokumen penting di dalamnya. Seketika aku mengenal lelaki itu. Lelaki yang berkontribusi penting didalam keluargaku.

“Bagus, sekarang langkahmu tinggal satu,” ucap tante Misea tanpa basa-basi seraya mengambil map berwarna coklat kekuningan di meja.

“Aku tidak yakin. Bagaimana kalau si anak itu menyadari semuanya?”

“Tidak untuk di waktu dekat. Sebelum dia tahu pun, aku akan menghabisinya dulu.”

Si lelaki familiar itu hanya mengangguk. Mereka berdua terdiam sejenak selama sepuluh detik. Tiga detik kemudian, tante Misea mengeluarkan amplop coklat dari dalam tasnya, dan berkata, “Setelah semuanya selesai, segera berikan wasiat palsu itu. Anak itu, biar jadi urusanku. Tidak usah menghitung hari, kita lihat saja besok.” Tepat tiga puluh detik, rekaman peristiwa itu menghilang dengan seketika. Benar-benar lenyap seakan ditelan labirin tiada batas tetapi memiliki nyawa. Jejak-jejak kepalsuan tante Misea memudar seiring pudarnya kepercayaanku padanya, selama ini. Dan kepada si lelaki itu, pengacara keluargaku. Kuingat dengan jelas waktu yang tertanda pada rekaman peristiwa itu. Sehari tepat sebelum aku mengalami peristiwa paling menyedihkan yang telah membawaku kesini.

BERSAMBUNG